Sunday, September 29, 2013

Beribadah Karena Mengharap Surga Merosak Keikhlasan??!!


Ada beberapa perkara yang disangka oleh sebagian orang merosak keikhlasan, akan tetapi ternyata tidak merosak keikhlasan. Perkara-perkara tersebut adalah :

Pertama : Beramal dalam rangka mencari surga.

Sebagian orang terlalu berlebihan dan salah faham tentang keikhlasan. Orang yang beramal sholeh karena mencari surga dinamakan oleh Robi'ah al-'Adawiyah dengan "Pekerja yang buruk". Ia berkata:

مَا عَبَدْتُهُ خَوْفًا مِنْ نَارِهِ وَلاَ حُبًّا فِي جَنَّتِهِ فَأَكُوْنَ كَأَجِيْرِ السُّوْءِ، بَلْ عَبَدْتُهُ حُبًّا لَهُ وَشَوْقًا إِلَيهِ

"Aku tidaklah menyembahNya karena takut neraka, dan tidak pula karena berharap surgaNya sehingga aku seperti pekerja yang buruk. Akan tetapi aku menyembahNya karena kecintaan dan kerinduan kepadaNya" (Ihyaa' Uluum ad-Diin 4/310)


Demikian juga Al-Gozali mensifati orang yang seperti ini dengan orang yang ablah (dungu). Ia barkata,

فَالْعَامِلُ ِلأَجْلِ الْجَنَّةِ عَامِلٌ لِبَطْنِهِ وَفَرْجِهِ كَالْأَجِيْرِ السُّوْءِ وَدَرَجَتُهُ دَرَجَةُ الْبَلَهِ وَإِنَّهُ لَيَنَالُهَا بِعَمَلِهِ إِذْ أَكْثَرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ الْبَلَهُ وَأَمَّا عِبَادَةُ ذَوِي الْأَلْبَابِ فَإِنَّهَا لاَ تُجَاوِزُ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى وَالْفِكْرِ فِيْهِ لِجَمَالِهِ ... وَهَؤُلاَءِ أَرْفَعُ دَرَجَةً مِنَ الْاِلْتِفَاتِ إِلَى الْمَنْكُوْحِ وَالْمَطْعُوْمِ فِي الْجَنَّةِ

"Seseorang yang beramal karena surga maka ia adalah seorang yang beramal karena perut dan kemaluannya, seperti pekerja yang buruk. Dan derajatnya adalah derajat al-balah (orang dungu), dan sesungguhnya ia meraih surga dengan amalannya, karena kebanyakan penduduk surga adalah orang dungu. Adapun ibadah orang-orang ulil albab (yang cerdas) maka tidaklah melewati dzikir kepada Allah dan memikirkan tentang keindahanNya….maka mereka lebih tinggi derajatnya dari pada derajatnya orang-orang yang mengharapkan bidadari dan makanan di surga" (Ihyaa Uluumid Diin 3/375)

          Tentunya ini adalah pendapat yang keliru. Bisa ditinjau dari beberapa sisi:

Pertama : Allah telah mensifati para nabi dan juga pemimpin kaum mukminin bahwasanya mereka beribadah kepada Allah dalam kondisi takut dan berharap. Allah berfirman

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا (٥٧)

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS Al-Isroo : 57)

Allah berfirman tentang 'Ibaadurrohman bahwasanya mereka takut dengan adzab neraka

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (٦٥)

Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, jauhkan azab Jahannam dari Kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".(QS Al-Furqoon : 65)

Nabi Ibrahim 'alaihis salaam berkata dalam doanya

وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (٨٥)وَاغْفِرْ لأبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ (٨٦)وَلا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ (٨٧)

Dan Jadikanlah aku Termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, Dan ampunilah bapakku, karena Sesungguhnya ia adalah Termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (QS Asy-Syu'aroo 85-87)

Allah memuji Nabi Zakariya dan juga Nabi Yahya 'alaihima as-salam dalam firmanNya

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ (٩٠)

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami. (QS Al-Anbiyaa : 90)

Demikian juga Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam terlalu banyak doa-doa beliau meminta surga dan terjauhkan dari neraka.

