Oleh:Ustadz Muslim Al Atsari
“Bagilah masjid-masjid antara kami dengan Hanafiyah [1] karena Si Fulan,
salah seorang ahli fiqih mereka, menganggap kami sebagai ahli dzimmah!
[2]” Usulan ini disampaikan oleh beberapa tokoh Syafi’iyyah[3] kepada
mufti Syam pada akhir abad 13 Hijriyah.
Selain itu, banyak ahli fiqih Hanafiyah memfatwakan batalnya shalat
seorang Hanafi di belakang imam seorang Syafi’i. Demikian juga
sebaliknya, sebagian ahli fiqih Syafi’iyah memfatwakan batalnya shalat
seorang Syafi’i di belakang imam seorang Hanafi.
Ini di antara contoh sekian banyak kasus fanatisme madzhab yang
menyebabkan perselisihan dan perpecahan umat Islam [4]. Realita yang
amat disayangkan, bahkan dilarang di dalam agama Islam. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا
نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara.
[Ali ‘Imran : 103].
Mengapa orang-orang yang mengaku sebagi para pengikut Imam Empat itu
saling bermusuhan? Apakah mereka memiliki aqidah yang berbeda? Bagaimana
dengan aqidah Imam Empat?
Benar, ternyata banyak di antara para pengikut Imam Empat memiliki
aqidah yang menyimpang dari aqidah imam mereka. Walaupun secara fiqih
mereka mengaku mengikuti imam panutannya. Banyak di antara para pengikut
itu memiliki aqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah atau Shufiyah atau
lainnya, aqidah-aqidah yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Padahal imam-imam mereka memiliki aqidah yang sama, yakni aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, aqidah Ahli Hadits.
IMAM EMPAT
Istilah Imam Empat yang digunakan umat Islam pada zaman ini, mereka ialah:
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah, dari Kufah, Irak (hidup th 80 H - 150 H).
2. Imam Malik bin Anas rahimahullah, dari Madinah (hidup th 93 H - 179 H)
3. Imam Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah, lahir di Ghazza,
‘Asqalan, kemudian pindah ke Mekkah. Beliau bersafar ke Madinah, Yaman
dan Irak, lalu menetap dan wafat di Mesir (hidup th 150 H - 204 H).
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Baghdad, ‘Irak (hidup th 164 H - 241 H).
Empat ulama ini sangat masyhur di kalangan umat Islam. Kepada empat imam inilah, empat madzhab fiqih dinisbatkan.
AQIDAH IMAM EMPAT
Siapapun yang meneliti aqidah para ulama Salafush Shalih, maka ia akan
mendapatkan bahwa aqidah mereka adalah satu, jalan mereka juga satu.
Para ulama Salafush Shalih tidak berpaling dari nash-nash Al Kitab dan
Sunnah, dan tidak menentangnya dengan akal, perasaan, atau perkataan
manusia.
Mereka mempunyai pandangan yang jernih, bahwa aqidah itu tidak diambil
dari seorang ‘alim tertentu, bagaimanapun tinggi kedudukannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun i’tiqad
(aqidah, keyakinan), maka tidaklah diambil dariku, atau dari orang yang
dia lebih besar dariku. Tetapi diambil dari Allah dan RasulNya, dan
keyakinan yang disepakati oleh salaful ummah (umat Islam yang telah
lalu, para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Maka apa yang
ada di dalam Al Qur’an wajib diyakini. Demikian juga yang hadits-hadits
yang shahih telah pasti, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim” [5].
Imam Al Ashfahani rahimahullah berkata: “Seandainya engkau meneliti
seluruh kitab-kitab mereka (Ahlu Sunnah) yang telah ditulis, dari awal
mereka sampai yang akhir mereka, yang dahulu dari mereka dan yang
sekarang dari mereka, dengan perbedaan kota dan zaman mereka, dan
jauhnya negeri-negeri mereka, masing-masing tinggal di suatu daerah dari
daerah-daerah (Islam); engkau dapati mereka dalam menjelaskan aqidah di
atas jalan yang satu, bentuk yang satu. Pendapat mereka dalam hal itu
(aqidah) satu. Penukilan mereka satu. Engkau tidak melihat perselisihan
dan perbedaan pada suatu masalah tertentu, walaupun sedikit. Bahkan
seandainya engkau kumpulkan seluruh apa yang lewat pada lidah mereka dan
apa yang mereka nukilkan dari Salaf (orang-orang dahulu) mereka, engkau
mendapatinya seolah-olah itu datang dari satu hati dan melalui satu
lidah”. [6]
Termasuk Imam Empat, mereka berada di atas satu aqidah. Para ulama
terkenal dari berbagai madzhab telah menulis aqidah Imam Empat ini, dan
mereka semua memiliki aqidah yang sama.
