Manhaj Salaf - Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد .Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du.
Saturday, November 9, 2013
Monday, November 4, 2013
Kekeliruan dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah
Sebentar
lagi kita akan memasuki tanggal 1 Muharram. Seperti kita ketahui bahwa
perhitungan awal tahun hijriyah dimulai dari hijrahnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Lalu
bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan
Muharram? Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang
mungkin banyak di antara kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum
muslimin yang salah kaprah dalam menyambut bulan Muharram atau awal tahun.
Silakan simak pembahasan berikut.
Bulan
Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam
agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro),
merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah
firman Allah Ta’ala berikut.
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ
يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
”Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci).
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Ibnu
Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan
langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di
orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan
matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari
dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas
bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung
berdasarkan perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran
matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]
Lalu apa
saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
الزَّمَانُ
قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ
ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى
بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
”Setahun
berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu
tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga
bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan
lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[2]
Jadi
empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqa’dah; (2) Dzulhijjah; (3)
Muharram; dan (4) Rajab. Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan
haram.
Di
Balik Bulan Haram
Lalu
kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah
mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan
berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan
untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya
karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik
untuk melakukan amalan ketaatan.”[3]
Karena
pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan,
sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram.
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang
berpuasa di dalamnya.”
Ibnu
’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram,
dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan
lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih
banyak.”[4]
Bulan
Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
Suri
tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda,
أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ
بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
”Puasa
yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan
Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib
adalah shalat malam.”[5]
Bulan
Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah,
dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya
bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan
dan keistimewaannya.[6]
Perkataan
yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qadir
(2/53), beliau rahimahullah mengatakan, ”Bulan Muharram ini disebut
syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ’Allah’ untuk
menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’
(rumah Allah) atau ’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy.
Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya,
ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah
yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shafar Al
Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan
inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah
seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan,
maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah
pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Muharram. Inilah yang
disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian
karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”[7]
Al Hafizh
Abul Fadhl Al ’Iraqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan
Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan
adalah milik Allah?”
Beliau rahimahullah
menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan.
Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan
pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk
menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali
bulan Allah (yaitu Muharram).[8]
Dengan
melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iraqiy di atas, jelaslah
bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.
Menyambut
Tahun Baru Hijriyah
Dalam
menghadapi tahun baru hijriyah atau
bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah dalam menyikapinya. Bila tahun
baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka mengapa kita selaku umat
Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun baru masehi dengan
perayaan atau pun amalan?
Satu hal
yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan diri dengan ajaran
Nabi dan para sahabatnya. Jika mereka tidak melakukan amalan tertentu dalam
menyambut tahun baru Hijriyah, maka sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka
dalam hal ini. Bukankah para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah
kalimat,
لَوْ
كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya
amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita
melakukannya.”[9]
Inilah
perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah
dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai
bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan
segera melakukannya.[10]
Sejauh
yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan untuk menyambut
tahun baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan oleh sebagian kaum
muslimin dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah amalan yang tidak ada
tuntunannya karena sama sekali tidak berdasarkan dalil atau jika ada dalil,
dalilnya pun lemah.
Amalan
Keliru dalam Menyambut Awal Tahun Hijriyah
Amalan
Pertama: Do’a awal dan akhir tahun
Amalan
seperti ini sebenarnya tidak ada tuntunannya sama sekali. Amalan ini tidak
pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat,
tabi’in dan ulama-ulama besar lainnya. Amalan ini juga tidak kita temui pada
kitab-kitab hadits atau musnad. Bahkan amalan do’a ini hanyalah karangan para
ahli ibadah
yang tidak mengerti hadits.
Yang
lebih parah lagi, fadhilah atau keutamaan do’a ini sebenarnya tidak
berasal dari wahyu sama sekali, bahkan yang membuat-buat hadits tersebut telah
berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya. Jadi mana mungkin amalan seperti
ini diamalkan.[11]
Amalan
kedua: Puasa awal dan akhir tahun
Sebagian
orang ada yang mengkhsuskan puasa dalam di akhir bulan Dzulhijah dan awal tahun
Hijriyah. Inilah puasa yang dikenal dengan puasa awal dan akhir tahun. Dalil
yang digunakan adalah berikut ini.
مَنْ
صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ
فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ
المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً
“Barang
siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari
pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang
lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah
ta’ala menjadikan kafarat/tertutup dosanya selama 50 tahun.”
Lalu
bagaimana penilaian ulama pakar hadits mengenai riwayat di atas:
- Adz Dzahabi dalam Tartib Al Maudhu’at (181) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan gurunya –Wahb bin Wahb- yang meriwayatkan hadits ini termasuk pemalsu hadits.
- Asy Syaukani dalam Al Fawa-id Al Majmu’ah (96) mengatan bahwa ada dua perawi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.
- Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (2/566) mengatakan bahwa Al Juwaibari dan Wahb yang meriwayatkan hadits ini adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits.[12]
Kesimpulannya
hadits yang menceritakan keutamaan puasa awal dan akhir tahun adalah hadits
yang lemah yang tidak bisa dijadikan dalil dalam amalan. Sehingga tidak perlu
mengkhususkan puasa
pada awal dan akhir tahun karena haditsnya jelas-jelas lemah.
Amalan
Ketiga: Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah
Merayakan
tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api, mengkhususkan dzikir
jama’i, mengkhususkan shalat tasbih, mengkhususkan pengajian tertentu
dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, menyalakan lilin, atau
membuat pesta makan, jelas adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Karena penyambutan tahun hijriyah semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para
sahabat lainnya, para tabi’in dan para ulama sesudahnya. Yang memeriahkan tahun
baru hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang
dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas telah
menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[13]
Penutup
Menyambut
tahun baru hijriyah bukanlah dengan memperingatinya dan memeriahkannya. Namun
yang harus kita ingat adalah dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula
kematian.
Sungguh
hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun
semakin dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا لِى
وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ
شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Aku
tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun aku
tinggal di dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan
beristirahat, lalu meninggalkannya.”[14]
Hasan Al
Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki
beberapa hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.”[15]
Semoga
Allah memberi kekuatan di tengah keterasingan. Segala puji bagi Allah yang
dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan
di wisma MTI , Pogung Kidul – Jogja , 30 Dzulhijah 1430 H.
—
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
[1] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al
Hambali, hal. 217, Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawas, Dar Ibnu Katsir,
cetakan kelima, 1420 H.
[2] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679
[3] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir
surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir.
[4] Kedua perkataan ini dinukil dari Latho-if Al
Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali.
[5] HR. Muslim no. 2812
[6] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Al
Mubarakfuri, 3/368, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[7] Lihat Faidul Qodir, Al Munawi, 2/53,
Mawqi’ Ya’sub.
[8] Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul
Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun
1406 H.
[9] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu
Katsir, tafsir
surat Al Ahqof: 11, 7/278-279, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[10] Idem
[11] Lihat Majalah Qiblati edisi 4/III.
[12] Hasil penelusuran di http://dorar.net
[13] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam
Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits
ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269
[14] HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh
Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi
[15] Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub
Al ‘Arobi.
Sunday, October 13, 2013
Islamic way of slaughtering animals is scientific.
Question:
Why do Muslims slaughter the animal in a ruthless manner by torturing it and slowly and painfully killing it?
Answer:
The Islamic method of slaughtering animals, known as Zabiha has been the object of much criticism from a large number of people.
Before I reply to the question, let me relate an incidence about a discussion between a Sikh and a Muslim regarding animal slaughter.
Once a Sikh asked a Muslim, “Why do you slaughter the animal painfully by cutting the throat instead of the way we do with one stroke i.e. jhatka?” The Muslim replied “We are brave and courageous and attack from the front. We are mard ka baccha (macho men), you are cowards and attack from behind”.
Jokes apart, one may consider the following points, which prove that the Zabiha method is not only humane but also scientifically the best:
1. Islamic method of slaughtering animal
Zakkaytum is a verb derived from the root word Zakaah (to purify). Its infinitive is Tazkiyah which means purification. The Islamic mode of slaughtering an animal requires the following conditions to be met:
a. Animal should be slaughtered with a sharp object (knife)
The animal has to be slaughtered with a sharp object (knife) and in a fast way so that the pain of slaughter is minimised.
b. Cut wind pipe, throat and vessels of neck
Zabiha is an Arabic word which means ‘slaughtered’. The ‘slaughtering’ is to be done by cutting the throat, windpipe and the blood vessels in the neck causing the animal’s death without cutting the spinal cord.
c. Blood should be drained
The blood has to be drained completely before the head is removed. The purpose is to drain out most of the blood which would serve as a good culture medium for micro-organisms. The spinal cord must not be cut because the nerve fibres to the heart could be damaged during the process causing cardiac arrest, stagnating the blood in the blood vessels.
2. Blood is a good medium for germs and bacteria
Blood is a good media of germs, bacteria, toxins, etc. Therefore the Muslim way of slaughtering is more hygienic as most of the blood containing germs, bacteria, toxins, etc. that are the cause of several diseases is eliminated.
3. Meat remains fresh for a longer time
Meat slaughtered by Islamic way remains fresh for a longer time due to deficiency of blood in the meat as compared to other methods of slaughtering.
4. Animal does not feel pain
The swift cutting of vessels of the neck disconnects the flow of blood to the nerve of the brain responsible for pain. Thus the animal does not feel pain. While dying, the animal struggles, writhes, shakes and kicks, not due to pain, but due to the contraction and relaxation of the muscles deficient in blood and due to the flow of blood out of the body.
Why do Muslims slaughter the animal in a ruthless manner by torturing it and slowly and painfully killing it?
Answer:
The Islamic method of slaughtering animals, known as Zabiha has been the object of much criticism from a large number of people.
Before I reply to the question, let me relate an incidence about a discussion between a Sikh and a Muslim regarding animal slaughter.
Once a Sikh asked a Muslim, “Why do you slaughter the animal painfully by cutting the throat instead of the way we do with one stroke i.e. jhatka?” The Muslim replied “We are brave and courageous and attack from the front. We are mard ka baccha (macho men), you are cowards and attack from behind”.
Jokes apart, one may consider the following points, which prove that the Zabiha method is not only humane but also scientifically the best:
1. Islamic method of slaughtering animal
Zakkaytum is a verb derived from the root word Zakaah (to purify). Its infinitive is Tazkiyah which means purification. The Islamic mode of slaughtering an animal requires the following conditions to be met:
a. Animal should be slaughtered with a sharp object (knife)
The animal has to be slaughtered with a sharp object (knife) and in a fast way so that the pain of slaughter is minimised.
b. Cut wind pipe, throat and vessels of neck
Zabiha is an Arabic word which means ‘slaughtered’. The ‘slaughtering’ is to be done by cutting the throat, windpipe and the blood vessels in the neck causing the animal’s death without cutting the spinal cord.
c. Blood should be drained
The blood has to be drained completely before the head is removed. The purpose is to drain out most of the blood which would serve as a good culture medium for micro-organisms. The spinal cord must not be cut because the nerve fibres to the heart could be damaged during the process causing cardiac arrest, stagnating the blood in the blood vessels.
2. Blood is a good medium for germs and bacteria
Blood is a good media of germs, bacteria, toxins, etc. Therefore the Muslim way of slaughtering is more hygienic as most of the blood containing germs, bacteria, toxins, etc. that are the cause of several diseases is eliminated.
3. Meat remains fresh for a longer time
Meat slaughtered by Islamic way remains fresh for a longer time due to deficiency of blood in the meat as compared to other methods of slaughtering.
4. Animal does not feel pain
The swift cutting of vessels of the neck disconnects the flow of blood to the nerve of the brain responsible for pain. Thus the animal does not feel pain. While dying, the animal struggles, writhes, shakes and kicks, not due to pain, but due to the contraction and relaxation of the muscles deficient in blood and due to the flow of blood out of the body.
Sunday, September 29, 2013
Beribadah Karena Mengharap Surga Merosak Keikhlasan??!!
Ada
beberapa perkara yang disangka oleh sebagian orang merosak keikhlasan,
akan tetapi ternyata tidak merosak keikhlasan. Perkara-perkara tersebut
adalah :
Pertama : Beramal dalam rangka mencari surga.
Sebagian orang terlalu berlebihan dan salah faham tentang keikhlasan. Orang yang beramal sholeh karena mencari surga dinamakan oleh Robi'ah al-'Adawiyah dengan "Pekerja yang buruk". Ia berkata:
مَا عَبَدْتُهُ خَوْفًا مِنْ نَارِهِ وَلاَ حُبًّا فِي جَنَّتِهِ فَأَكُوْنَ كَأَجِيْرِ السُّوْءِ، بَلْ عَبَدْتُهُ حُبًّا لَهُ وَشَوْقًا إِلَيهِ
"Aku tidaklah menyembahNya karena takut neraka, dan tidak pula karena berharap surgaNya sehingga aku seperti pekerja yang buruk. Akan tetapi aku menyembahNya karena kecintaan dan kerinduan kepadaNya" (Ihyaa' Uluum ad-Diin 4/310)
Pertama : Beramal dalam rangka mencari surga.
Sebagian orang terlalu berlebihan dan salah faham tentang keikhlasan. Orang yang beramal sholeh karena mencari surga dinamakan oleh Robi'ah al-'Adawiyah dengan "Pekerja yang buruk". Ia berkata:
مَا عَبَدْتُهُ خَوْفًا مِنْ نَارِهِ وَلاَ حُبًّا فِي جَنَّتِهِ فَأَكُوْنَ كَأَجِيْرِ السُّوْءِ، بَلْ عَبَدْتُهُ حُبًّا لَهُ وَشَوْقًا إِلَيهِ
"Aku tidaklah menyembahNya karena takut neraka, dan tidak pula karena berharap surgaNya sehingga aku seperti pekerja yang buruk. Akan tetapi aku menyembahNya karena kecintaan dan kerinduan kepadaNya" (Ihyaa' Uluum ad-Diin 4/310)
Demikian juga Al-Gozali mensifati orang yang seperti ini dengan orang yang ablah (dungu). Ia barkata,
فَالْعَامِلُ ِلأَجْلِ الْجَنَّةِ عَامِلٌ لِبَطْنِهِ وَفَرْجِهِ كَالْأَجِيْرِ السُّوْءِ وَدَرَجَتُهُ دَرَجَةُ الْبَلَهِ وَإِنَّهُ لَيَنَالُهَا بِعَمَلِهِ إِذْ أَكْثَرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ الْبَلَهُ وَأَمَّا عِبَادَةُ ذَوِي الْأَلْبَابِ فَإِنَّهَا لاَ تُجَاوِزُ ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى وَالْفِكْرِ فِيْهِ لِجَمَالِهِ ... وَهَؤُلاَءِ أَرْفَعُ دَرَجَةً مِنَ الْاِلْتِفَاتِ إِلَى الْمَنْكُوْحِ وَالْمَطْعُوْمِ فِي الْجَنَّةِ
"Seseorang yang beramal karena surga maka ia adalah seorang yang beramal karena perut dan kemaluannya, seperti pekerja yang buruk. Dan derajatnya adalah derajat al-balah (orang dungu), dan sesungguhnya ia meraih surga dengan amalannya, karena kebanyakan penduduk surga adalah orang dungu. Adapun ibadah orang-orang ulil albab (yang cerdas) maka tidaklah melewati dzikir kepada Allah dan memikirkan tentang keindahanNya….maka mereka lebih tinggi derajatnya dari pada derajatnya orang-orang yang mengharapkan bidadari dan makanan di surga" (Ihyaa Uluumid Diin 3/375)
Tentunya ini adalah pendapat yang keliru. Bisa ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama : Allah telah mensifati para nabi dan juga pemimpin kaum mukminin bahwasanya mereka beribadah kepada Allah dalam kondisi takut dan berharap. Allah berfirman
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا (٥٧)
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS Al-Isroo : 57)
Allah berfirman tentang 'Ibaadurrohman bahwasanya mereka takut dengan adzab neraka
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (٦٥)
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, jauhkan azab Jahannam dari Kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".(QS Al-Furqoon : 65)
Nabi Ibrahim 'alaihis salaam berkata dalam doanya
وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (٨٥)وَاغْفِرْ لأبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ (٨٦)وَلا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ (٨٧)
Dan Jadikanlah aku Termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, Dan ampunilah bapakku, karena Sesungguhnya ia adalah Termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (QS Asy-Syu'aroo 85-87)
Allah memuji Nabi Zakariya dan juga Nabi Yahya 'alaihima as-salam dalam firmanNya
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ (٩٠)
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami. (QS Al-Anbiyaa : 90)
Demikian juga Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam terlalu banyak doa-doa beliau meminta surga dan terjauhkan dari neraka.
Kedua : Bahkan Allah mensifati para ulil albab (orang-orang yang berakal dan cerdas) bahwasanya mereka takut dengan adzab neraka dan mengharapkan janji Allah. Yang ini jelas bantahan terhadap Al-Ghozali yang menganggap orang yang mengharapkan surga dan takut neraka sebagai orang yang dungu.
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (١٩١)رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (١٩٢)رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ (١٩٣)رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (١٩٤)
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, Maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka Kamipun beriman. Ya Tuhan Kami, ampunilah bagi Kami dosa-dosa Kami dan hapuskanlah dari Kami kesalahan-kesalahan Kami, dan wafatkanlah Kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Ya Tuhan Kami, berilah Kami apa yang telah Engkau janjikan kepada Kami dengan perantaraan Rasul-rasul Engkau. dan janganlah Engkau hinakan Kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji." (QS Ali 'Imroon : 191-194)
Ketiga : Setelah Allah menyebutkan tentang kenikmatan-kenikmatan di surga lalu Allah memerintahkan para hambaNya untuk saling berlomba-lomba dalam memperolehnya.
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (٢٦)
dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. (QS Al-Muthoffifin : 26)
Keempat : Terlalu banyak ayat dalam al-Qur'an yang menjelasan tentang nikmat-nikmat surga. Maka jika seseorang tercela mengharapkan kenikmatan surga maka seakan-akan Allah telah menyesatkan hamba-hambaNya dengan mengiming-iming mereka dengan nikmat surga. Demikian juga halnya Allah sering menyebutkan tentang perihnya adzab neraka.
Kelima : Diantara kenikmatan surga –bahkan yang merupakan puncak kenikmatan- adalah melihat wajah Allah. Karenanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminta kepada Allah nikmat ini, sebagaimana dalam doanya :
وَأَسْأَلَُك لَذَّةَ النَّظْرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكِ
"Dan aku memohon keledzatan memandang wajahMu, dan kerinduan untuk bertemu denganMu" (HR An-Nasaai no 1305 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Orang yang mengaku tidak berharap kenikmatan surga, maka apakah ia tidak ingin melihat wajah Allah?!!
Keenam : Banyak hadits yang mempersyaratkan "pengharapan ganjaran dari Allah" pada sebuah amalan.
Contohnya sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barang siapa yang berpuasa di bulan ramadhan karena keimanan dan berharap maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" (HR Al-Bukhari no 38 dan Muslim no 760)
مَنِ اتَّبَعَ جَنَازَةَ مُسْلِمٍ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا) حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيْرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيْرَاطَانِ (مِنَ الأَجْرِ)، قِيْلَ: (يَا رَسُوْلَ اللهِ) وَمَا الْقِيْرَاطَانِ؟ قَالَ: مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيْمَيْنِ
"Barangsiapa yang mengikuti janazah muslim karena keimanan dan mengharapkan (ganjaran dari Allah) hingga disholatkan jenazah tersebut maka bagi dia qirot pahala, dan barangsiapa yang menghadiri janazah hingga dikubur maka baginya dua qirot pahala". Maka dikatakan, "Wahai Rasulullah, apa itu dua qirot?", Nabi berkata, "Seperti dua gunung besar" (HR Al-Bukhari no 47)
Al-Khotthoobi berkata
احْتِسَابًا أَيْ عَزِيْمَةً وَهُوَ أَنْ يَصُوْمَهُ عَلَى مَعْنَى الرَّغْبَةِ فِي ثَوَابِهِ
"Ihtisaaban" yaitu azimah (tekad) maksudnya ia berpuasa karena berharap pahala dari Allah" (Fathul Baari 4/115)
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 24-10-1433 H / 11 September 2012 M
Sumber : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Tuesday, September 10, 2013
Friday, September 6, 2013
AQIDAH IMAM EMPAT
Oleh:Ustadz Muslim Al Atsari
“Bagilah masjid-masjid antara kami dengan Hanafiyah [1] karena Si Fulan, salah seorang ahli fiqih mereka, menganggap kami sebagai ahli dzimmah! [2]” Usulan ini disampaikan oleh beberapa tokoh Syafi’iyyah[3] kepada mufti Syam pada akhir abad 13 Hijriyah.
Selain itu, banyak ahli fiqih Hanafiyah memfatwakan batalnya shalat seorang Hanafi di belakang imam seorang Syafi’i. Demikian juga sebaliknya, sebagian ahli fiqih Syafi’iyah memfatwakan batalnya shalat seorang Syafi’i di belakang imam seorang Hanafi.
Ini di antara contoh sekian banyak kasus fanatisme madzhab yang menyebabkan perselisihan dan perpecahan umat Islam [4]. Realita yang amat disayangkan, bahkan dilarang di dalam agama Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara. [Ali ‘Imran : 103].
Mengapa orang-orang yang mengaku sebagi para pengikut Imam Empat itu saling bermusuhan? Apakah mereka memiliki aqidah yang berbeda? Bagaimana dengan aqidah Imam Empat?
Benar, ternyata banyak di antara para pengikut Imam Empat memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah imam mereka. Walaupun secara fiqih mereka mengaku mengikuti imam panutannya. Banyak di antara para pengikut itu memiliki aqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah atau Shufiyah atau lainnya, aqidah-aqidah yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Padahal imam-imam mereka memiliki aqidah yang sama, yakni aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, aqidah Ahli Hadits.
IMAM EMPAT
Istilah Imam Empat yang digunakan umat Islam pada zaman ini, mereka ialah:
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah, dari Kufah, Irak (hidup th 80 H - 150 H).
2. Imam Malik bin Anas rahimahullah, dari Madinah (hidup th 93 H - 179 H)
3. Imam Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah, lahir di Ghazza, ‘Asqalan, kemudian pindah ke Mekkah. Beliau bersafar ke Madinah, Yaman dan Irak, lalu menetap dan wafat di Mesir (hidup th 150 H - 204 H).
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Baghdad, ‘Irak (hidup th 164 H - 241 H).
Empat ulama ini sangat masyhur di kalangan umat Islam. Kepada empat imam inilah, empat madzhab fiqih dinisbatkan.
AQIDAH IMAM EMPAT
Siapapun yang meneliti aqidah para ulama Salafush Shalih, maka ia akan mendapatkan bahwa aqidah mereka adalah satu, jalan mereka juga satu. Para ulama Salafush Shalih tidak berpaling dari nash-nash Al Kitab dan Sunnah, dan tidak menentangnya dengan akal, perasaan, atau perkataan manusia.
Mereka mempunyai pandangan yang jernih, bahwa aqidah itu tidak diambil dari seorang ‘alim tertentu, bagaimanapun tinggi kedudukannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun i’tiqad (aqidah, keyakinan), maka tidaklah diambil dariku, atau dari orang yang dia lebih besar dariku. Tetapi diambil dari Allah dan RasulNya, dan keyakinan yang disepakati oleh salaful ummah (umat Islam yang telah lalu, para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Maka apa yang ada di dalam Al Qur’an wajib diyakini. Demikian juga yang hadits-hadits yang shahih telah pasti, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim” [5]. Imam Al Ashfahani rahimahullah berkata: “Seandainya engkau meneliti seluruh kitab-kitab mereka (Ahlu Sunnah) yang telah ditulis, dari awal mereka sampai yang akhir mereka, yang dahulu dari mereka dan yang sekarang dari mereka, dengan perbedaan kota dan zaman mereka, dan jauhnya negeri-negeri mereka, masing-masing tinggal di suatu daerah dari daerah-daerah (Islam); engkau dapati mereka dalam menjelaskan aqidah di atas jalan yang satu, bentuk yang satu. Pendapat mereka dalam hal itu (aqidah) satu. Penukilan mereka satu. Engkau tidak melihat perselisihan dan perbedaan pada suatu masalah tertentu, walaupun sedikit. Bahkan seandainya engkau kumpulkan seluruh apa yang lewat pada lidah mereka dan apa yang mereka nukilkan dari Salaf (orang-orang dahulu) mereka, engkau mendapatinya seolah-olah itu datang dari satu hati dan melalui satu lidah”. [6]
Termasuk Imam Empat, mereka berada di atas satu aqidah. Para ulama terkenal dari berbagai madzhab telah menulis aqidah Imam Empat ini, dan mereka semua memiliki aqidah yang sama.
Secara terperinci, aqidah Imam Empat ini antara lain dapat dilihat di dalam kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari, dosen aqidah Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud Qashim dan kitab Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf, karya Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki, Rektor Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud.
IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah t berkata: “Aku berpegang kepada kitab Allah. Kemudian yang tidak aku dapatkan (di dalam kitab Allah, aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah n . Jika aku tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat Beliau. Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki, dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki di antara mereka. Dan aku tidak akan meninggalkan perkataan mereka (dan) mengambil perkataan selain (dari) mereka”. [Riwayat Ibnu Ma’in di dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321 H), salah seorang ulama Hanafiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, yang kemudian terkenal dengan nama “Aqidah Ath Thahawiyah”. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ini peringatan dan penjelasan aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah di atas jalan ahli fiqih-ahli fiqih agama: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al Anshari, Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani g , dan yang mereka yakini, berupa ushuluddin (pokok-pokok agama), dan cara beragamanya mereka (dengannya) kepada Rabbul ‘Alamin”. [Kitab Aqidah Ath Thahawiyah]
As Subki rahimahullah memberikan komentar terhadap “Aqidah Ath Thahawiyah” dengan perkataan : “Madzhab yang empat ini –segala puji hanya bagi Allah- satu dalam aqidah, kecuali di antara mereka yang mengikuti orang-orang Mu’tazilah dan orang-orang yang menganggap Allah berjisim [7], Namun mayoritas (pengikut) madzhab empat ini, berada di atas al haq. Mereka mengakui aqidah Abu Ja’far Ath Thahawi yang telah diterima secara utuh oleh para ulama dahulu dan generasi berikutnya”. [Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 28, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari].
Penerimaan para ulama terhadap Aqidah Ath Thahawiyah adalah secara umum. Karena ada beberapa perkara yang perlu dikoreksi, sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh pensyarah (pemberi penjelasan) Aqidah Ath Thahawiyah, (yaitu) Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi. Demikian juga oleh para ulama belakangan, seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam ta’liq (komentar) beliau, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam syarah dan ta’liq beliau, dan Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais di dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Al Muyassar. Namun secara umum, para ulama menerima kebenaran aqidah tersebut.
IMAM MALIK BIN ANAS
Imam Malik bin Anas t dikenal sebagai ulama yang tegas dalam menyikapi bid’ah. Di antara perkataan beliau yang masyhur ialah: “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam (dan) ia menganggapnya sebagai kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa (Nabi) Muhammad n telah mengkhianati risalah. Karena Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. [Al Maidah:3]
Maka apa-apa yang pada hari itu bukan agama, pada hari ini pun tidak menjadi agama”. [8]
Imam Ibnu Abi Zaid Al Qairawani rahimahullah, (wafat 386 H), salah seorang ulama Malikiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, dan berisi aqidah Ahlu Sunnah, sama dengan aqidah ulama lainnya.
IMAM ASY SYAFI’I
Imam Syafi’I t berkata: “Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka (semua) alasan tertolak atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi n , atau salah satu dari mereka”. [Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36].
Dan telah masyhur perkataan Imam Syafi’i rahimahullah : “Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah (yakni Al Qur’an, Pen), sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Aku beriman kepada utusan Allah dan kepada apa yang datang dari utusan Allah (yakni Nabi Muhammad n , Pen), sesuai dengan yang dikehendaki utusan Allah” [9]. Imam Abu Bakar Al Isma’ili Al Jurjani rahimahullah, (wafat 371 H), salah seorang ulama Syafi’iyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepada kami dan kalian, bahwa jalan Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jama’ah, ialah mengakui kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan menerima apa yang dikatakan oleh kitab Allah Ta’ala, dan apa yang telah shahih riwayatnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam" [10].
IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hambal t berkata: “Pokok-pokok Sunnah menurut kami ialah, berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n berada di atasnya, dan meneladani mereka … “ [Riwayat Al Lalikai]
Imam Abu Muhammad Al Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al Barbahari rahimahullah (wafat 329 H), salah seorang ulama Hanbaliyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah; aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, yang bernama Syarhus Sunnah. Di antara yang beliau katakan di awal kitab ini ialah: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu. Bahwa agama hanyalah yang datang dari Allah Tabaraka wa Ta’ala (Yang Banyak Memberi Berkah dan Maha Tinggi), tidak diletakkan pada akal-akal manusia dan fikiran-fikiran mereka. Dan ilmunya (agama) di sisi Allah dan di sisi RasulNya. Maka janganlah engkau mengikuti sesuatu dengan hawa-nafsumu, sehingga engkau akan lepas dari agama dan keluar dari Islam. Sesungguhnya tidak ada argumen bagimu, karena Rasulullah n telah menjelaskan Sunnah (ajaran agama/aqidah) kepada umatnya, telah menerangkannya kepada para sahabat Beliau, dan mereka adalah Al Jama’ah. Mereka adalah As Sawadul A’zham (golongan mayoritas). Dan As Sawadul A’zham (yang dimaksudkan) adalah al haq dan pengikutnya. Barangsiapa menyelisihi para sahabat Rasulullah n di dalam sesuatu dari urusan agama, (maka) dia telah kafir”. [11]
KESALAHAN YANG WAJIB DILURUSKAN
Ada beberapa kesalahan yang harus dibenarkan seputar kesatuan aqidah para ulama. Di antaranya:
1. Anggapan bahwa beragamnya madzhab (pendapat yang diikuti) dalam masalah fiqih, berarti beragamnya aqidah para imam.
Anggapan ini batil, sebagaimana telah kami sampaikan tentang kesatuan aqidah para ulama Ahlu Sunnah. Nampaknya, anggapan ini sudah ada semenjak lama. Pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau menampakkan aqidah Salafiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah, (tetapi) beliau dituduh menyebarkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal t . Kemudian beliau menjawab: “Ini adalah aqidah seluruh imam-imam dan Salaf (para pendahulu) umat ini, yang mereka mengambilnya dari Nabi n . Ini adalah aqidah Muhammad n “. Lihat Munazharah Aqidah Al Wasithiyah.
2. Anggapan bahwa perbedaan Ahlu Sunnah dengan firqah Syi’ah dan semacamnya dari kalangan Ahli Bid’ah, seperti perbedaan di antara madzhab empat.
Bahkan saat sekarang ini, di negara Mesir muncul lembaga yang disebut Darut Taqrib, dengan semboyan mendekatkan antara Madzhab Enam. Yaitu madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah, madzhab Hanbaliyah, madzhab (Syi’ah) Zaidiyah, dan madzhab (Syi’ah) Al Itsna ‘Asyariyah. Lembaga ini menganggap, bahwa madzhab empat yang beraqidah Ahlu Sunnah, sama seperti Syi’ah yang sesat. Padahal telah kita ketahui, sebagaimana kami sampaikan di atas, bahwa aqidah seluruh imam itu satu, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun Syi’ah, Rafidhah, maka para ulama telah sepakat bahwa mereka adalah ahli bid’ah.
Setelah kita mengetahui bahwa aqidah Imam Empat sama, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bukan aqidah Asy’ariyah, bukan pula aqidah Maturidiyah, maka sepantasnya orang-orang yang menyatakan mengikuti imam-imam tersebut dalam masalah fiqih, juga mengikuti imam mereka dalam masalah aqidah. Dengan begitu mereka akan bersatu di atas al haq. Wallahul Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hanafiyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah rahimahullah
[2]. Ahli dzimmah, ialah orang kafir yang menjadi warga negara di bawah kekuasaan negara Islam
[3]. Syafi’iyyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Syafi’i rahimahullah
[4]. Lihat Tarikh Fiqih Islami, hlm. 171-176, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar.
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa (3/161).
[6]. Lihat Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah (2/224-225). Dinukil dari kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 73, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari.
[7]. Yakni menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, Pen
[8]. Al I’tisham (1/64), karya Asy Syatibi.
[9]. Majmu’ Fatawa (4/2).
[10]. I’tiqad Aimmatil Hadits Lil Imam Abi Bakar Al Isma’ili , hlm. 49, karya, tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais.
[11]. Syarhus Sunnah, hlm. 68, no. 5, karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi.
“Bagilah masjid-masjid antara kami dengan Hanafiyah [1] karena Si Fulan, salah seorang ahli fiqih mereka, menganggap kami sebagai ahli dzimmah! [2]” Usulan ini disampaikan oleh beberapa tokoh Syafi’iyyah[3] kepada mufti Syam pada akhir abad 13 Hijriyah.
Selain itu, banyak ahli fiqih Hanafiyah memfatwakan batalnya shalat seorang Hanafi di belakang imam seorang Syafi’i. Demikian juga sebaliknya, sebagian ahli fiqih Syafi’iyah memfatwakan batalnya shalat seorang Syafi’i di belakang imam seorang Hanafi.
Ini di antara contoh sekian banyak kasus fanatisme madzhab yang menyebabkan perselisihan dan perpecahan umat Islam [4]. Realita yang amat disayangkan, bahkan dilarang di dalam agama Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara. [Ali ‘Imran : 103].
Mengapa orang-orang yang mengaku sebagi para pengikut Imam Empat itu saling bermusuhan? Apakah mereka memiliki aqidah yang berbeda? Bagaimana dengan aqidah Imam Empat?
Benar, ternyata banyak di antara para pengikut Imam Empat memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah imam mereka. Walaupun secara fiqih mereka mengaku mengikuti imam panutannya. Banyak di antara para pengikut itu memiliki aqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah atau Shufiyah atau lainnya, aqidah-aqidah yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Padahal imam-imam mereka memiliki aqidah yang sama, yakni aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, aqidah Ahli Hadits.
IMAM EMPAT
Istilah Imam Empat yang digunakan umat Islam pada zaman ini, mereka ialah:
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah, dari Kufah, Irak (hidup th 80 H - 150 H).
2. Imam Malik bin Anas rahimahullah, dari Madinah (hidup th 93 H - 179 H)
3. Imam Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah, lahir di Ghazza, ‘Asqalan, kemudian pindah ke Mekkah. Beliau bersafar ke Madinah, Yaman dan Irak, lalu menetap dan wafat di Mesir (hidup th 150 H - 204 H).
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Baghdad, ‘Irak (hidup th 164 H - 241 H).
Empat ulama ini sangat masyhur di kalangan umat Islam. Kepada empat imam inilah, empat madzhab fiqih dinisbatkan.
AQIDAH IMAM EMPAT
Siapapun yang meneliti aqidah para ulama Salafush Shalih, maka ia akan mendapatkan bahwa aqidah mereka adalah satu, jalan mereka juga satu. Para ulama Salafush Shalih tidak berpaling dari nash-nash Al Kitab dan Sunnah, dan tidak menentangnya dengan akal, perasaan, atau perkataan manusia.
Mereka mempunyai pandangan yang jernih, bahwa aqidah itu tidak diambil dari seorang ‘alim tertentu, bagaimanapun tinggi kedudukannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun i’tiqad (aqidah, keyakinan), maka tidaklah diambil dariku, atau dari orang yang dia lebih besar dariku. Tetapi diambil dari Allah dan RasulNya, dan keyakinan yang disepakati oleh salaful ummah (umat Islam yang telah lalu, para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Maka apa yang ada di dalam Al Qur’an wajib diyakini. Demikian juga yang hadits-hadits yang shahih telah pasti, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim” [5]. Imam Al Ashfahani rahimahullah berkata: “Seandainya engkau meneliti seluruh kitab-kitab mereka (Ahlu Sunnah) yang telah ditulis, dari awal mereka sampai yang akhir mereka, yang dahulu dari mereka dan yang sekarang dari mereka, dengan perbedaan kota dan zaman mereka, dan jauhnya negeri-negeri mereka, masing-masing tinggal di suatu daerah dari daerah-daerah (Islam); engkau dapati mereka dalam menjelaskan aqidah di atas jalan yang satu, bentuk yang satu. Pendapat mereka dalam hal itu (aqidah) satu. Penukilan mereka satu. Engkau tidak melihat perselisihan dan perbedaan pada suatu masalah tertentu, walaupun sedikit. Bahkan seandainya engkau kumpulkan seluruh apa yang lewat pada lidah mereka dan apa yang mereka nukilkan dari Salaf (orang-orang dahulu) mereka, engkau mendapatinya seolah-olah itu datang dari satu hati dan melalui satu lidah”. [6]
Termasuk Imam Empat, mereka berada di atas satu aqidah. Para ulama terkenal dari berbagai madzhab telah menulis aqidah Imam Empat ini, dan mereka semua memiliki aqidah yang sama.
Secara terperinci, aqidah Imam Empat ini antara lain dapat dilihat di dalam kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari, dosen aqidah Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud Qashim dan kitab Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf, karya Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki, Rektor Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud.
IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah t berkata: “Aku berpegang kepada kitab Allah. Kemudian yang tidak aku dapatkan (di dalam kitab Allah, aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah n . Jika aku tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat Beliau. Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki, dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki di antara mereka. Dan aku tidak akan meninggalkan perkataan mereka (dan) mengambil perkataan selain (dari) mereka”. [Riwayat Ibnu Ma’in di dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321 H), salah seorang ulama Hanafiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, yang kemudian terkenal dengan nama “Aqidah Ath Thahawiyah”. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ini peringatan dan penjelasan aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah di atas jalan ahli fiqih-ahli fiqih agama: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al Anshari, Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani g , dan yang mereka yakini, berupa ushuluddin (pokok-pokok agama), dan cara beragamanya mereka (dengannya) kepada Rabbul ‘Alamin”. [Kitab Aqidah Ath Thahawiyah]
As Subki rahimahullah memberikan komentar terhadap “Aqidah Ath Thahawiyah” dengan perkataan : “Madzhab yang empat ini –segala puji hanya bagi Allah- satu dalam aqidah, kecuali di antara mereka yang mengikuti orang-orang Mu’tazilah dan orang-orang yang menganggap Allah berjisim [7], Namun mayoritas (pengikut) madzhab empat ini, berada di atas al haq. Mereka mengakui aqidah Abu Ja’far Ath Thahawi yang telah diterima secara utuh oleh para ulama dahulu dan generasi berikutnya”. [Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 28, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari].
Penerimaan para ulama terhadap Aqidah Ath Thahawiyah adalah secara umum. Karena ada beberapa perkara yang perlu dikoreksi, sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh pensyarah (pemberi penjelasan) Aqidah Ath Thahawiyah, (yaitu) Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi. Demikian juga oleh para ulama belakangan, seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam ta’liq (komentar) beliau, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam syarah dan ta’liq beliau, dan Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais di dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Al Muyassar. Namun secara umum, para ulama menerima kebenaran aqidah tersebut.
IMAM MALIK BIN ANAS
Imam Malik bin Anas t dikenal sebagai ulama yang tegas dalam menyikapi bid’ah. Di antara perkataan beliau yang masyhur ialah: “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam (dan) ia menganggapnya sebagai kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa (Nabi) Muhammad n telah mengkhianati risalah. Karena Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. [Al Maidah:3]
Maka apa-apa yang pada hari itu bukan agama, pada hari ini pun tidak menjadi agama”. [8]
Imam Ibnu Abi Zaid Al Qairawani rahimahullah, (wafat 386 H), salah seorang ulama Malikiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, dan berisi aqidah Ahlu Sunnah, sama dengan aqidah ulama lainnya.
IMAM ASY SYAFI’I
Imam Syafi’I t berkata: “Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka (semua) alasan tertolak atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi n , atau salah satu dari mereka”. [Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36].
Dan telah masyhur perkataan Imam Syafi’i rahimahullah : “Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah (yakni Al Qur’an, Pen), sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Aku beriman kepada utusan Allah dan kepada apa yang datang dari utusan Allah (yakni Nabi Muhammad n , Pen), sesuai dengan yang dikehendaki utusan Allah” [9]. Imam Abu Bakar Al Isma’ili Al Jurjani rahimahullah, (wafat 371 H), salah seorang ulama Syafi’iyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepada kami dan kalian, bahwa jalan Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jama’ah, ialah mengakui kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan menerima apa yang dikatakan oleh kitab Allah Ta’ala, dan apa yang telah shahih riwayatnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam" [10].
IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hambal t berkata: “Pokok-pokok Sunnah menurut kami ialah, berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah n berada di atasnya, dan meneladani mereka … “ [Riwayat Al Lalikai]
Imam Abu Muhammad Al Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al Barbahari rahimahullah (wafat 329 H), salah seorang ulama Hanbaliyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah; aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, yang bernama Syarhus Sunnah. Di antara yang beliau katakan di awal kitab ini ialah: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu. Bahwa agama hanyalah yang datang dari Allah Tabaraka wa Ta’ala (Yang Banyak Memberi Berkah dan Maha Tinggi), tidak diletakkan pada akal-akal manusia dan fikiran-fikiran mereka. Dan ilmunya (agama) di sisi Allah dan di sisi RasulNya. Maka janganlah engkau mengikuti sesuatu dengan hawa-nafsumu, sehingga engkau akan lepas dari agama dan keluar dari Islam. Sesungguhnya tidak ada argumen bagimu, karena Rasulullah n telah menjelaskan Sunnah (ajaran agama/aqidah) kepada umatnya, telah menerangkannya kepada para sahabat Beliau, dan mereka adalah Al Jama’ah. Mereka adalah As Sawadul A’zham (golongan mayoritas). Dan As Sawadul A’zham (yang dimaksudkan) adalah al haq dan pengikutnya. Barangsiapa menyelisihi para sahabat Rasulullah n di dalam sesuatu dari urusan agama, (maka) dia telah kafir”. [11]
KESALAHAN YANG WAJIB DILURUSKAN
Ada beberapa kesalahan yang harus dibenarkan seputar kesatuan aqidah para ulama. Di antaranya:
1. Anggapan bahwa beragamnya madzhab (pendapat yang diikuti) dalam masalah fiqih, berarti beragamnya aqidah para imam.
Anggapan ini batil, sebagaimana telah kami sampaikan tentang kesatuan aqidah para ulama Ahlu Sunnah. Nampaknya, anggapan ini sudah ada semenjak lama. Pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau menampakkan aqidah Salafiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah, (tetapi) beliau dituduh menyebarkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal t . Kemudian beliau menjawab: “Ini adalah aqidah seluruh imam-imam dan Salaf (para pendahulu) umat ini, yang mereka mengambilnya dari Nabi n . Ini adalah aqidah Muhammad n “. Lihat Munazharah Aqidah Al Wasithiyah.
2. Anggapan bahwa perbedaan Ahlu Sunnah dengan firqah Syi’ah dan semacamnya dari kalangan Ahli Bid’ah, seperti perbedaan di antara madzhab empat.
Bahkan saat sekarang ini, di negara Mesir muncul lembaga yang disebut Darut Taqrib, dengan semboyan mendekatkan antara Madzhab Enam. Yaitu madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah, madzhab Hanbaliyah, madzhab (Syi’ah) Zaidiyah, dan madzhab (Syi’ah) Al Itsna ‘Asyariyah. Lembaga ini menganggap, bahwa madzhab empat yang beraqidah Ahlu Sunnah, sama seperti Syi’ah yang sesat. Padahal telah kita ketahui, sebagaimana kami sampaikan di atas, bahwa aqidah seluruh imam itu satu, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun Syi’ah, Rafidhah, maka para ulama telah sepakat bahwa mereka adalah ahli bid’ah.
Setelah kita mengetahui bahwa aqidah Imam Empat sama, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bukan aqidah Asy’ariyah, bukan pula aqidah Maturidiyah, maka sepantasnya orang-orang yang menyatakan mengikuti imam-imam tersebut dalam masalah fiqih, juga mengikuti imam mereka dalam masalah aqidah. Dengan begitu mereka akan bersatu di atas al haq. Wallahul Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hanafiyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah rahimahullah
[2]. Ahli dzimmah, ialah orang kafir yang menjadi warga negara di bawah kekuasaan negara Islam
[3]. Syafi’iyyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Syafi’i rahimahullah
[4]. Lihat Tarikh Fiqih Islami, hlm. 171-176, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar.
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa (3/161).
[6]. Lihat Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah (2/224-225). Dinukil dari kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 73, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari.
[7]. Yakni menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, Pen
[8]. Al I’tisham (1/64), karya Asy Syatibi.
[9]. Majmu’ Fatawa (4/2).
[10]. I’tiqad Aimmatil Hadits Lil Imam Abi Bakar Al Isma’ili , hlm. 49, karya, tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais.
[11]. Syarhus Sunnah, hlm. 68, no. 5, karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi.
ABU MANSHHUR AL-MATURIDI DAN ALIRAN MATURIDIYAH
Oleh :Ustadz Muhammad Ashim Musthofa
Di antara rahmat yang dicurahkan kepada kaum muslimin, Allah memberikan bukti-bukti yang nyata lagi jelas yang menunjukkan keberadaan Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي اْلأَفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur`an itu adalah benar……" [Fushshilat : 53].
Seorang penyair berkata:
وَفِيْ كُلِّ شَيْئٍ لَهُ أَيَة تَدُلُّ عَلَى أنَّهُ وَاحدٌِ
Dan pada setiap sesuatu, Dia mempunyai tanda
Yang menunjukkan bahwa Dia adalah Dzat Yang Esa
Setiap segala sesuatu yang ada di dunia ini, seluruhnya mengakui keberadaan Sang Pencipta, Al Khaliq dan kekuasaanNya.
Untuk mengenal dan mengetahui keberadaan Allah, manusia sama sekali tidak membutuhkan kaidah-kaidah yang diramu oleh para ulama ahli kalam. Juga tidak membutuhkan produk orang kafir Yunani. Yakni, dengan apa yang disebut sebagai ilmu filsafat.
Hanya saja, ada sebagian manusia yang berasumsi, tidak mungkin seseorang bisa mengenal Allah (ma'rifatullah), kecuali dengan melalui ilmu filsafat dan ilmu kalam. Mereka tunduk mengikuti doktrin filsafat Yunani.
Satu dari sekian aliran kalamiyah yang masih eksis saat ini ialah Maturidiyah. Sebuah golongan yang berafiliasi pada firqah kalamiyyah. Nama kelompok ini dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Abu Manshur Al Maturidi. Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al Maturidi As Samarqandi. Maturid adalah daerah dekat dengan Samarqand. Tidak diketahui dengan pasti tahun kelahirannya, juga guru-guru yang sempat ia singgahi majlisnya.
ADA TIGA TAHAPAN YANG DILALUI FIRQAH INI
Tahapan pertama, tahapan pendirian (ta`sis) dengan tokohnya Abu Manshur al Maturidi. Dia sempat menulis beberapa kitab. Yang paling terkenal ialah Kitabut Tauhid.
Dalam kitab ini, ia menetapkan aqidah tauhid melalui teori-teori ilmu kalam (baca: filsafat). Yang ia maksud dengan tauhid adalah tauhid rububiyyah, tauhid khaliqiyyah, dan sedikit tentang asma wa shifat. Hanya saja, manhaj yang ia pegangi adalah manhaj Jahmiyyah. Sehingga, ada sekian banyak sifat yang ia mentahkan dengan dalih ingin menghindarkan diri dari tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhlukNya.
Tahapan Kedua, tahapan pembentukan (takwin). Yaitu ditandai dengan tersebarnya paham ini di Samarqand melalui tulisan-tulisan yang disisipkan dalam kitab-kitab fiqih madzhab Hanafi. Sehingga aqidah Maturidiyah ini menjadi diterima dan dominan di tengah masyarakat. Tokohnya yang terkenal pada saat itu ialah Abul Qasim al Hakim.
Tahapan berikutnya merupakan perpanjangan dari fase sebelumnya, dengan tokohnya yaitu Abul Yusr Muhammad bin Muhammad bin al Husain bin 'Abdil Karim (421-493 H). Dia mendapatkan tempaan ilmu filsafat dari sang ayah yang merupakan murid Abu Manshur al Maturidi. Disamping itu, ia banyak menelaah buku-buku karya al Kindi, al Juba-i, an Nazhzham dan lainnya. Buku-buku karya tokoh-tokoh ini sarat dengan ajaran filsafat.
Tahapan berikutnya, yaitu fase penulisan dan pembukuan aqidah Maturidiyyah (500-700 H). Tahapan ini banyak dipenuhi dengan penulisan karya tulis yang berisi berbagai dalil untuk memberikan justifikasi atas aqidah Maturidiyyah. Panutan dalam marhalah ini adalah Najmuddin an Nasafi. Seratus kitab telah ia tulis. Ia adalah penulis kitab Aqidah an Nasfiyyah, sebuah kitab ringkasan yang merangkum aqidah