Kedua : Bahkan Allah mensifati para ulil albab (orang-orang yang berakal dan cerdas) bahwasanya mereka takut dengan adzab neraka dan mengharapkan janji Allah. Yang ini jelas bantahan terhadap Al-Ghozali yang menganggap orang yang mengharapkan surga dan takut neraka sebagai orang yang dungu.

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (١٩١)رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (١٩٢)رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ (١٩٣)رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (١٩٤)

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, Maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka Kamipun beriman. Ya Tuhan Kami, ampunilah bagi Kami dosa-dosa Kami dan hapuskanlah dari Kami kesalahan-kesalahan Kami, dan wafatkanlah Kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Ya Tuhan Kami, berilah Kami apa yang telah Engkau janjikan kepada Kami dengan perantaraan Rasul-rasul Engkau. dan janganlah Engkau hinakan Kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji." (QS Ali 'Imroon : 191-194)

Ketiga : Setelah Allah menyebutkan tentang kenikmatan-kenikmatan di surga lalu Allah memerintahkan para hambaNya untuk saling berlomba-lomba dalam memperolehnya.

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (٢٦)

dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. (QS Al-Muthoffifin : 26)

Keempat : Terlalu banyak ayat dalam al-Qur'an yang menjelasan tentang nikmat-nikmat surga. Maka jika seseorang tercela mengharapkan kenikmatan surga maka seakan-akan Allah telah menyesatkan hamba-hambaNya dengan mengiming-iming mereka dengan nikmat surga. Demikian juga halnya Allah sering menyebutkan tentang perihnya adzab neraka.

Kelima : Diantara kenikmatan surga –bahkan yang merupakan puncak kenikmatan- adalah melihat wajah Allah. Karenanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminta kepada Allah nikmat ini, sebagaimana dalam doanya :

وَأَسْأَلَُك لَذَّةَ النَّظْرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكِ

"Dan aku memohon keledzatan memandang wajahMu, dan kerinduan untuk bertemu denganMu" (HR An-Nasaai no 1305 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Orang yang mengaku tidak berharap kenikmatan surga, maka apakah ia tidak ingin melihat wajah Allah?!!

Keenam : Banyak hadits yang mempersyaratkan "pengharapan ganjaran dari Allah" pada sebuah amalan.

Contohnya sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barang siapa yang berpuasa di bulan ramadhan karena keimanan dan berharap maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" (HR Al-Bukhari no 38 dan Muslim no 760)

مَنِ اتَّبَعَ جَنَازَةَ مُسْلِمٍ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا) حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيْرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيْرَاطَانِ (مِنَ الأَجْرِ)، قِيْلَ: (يَا رَسُوْلَ اللهِ) وَمَا الْقِيْرَاطَانِ؟ قَالَ: مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيْمَيْنِ

"Barangsiapa yang mengikuti janazah muslim karena keimanan dan mengharapkan (ganjaran dari Allah) hingga disholatkan jenazah tersebut maka bagi dia qirot pahala, dan barangsiapa yang menghadiri janazah hingga dikubur maka baginya dua qirot pahala". Maka dikatakan, "Wahai Rasulullah, apa itu dua qirot?", Nabi berkata, "Seperti dua gunung besar" (HR Al-Bukhari no 47)

Al-Khotthoobi berkata

احْتِسَابًا أَيْ عَزِيْمَةً وَهُوَ أَنْ يَصُوْمَهُ عَلَى مَعْنَى الرَّغْبَةِ فِي ثَوَابِهِ

"Ihtisaaban" yaitu azimah (tekad) maksudnya ia berpuasa karena berharap pahala dari Allah" (Fathul Baari 4/115)
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 24-10-1433 H / 11 September 2012 M

Sumber : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

Friday, September 6, 2013

AQIDAH IMAM EMPAT

Oleh:Ustadz Muslim Al Atsari

“Bagilah masjid-masjid antara kami dengan Hanafiyah [1] karena Si Fulan, salah seorang ahli fiqih mereka, menganggap kami sebagai ahli dzimmah! [2]” Usulan ini disampaikan oleh beberapa tokoh Syafi’iyyah[3] kepada mufti Syam pada akhir abad 13 Hijriyah.

Selain itu, banyak ahli fiqih Hanafiyah memfatwakan batalnya shalat seorang Hanafi di belakang imam seorang Syafi’i. Demikian juga sebaliknya, sebagian ahli fiqih Syafi’iyah memfatwakan batalnya shalat seorang Syafi’i di belakang imam seorang Hanafi.

Ini di antara contoh sekian banyak kasus fanatisme madzhab yang menyebabkan perselisihan dan perpecahan umat Islam [4]. Realita yang amat disayangkan, bahkan dilarang di dalam agama Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara. [Ali ‘Imran : 103].

Mengapa orang-orang yang mengaku sebagi para pengikut Imam Empat itu saling bermusuhan? Apakah mereka memiliki aqidah yang berbeda? Bagaimana dengan aqidah Imam Empat?

Benar, ternyata banyak di antara para pengikut Imam Empat memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah imam mereka. Walaupun secara fiqih mereka mengaku mengikuti imam panutannya. Banyak di antara para pengikut itu memiliki aqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah atau Shufiyah atau lainnya, aqidah-aqidah yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Padahal imam-imam mereka memiliki aqidah yang sama, yakni aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, aqidah Ahli Hadits.

IMAM EMPAT
Istilah Imam Empat yang digunakan umat Islam pada zaman ini, mereka ialah:
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah, dari Kufah, Irak (hidup th 80 H - 150 H).
2. Imam Malik bin Anas rahimahullah, dari Madinah (hidup th 93 H - 179 H)
3. Imam Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah, lahir di Ghazza, ‘Asqalan, kemudian pindah ke Mekkah. Beliau bersafar ke Madinah, Yaman dan Irak, lalu menetap dan wafat di Mesir (hidup th 150 H - 204 H).
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Baghdad, ‘Irak (hidup th 164 H - 241 H).

Empat ulama ini sangat masyhur di kalangan umat Islam. Kepada empat imam inilah, empat madzhab fiqih dinisbatkan.

AQIDAH IMAM EMPAT
Siapapun yang meneliti aqidah para ulama Salafush Shalih, maka ia akan mendapatkan bahwa aqidah mereka adalah satu, jalan mereka juga satu. Para ulama Salafush Shalih tidak berpaling dari nash-nash Al Kitab dan Sunnah, dan tidak menentangnya dengan akal, perasaan, atau perkataan manusia.

Mereka mempunyai pandangan yang jernih, bahwa aqidah itu tidak diambil dari seorang ‘alim tertentu, bagaimanapun tinggi kedudukannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun i’tiqad (aqidah, keyakinan), maka tidaklah diambil dariku, atau dari orang yang dia lebih besar dariku. Tetapi diambil dari Allah dan RasulNya, dan keyakinan yang disepakati oleh salaful ummah (umat Islam yang telah lalu, para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Maka apa yang ada di dalam Al Qur’an wajib diyakini. Demikian juga yang hadits-hadits yang shahih telah pasti, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim” [5]. Imam Al Ashfahani rahimahullah berkata: “Seandainya engkau meneliti seluruh kitab-kitab mereka (Ahlu Sunnah) yang telah ditulis, dari awal mereka sampai yang akhir mereka, yang dahulu dari mereka dan yang sekarang dari mereka, dengan perbedaan kota dan zaman mereka, dan jauhnya negeri-negeri mereka, masing-masing tinggal di suatu daerah dari daerah-daerah (Islam); engkau dapati mereka dalam menjelaskan aqidah di atas jalan yang satu, bentuk yang satu. Pendapat mereka dalam hal itu (aqidah) satu. Penukilan mereka satu. Engkau tidak melihat perselisihan dan perbedaan pada suatu masalah tertentu, walaupun sedikit. Bahkan seandainya engkau kumpulkan seluruh apa yang lewat pada lidah mereka dan apa yang mereka nukilkan dari Salaf (orang-orang dahulu) mereka, engkau mendapatinya seolah-olah itu datang dari satu hati dan melalui satu lidah”. [6]

Termasuk Imam Empat, mereka berada di atas satu aqidah. Para ulama terkenal dari berbagai madzhab telah menulis aqidah Imam Empat ini, dan mereka semua memiliki aqidah yang sama.

Secara terperinci, aqidah Imam Empat ini antara lain dapat dilihat di dalam kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari, dosen aqidah Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud Qashim dan kitab Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf, karya Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki, Rektor Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud.

IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah t berkata: “Aku berpegang kepada kitab Allah. Kemudian yang tidak aku dapatkan (di dalam kitab Allah, aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah n . Jika aku tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat Beliau. Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki, dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki di antara mereka. Dan aku tidak akan meninggalkan perkataan mereka (dan) mengambil perkataan selain (dari) mereka”. [Riwayat Ibnu Ma’in di dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].

Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321 H), salah seorang ulama Hanafiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, yang kemudian terkenal dengan nama “Aqidah Ath Thahawiyah”. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ini peringatan dan penjelasan aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah di atas jalan ahli fiqih-ahli fiqih agama: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al Anshari, Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani g , dan yang mereka yakini, berupa ushuluddin (pokok-pokok agama), dan cara beragamanya mereka (dengannya) kepada Rabbul ‘Alamin”. [Kitab Aqidah Ath Thahawiyah]

As Subki rahimahullah memberikan komentar terhadap “Aqidah Ath Thahawiyah” dengan perkataan : “Madzhab yang empat ini –segala puji hanya bagi Allah- satu dalam aqidah, kecuali di antara mereka yang mengikuti orang-orang Mu’tazilah dan orang-orang yang menganggap Allah berjisim [7], Namun mayoritas (pengikut) madzhab empat ini, berada di atas al haq. Mereka mengakui aqidah Abu Ja’far Ath Thahawi yang telah diterima secara utuh oleh para ulama dahulu dan generasi berikutnya”. [Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 28, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari].

Penerimaan para ulama terhadap Aqidah Ath Thahawiyah adalah secara umum. Karena ada beberapa perkara yang perlu dikoreksi, sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh pensyarah (pemberi penjelasan) Aqidah Ath Thahawiyah, (yaitu) Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi. Demikian juga oleh para ulama belakangan, seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam ta’liq (komentar) beliau, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam syarah dan ta’liq beliau, dan Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais di dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Al Muyassar. Namun secara umum, para ulama menerima kebenaran aqidah tersebut.

IMAM MALIK BIN ANAS
Imam Malik bin Anas t dikenal sebagai ulama yang tegas dalam menyikapi bid’ah. Di antara perkataan beliau yang masyhur ialah: “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam (dan) ia menganggapnya sebagai kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa (Nabi) Muhammad n telah mengkhianati risalah. Karena Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. [Al Maidah:3]

Maka apa-apa yang pada hari itu bukan agama, pada hari ini pun tidak menjadi agama”. [8]

Imam Ibnu Abi Zaid Al Qairawani rahimahullah, (wafat 386 H), salah seorang ulama Malikiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, dan berisi aqidah Ahlu Sunnah, sama dengan aqidah ulama lainnya.

IMAM ASY SYAFI’I
Imam Syafi’I t berkata: “Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka (semua) alasan tertolak atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi n , atau salah satu dari mereka”. [Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36].

Dan telah masyhur perkataan Imam Syafi’i rahimahullah : “Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah (yakni Al Qur’an, Pen), sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Aku beriman kepada utusan Allah dan kepada apa yang datang dari utusan Allah (yakni Nabi Muhammad n , Pen), sesuai dengan yang dikehendaki utusan Allah” [9]. Imam Abu Bakar Al Isma’ili Al Jurjani rahimahullah, (wafat 371 H), salah seorang ulama Syafi’iyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepada kami dan kalian, bahwa jalan Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jama’ah, ialah mengakui kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan menerima apa yang dikatakan oleh kitab Allah Ta’ala, dan apa yang telah shahih riwayatnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam" [10].

IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hambal t berkata: “Pokok-pokok Sunnah menurut kami ialah, berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n berada di atasnya, dan meneladani mereka … “ [Riwayat Al Lalikai]

Imam Abu Muhammad Al Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al Barbahari rahimahullah (wafat 329 H), salah seorang ulama Hanbaliyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah; aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, yang bernama Syarhus Sunnah. Di antara yang beliau katakan di awal kitab ini ialah: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu. Bahwa agama hanyalah yang datang dari Allah Tabaraka wa Ta’ala (Yang Banyak Memberi Berkah dan Maha Tinggi), tidak diletakkan pada akal-akal manusia dan fikiran-fikiran mereka. Dan ilmunya (agama) di sisi Allah dan di sisi RasulNya. Maka janganlah engkau mengikuti sesuatu dengan hawa-nafsumu, sehingga engkau akan lepas dari agama dan keluar dari Islam. Sesungguhnya tidak ada argumen bagimu, karena Rasulullah n telah menjelaskan Sunnah (ajaran agama/aqidah) kepada umatnya, telah menerangkannya kepada para sahabat Beliau, dan mereka adalah Al Jama’ah. Mereka adalah As Sawadul A’zham (golongan mayoritas). Dan As Sawadul A’zham (yang dimaksudkan) adalah al haq dan pengikutnya. Barangsiapa menyelisihi para sahabat Rasulullah n di dalam sesuatu dari urusan agama, (maka) dia telah kafir”. [11]

KESALAHAN YANG WAJIB DILURUSKAN
Ada beberapa kesalahan yang harus dibenarkan seputar kesatuan aqidah para ulama. Di antaranya:

1. Anggapan bahwa beragamnya madzhab (pendapat yang diikuti) dalam masalah fiqih, berarti beragamnya aqidah para imam.

Anggapan ini batil, sebagaimana telah kami sampaikan tentang kesatuan aqidah para ulama Ahlu Sunnah. Nampaknya, anggapan ini sudah ada semenjak lama. Pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau menampakkan aqidah Salafiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah, (tetapi) beliau dituduh menyebarkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal t . Kemudian beliau menjawab: “Ini adalah aqidah seluruh imam-imam dan Salaf (para pendahulu) umat ini, yang mereka mengambilnya dari Nabi n . Ini adalah aqidah Muhammad n “. Lihat Munazharah Aqidah Al Wasithiyah.

2. Anggapan bahwa perbedaan Ahlu Sunnah dengan firqah Syi’ah dan semacamnya dari kalangan Ahli Bid’ah, seperti perbedaan di antara madzhab empat.

Bahkan saat sekarang ini, di negara Mesir muncul lembaga yang disebut Darut Taqrib, dengan semboyan mendekatkan antara Madzhab Enam. Yaitu madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah, madzhab Hanbaliyah, madzhab (Syi’ah) Zaidiyah, dan madzhab (Syi’ah) Al Itsna ‘Asyariyah. Lembaga ini menganggap, bahwa madzhab empat yang beraqidah Ahlu Sunnah, sama seperti Syi’ah yang sesat. Padahal telah kita ketahui, sebagaimana kami sampaikan di atas, bahwa aqidah seluruh imam itu satu, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun Syi’ah, Rafidhah, maka para ulama telah sepakat bahwa mereka adalah ahli bid’ah.

Setelah kita mengetahui bahwa aqidah Imam Empat sama, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bukan aqidah Asy’ariyah, bukan pula aqidah Maturidiyah, maka sepantasnya orang-orang yang menyatakan mengikuti imam-imam tersebut dalam masalah fiqih, juga mengikuti imam mereka dalam masalah aqidah. Dengan begitu mereka akan bersatu di atas al haq. Wallahul Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hanafiyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah rahimahullah
[2]. Ahli dzimmah, ialah orang kafir yang menjadi warga negara di bawah kekuasaan negara Islam
[3]. Syafi’iyyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Syafi’i rahimahullah
[4]. Lihat Tarikh Fiqih Islami, hlm. 171-176, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar.
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa (3/161).
[6]. Lihat Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah (2/224-225). Dinukil dari kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 73, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari.
[7]. Yakni menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, Pen
[8]. Al I’tisham (1/64), karya Asy Syatibi.
[9]. Majmu’ Fatawa (4/2).
[10]. I’tiqad Aimmatil Hadits Lil Imam Abi Bakar Al Isma’ili , hlm. 49, karya, tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais.
[11]. Syarhus Sunnah, hlm. 68, no. 5, karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi.
 

ABU MANSHHUR AL-MATURIDI DAN ALIRAN MATURIDIYAH


Oleh :Ustadz Muhammad Ashim Musthofa

Di antara rahmat yang dicurahkan kepada kaum muslimin, Allah memberikan bukti-bukti yang nyata lagi jelas yang menunjukkan keberadaan Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي اْلأَفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur`an itu adalah benar……" [Fushshilat : 53].

Seorang penyair berkata:

وَفِيْ كُلِّ شَيْئٍ لَهُ أَيَة تَدُلُّ عَلَى أنَّهُ وَاحدٌِ

Dan pada setiap sesuatu, Dia mempunyai tanda
Yang menunjukkan bahwa Dia adalah Dzat Yang Esa

Setiap segala sesuatu yang ada di dunia ini, seluruhnya mengakui keberadaan Sang Pencipta, Al Khaliq dan kekuasaanNya.

Untuk mengenal dan mengetahui keberadaan Allah, manusia sama sekali tidak membutuhkan kaidah-kaidah yang diramu oleh para ulama ahli kalam. Juga tidak membutuhkan produk orang kafir Yunani. Yakni, dengan apa yang disebut sebagai ilmu filsafat.

Hanya saja, ada sebagian manusia yang berasumsi, tidak mungkin seseorang bisa mengenal Allah (ma'rifatullah), kecuali dengan melalui ilmu filsafat dan ilmu kalam. Mereka tunduk mengikuti doktrin filsafat Yunani.

Satu dari sekian aliran kalamiyah yang masih eksis saat ini ialah Maturidiyah. Sebuah golongan yang berafiliasi pada firqah kalamiyyah. Nama kelompok ini dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Abu Manshur Al Maturidi. Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al Maturidi As Samarqandi. Maturid adalah daerah dekat dengan Samarqand. Tidak diketahui dengan pasti tahun kelahirannya, juga guru-guru yang sempat ia singgahi majlisnya.

ADA TIGA TAHAPAN YANG DILALUI FIRQAH INI
Tahapan pertama, tahapan pendirian (ta`sis) dengan tokohnya Abu Manshur al Maturidi. Dia sempat menulis beberapa kitab. Yang paling terkenal ialah Kitabut Tauhid.

Dalam kitab ini, ia menetapkan aqidah tauhid melalui teori-teori ilmu kalam (baca: filsafat). Yang ia maksud dengan tauhid adalah tauhid rububiyyah, tauhid khaliqiyyah, dan sedikit tentang asma wa shifat. Hanya saja, manhaj yang ia pegangi adalah manhaj Jahmiyyah. Sehingga, ada sekian banyak sifat yang ia mentahkan dengan dalih ingin menghindarkan diri dari tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhlukNya.

Tahapan Kedua, tahapan pembentukan (takwin). Yaitu ditandai dengan tersebarnya paham ini di Samarqand melalui tulisan-tulisan yang disisipkan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Hanafi. Sehingga aqidah Maturidiyah ini menjadi diterima dan dominan di tengah masyarakat. Tokohnya yang terkenal pada saat itu ialah Abul Qasim al Hakim.

Tahapan berikutnya merupakan perpanjangan dari fase sebelumnya, dengan tokohnya yaitu Abul Yusr Muhammad bin Muhammad bin al Husain bin 'Abdil Karim (421-493 H). Dia mendapatkan tempaan ilmu filsafat dari sang ayah yang merupakan murid Abu Manshur al Maturidi. Disamping itu, ia banyak menelaah buku-buku karya al Kindi, al Juba-i, an Nazhzham dan lainnya. Buku-buku karya tokoh-tokoh ini sarat dengan ajaran filsafat.

Tahapan berikutnya, yaitu fase penulisan dan pembukuan aqidah Maturidiyyah (500-700 H). Tahapan ini banyak dipenuhi dengan penulisan karya tulis yang berisi berbagai dalil untuk memberikan justifikasi atas aqidah Maturidiyyah. Panutan dalam marhalah ini adalah Najmuddin an Nasafi. Seratus kitab telah ia tulis. Ia adalah penulis kitab Aqidah an Nasfiyyah, sebuah kitab ringkasan yang merangkum aqidah Maturidiyah.

Tokoh Maturidiyah yang terkenal pada abad ini ialah Muhammad bin Zahid al Kautsari al Maturidi. Ia sangat mendiskreditkan para imam kaum muslimin dan mencerca mereka yang tidak sehaluan dengan aqidah Maturidiyah. Kitab-kitab tauhid, seperti al Ibanah, asy Syariah, al 'Uluw, Asma wa Shifat karya al Baihaqi, dan kitab-kitab aqidah karya ulama Ahli Sunnah dianggap sebagai kitab-kitab watsaniyyah (paganisme), tajsim dan tasybih. Padahal, tak syak lagi, aliran Maturidiyah justru dipenuhi dengan bid'ah yang mewarnai ajarannya. Misalnya, mereka mengagungkan kuburan dan penghuninya dengan dalih bertawasul.

SEBAGIAN PEMIKIRAN DAN AQIDAH MATURIDIYAH
Ditinjau dari aspek masdar talaqqi (sumber pengambilan ilmu), Maturidiyah membagi ushuluddin menjadi dua. Pertama. Ilahiyyat ('aqliyyat), yaitu perkara-perkara yang mampu ditetapkan oleh daya nalar dengan sendirinya. Sementara dalil naqli hanya berperan sebagai kekuatan sekunder. Dimensi ini mencakup dimensi tauhid dan sifat-sifat Allah. Kedua. Syar’iyyat (sam'iyyat), yaitu perkara-perkara yang akal tidak mempunyai akses untuk menentukannya, misalnya siksa kubur, peristiwa-peristiwa di akherat kelak.

Dengan ini, perbedaan Maturidiyah dengan manhaj Ahli Sunnah Wal Jamaah sangat signifikan. Al Quran, As Sunnah dan Ijma’ para sahabat merupakan sumber hukum bagi Ahli Sunnah.

Sebagai aliran yang kental nuansa filsafatnya, mereka mengatakan bahwa bahasa Arab, al Qur`an dan hadits mengandung kata-kata yang berbentuk majaz (kiasan). Berdasarkan pandangan seperti ini, kemudian mereka mentakwil nash-nash tentang sifat Allah, dengan argumentasi ingin menghindarkan diri dari tajsim (pembendaan) terhadap Allah.

Maturidiyah hanya menetapkan delapan sifat saja bagi Allah Ta'ala, dengan versi yang berbeda-beda, yaitu : al hayah (hidup), qudrah (kekuasaan), al ilmu, iradah (kehendak), as sam'u (mendengar), al basharu (melihat), al kalam (berbicara) dan at takwin (pembentukan).

Menurut mereka, seluruh sifat yang muta'adiyyah (tindakan-tindakan) kembali kepada sifat at takwin. Sedangkan sifat-sifat khabariyah (berita tentang dzat Allah), tidak termasuk yang bisa dijangkau oleh akal, sehingga perlu ditiadakan.

Iman hanya sekedar pembenaran hati saja. Iman tidak dapat naik ataupun turun. Dalam hal ini, Abu Manshur al Maturidi menghimpun lebih dari satu bid'ah. Dia menjadi seorang Murji’ah dalam masalah iman, dan sebagai seorang mu'aththil dalam bab sifat-sifat Allah. Dia juga terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Kullab, meskipun ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Ibnu Kullab.

Sebagai penutup, kami nukil pernyataan Ibnu Abil 'Izz dalam kitab Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, yang berbunyi: “Setiap orang yang berbicara dengan logika, perasaan dan akal pikirannya -padahal ia berhadapan dengan nash- atau ia mempertentangkan nash dengan logika, (maka) sejatinya ia menyerupai iblis, yang enggan berserah diri kepada Rabbnya. Allah berfirman Subhanahu wa Ta'ala tentangnya:

قَالَ مَامَنَعَكَ أَلاَّتَسْجُدَ إِذْأَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاخَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

"Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedangkan dia, Engkau ciptakan dari tanah". [al A'raf : 12]

Diringkas dari :
- Al Mausu'ah al Muyassarah fil Adyani wal Madzahibi wal Ahzabi al Mu'ashirah, Darun Nadwah Al 'Alamiyyah, Cet. III, Th. 1418 H.
- Ta`ammulat wa Nazharati fi Ba'dhi al Madzahibi wal Firaqi al Mu'ashirah, Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumayyis, Maktabah Ash Shahabah, Imarat Sharjah, Cet. I, Th. 1998M/1419H.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]

Sunday, September 1, 2013

DEFINISI AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan para Sahabatnya رضي الله عنهم. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi صلی الله عليه وسلم dan para Sahabatnya رضي الله عنهم

As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk.  [1]

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menya-lahinya akan dicela. [2]

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullahu (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi صلی الله عليه وسلم dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak me-namakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).” [3]

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. [4]

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.  [5]

Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.”

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud رضي الله عنه: [6]

اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ
.

“Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.” [7]

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi صلی الله عليه وسلم dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.

Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa' (orang asing).

Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda:

لاَتَزَالُ مِنْ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
.
“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.” [8]

Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْباً، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْباً، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
.

“Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa' (orang-orang asing).”  [9]

Sedangkan makna al-Ghurabaa' adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash رضي الله عنه ketika suatu hari Rasulullah صلی الله عليه وسلم menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa', beliau صلی الله عليه وسلم bersabda:

أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ فِيْ أُنَاسِ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ
.
“Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.” [10]

Rasulullah صلی الله عليه وسلم juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa':

اَلَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ
.
“Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.” [11]

Dalam riwayat yang lain disebutkan:
...
الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي
.
“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم) sesudah dirusak oleh manusia.” [12]

Ahlus Sunnah, ath-Tha’ifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti: ‘Abdullah Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya,
رحمهم الله. [13]

Imam asy-Syafi’i  [14] (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Sahabat Nabi صلی الله عليه وسلم, mudah-mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.” [15]

Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) rahimahullah menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat رضي الله عنهم dan setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ash-haabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam  yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.”  [16]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lisaanul ‘Arab (VI/399).
[2]. Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal. 16).
[3]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, cet. II-Daar Ibnul Jauzy-th. 1420 H.
[4]. Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah.
[5]. Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 61) oleh Khalil Hirras.
[6]. Beliau adalah seorang Sahabat Nabi صلی الله عليه وسلم, nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzali, Abu ‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika Sa’id bin Zaid dan isterinya -Fathimah bintu al-Khaththab- masuk Islam. Beliau melakukan dua kali hijrah, mengalami shalat di dua Kiblat, ikut serta dalam perang Badar dan perang lainnya. Beliau termasuk orang yang paling ‘alim tentang Al-Qur-an dan tafsirnya sebagaimana telah diakui oleh Nabi صلی الله عليه وسلم. Beliau dikirim oleh ‘Umar bin al-Khaththab  رضي الله عنه ke Kufah untuk mengajar kaum Muslimin dan diutus oleh ‘Utsman رضي الله عنه ke Madinah. Beliau رضي الله عنه wafat tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368 no. 4954).
[7]. Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dan Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Lalika-i (no. 160).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 3641) dan Muslim (no. 1037 (174)), dari Mu’awiyah رضي الله عنه
[9]. HR. Muslim (no. 145) dari Sahabat Abu Hurairah رضي الله عنه
[10]. HR. Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no. 6650). Lihat juga Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf hal. 125.
[11]. HR. Abu Ja’far ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Aatsaar (II/170 no. 689), al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah (no. 173) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah a. Hadits ini shahih li ghairihi karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykilil Aatsaar (II/170-171) dan Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1273).
[12]. HR. At-Tirmidzi (no. 2630), beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Sahabat ‘Amr bin ‘Auf رضي الله عنه
[13]. Sunan at-Tirmidzi: Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany t  (I/539 no. 270) dan Ahlul Hadiits Humuth Thaa-ifah al-Manshuurah karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali.
[14]. Lihat kembali biografi beliau rahimahullah pada catatan kaki no. 14.
[15]. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/60).
[16]. Al-Fishal fil Milal wal Ahwaa’ wan Nihal (II/271), Daarul Jiil, Beirut.
Kategori: Aqidah Ahlus Sunnah
Sumber: http://www.almanhaj.or.id

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...