Secara terperinci, aqidah Imam Empat ini antara lain dapat dilihat di
dalam kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, karya Dr. Nashir
bin ‘Abdillah Al Qifari, dosen aqidah Universitas Imam Muhammad bin
Sa’ud Qashim dan kitab Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf, karya Dr. Abdullah
bin Abdul Muhsin At Turki, Rektor Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud.
IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah t berkata: “Aku berpegang kepada kitab Allah. Kemudian
yang tidak aku dapatkan (di dalam kitab Allah, aku berpegang) kepada
Sunnah Rasulullah n . Jika aku tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah
dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para
sahabat Beliau. Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku
kehendaki, dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki di
antara mereka. Dan aku tidak akan meninggalkan perkataan mereka (dan)
mengambil perkataan selain (dari) mereka”. [Riwayat Ibnu Ma’in di dalam
Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh
Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321 H), salah seorang ulama
Hanafiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, yang kemudian terkenal
dengan nama “Aqidah Ath Thahawiyah”. Beliau membukanya dengan
perkataan: “Ini peringatan dan penjelasan aqidah Ahlis Sunnah wal
Jama’ah di atas jalan ahli fiqih-ahli fiqih agama: Abu Hanifah Nu’man
bin Tsabit Al Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al Anshari, Abu
Abdillah Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani g , dan yang mereka yakini,
berupa ushuluddin (pokok-pokok agama), dan cara beragamanya mereka
(dengannya) kepada Rabbul ‘Alamin”. [Kitab Aqidah Ath Thahawiyah]
As Subki rahimahullah memberikan komentar terhadap “Aqidah Ath
Thahawiyah” dengan perkataan : “Madzhab yang empat ini –segala puji
hanya bagi Allah- satu dalam aqidah, kecuali di antara mereka yang
mengikuti orang-orang Mu’tazilah dan orang-orang yang menganggap Allah
berjisim [7], Namun mayoritas (pengikut) madzhab empat ini, berada di
atas al haq. Mereka mengakui aqidah Abu Ja’far Ath Thahawi yang telah
diterima secara utuh oleh para ulama dahulu dan generasi berikutnya”.
[Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 28, karya Dr. Nashir
bin ‘Abdillah Al Qifari].
Penerimaan para ulama terhadap Aqidah Ath Thahawiyah adalah secara umum.
Karena ada beberapa perkara yang perlu dikoreksi, sebagaimana hal itu
telah dilakukan oleh pensyarah (pemberi penjelasan) Aqidah Ath
Thahawiyah, (yaitu) Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi. Demikian juga oleh
para ulama belakangan, seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam ta’liq
(komentar) beliau, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam syarah
dan ta’liq beliau, dan Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais di
dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Al Muyassar. Namun secara umum,
para ulama menerima kebenaran aqidah tersebut.
IMAM MALIK BIN ANAS
Imam Malik bin Anas t dikenal sebagai ulama yang tegas dalam menyikapi
bid’ah. Di antara perkataan beliau yang masyhur ialah: “Barangsiapa
membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam (dan) ia menganggapnya
sebagai kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa (Nabi) Muhammad n telah
mengkhianati risalah. Karena Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu.
[Al Maidah:3]
Maka apa-apa yang pada hari itu bukan agama, pada hari ini pun tidak menjadi agama”. [8]
Imam Ibnu Abi Zaid Al Qairawani rahimahullah, (wafat 386 H), salah
seorang ulama Malikiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, dan
berisi aqidah Ahlu Sunnah, sama dengan aqidah ulama lainnya.
IMAM ASY SYAFI’I
Imam Syafi’I t berkata: “Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka (semua)
alasan tertolak atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan
mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada
perkataan-perkataan para sahabat Nabi n , atau salah satu dari mereka”.
[Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35.
Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm.
36].
Dan telah masyhur perkataan Imam Syafi’i rahimahullah : “Aku beriman
kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah (yakni Al Qur’an,
Pen), sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Aku beriman kepada utusan
Allah dan kepada apa yang datang dari utusan Allah (yakni Nabi Muhammad n
, Pen), sesuai dengan yang dikehendaki utusan Allah” [9]. Imam Abu
Bakar Al Isma’ili Al Jurjani rahimahullah, (wafat 371 H), salah seorang
ulama Syafi’iyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah. Beliau
membukanya dengan perkataan: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat
kepada kami dan kalian, bahwa jalan Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal
Jama’ah, ialah mengakui kepada Allah, malaikat-malaikatNya,
kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan menerima apa yang dikatakan oleh
kitab Allah Ta’ala, dan apa yang telah shahih riwayatnya dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam" [10].
IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hambal t berkata: “Pokok-pokok Sunnah menurut kami ialah,
berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n berada di atasnya,
dan meneladani mereka … “ [Riwayat Al Lalikai]
Imam Abu Muhammad Al Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al Barbahari rahimahullah
(wafat 329 H), salah seorang ulama Hanbaliyah, menulis sebuah risalah
tentang aqidah; aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, yang bernama Syarhus
Sunnah. Di antara yang beliau katakan di awal kitab ini ialah:
“Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu. Bahwa agama
hanyalah yang datang dari Allah Tabaraka wa Ta’ala (Yang Banyak Memberi
Berkah dan Maha Tinggi), tidak diletakkan pada akal-akal manusia dan
fikiran-fikiran mereka. Dan ilmunya (agama) di sisi Allah dan di sisi
RasulNya. Maka janganlah engkau mengikuti sesuatu dengan hawa-nafsumu,
sehingga engkau akan lepas dari agama dan keluar dari Islam.
Sesungguhnya tidak ada argumen bagimu, karena Rasulullah n telah
menjelaskan Sunnah (ajaran agama/aqidah) kepada umatnya, telah
menerangkannya kepada para sahabat Beliau, dan mereka adalah Al Jama’ah.
Mereka adalah As Sawadul A’zham (golongan mayoritas). Dan As Sawadul
A’zham (yang dimaksudkan) adalah al haq dan pengikutnya. Barangsiapa
menyelisihi para sahabat Rasulullah n di dalam sesuatu dari urusan
agama, (maka) dia telah kafir”. [11]
KESALAHAN YANG WAJIB DILURUSKAN
Ada beberapa kesalahan yang harus dibenarkan seputar kesatuan aqidah para ulama. Di antaranya:
1. Anggapan bahwa beragamnya madzhab (pendapat yang diikuti) dalam masalah fiqih, berarti beragamnya aqidah para imam.
Anggapan ini batil, sebagaimana telah kami sampaikan tentang kesatuan
aqidah para ulama Ahlu Sunnah. Nampaknya, anggapan ini sudah ada
semenjak lama. Pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
beliau menampakkan aqidah Salafiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah, (tetapi)
beliau dituduh menyebarkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal t . Kemudian
beliau menjawab: “Ini adalah aqidah seluruh imam-imam dan Salaf (para
pendahulu) umat ini, yang mereka mengambilnya dari Nabi n . Ini adalah
aqidah Muhammad n “. Lihat Munazharah Aqidah Al Wasithiyah.
2. Anggapan bahwa perbedaan Ahlu Sunnah dengan firqah Syi’ah dan
semacamnya dari kalangan Ahli Bid’ah, seperti perbedaan di antara
madzhab empat.
Bahkan saat sekarang ini, di negara Mesir muncul lembaga yang disebut
Darut Taqrib, dengan semboyan mendekatkan antara Madzhab Enam. Yaitu
madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah, madzhab
Hanbaliyah, madzhab (Syi’ah) Zaidiyah, dan madzhab (Syi’ah) Al Itsna
‘Asyariyah. Lembaga ini menganggap, bahwa madzhab empat yang beraqidah
Ahlu Sunnah, sama seperti Syi’ah yang sesat. Padahal telah kita ketahui,
sebagaimana kami sampaikan di atas, bahwa aqidah seluruh imam itu satu,
yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun Syi’ah, Rafidhah, maka
para ulama telah sepakat bahwa mereka adalah ahli bid’ah.
Setelah kita mengetahui bahwa aqidah Imam Empat sama, yaitu aqidah Ahlu
Sunnah wal Jama’ah, bukan aqidah Asy’ariyah, bukan pula aqidah
Maturidiyah, maka sepantasnya orang-orang yang menyatakan mengikuti
imam-imam tersebut dalam masalah fiqih, juga mengikuti imam mereka dalam
masalah aqidah. Dengan begitu mereka akan bersatu di atas al haq.
Wallahul Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hanafiyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah rahimahullah
[2]. Ahli dzimmah, ialah orang kafir yang menjadi warga negara di bawah kekuasaan negara Islam
[3]. Syafi’iyyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Syafi’i rahimahullah
[4]. Lihat Tarikh Fiqih Islami, hlm. 171-176, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar.
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa (3/161).
[6]. Lihat Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah (2/224-225). Dinukil dari kitab
Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 73, karya Dr. Nashir
bin ‘Abdillah Al Qifari.
[7]. Yakni menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, Pen
[8]. Al I’tisham (1/64), karya Asy Syatibi.
[9]. Majmu’ Fatawa (4/2).
[10]. I’tiqad Aimmatil Hadits Lil Imam Abi Bakar Al Isma’ili , hlm. 49, karya, tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais.
[11]. Syarhus Sunnah, hlm. 68, no. 5, karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi.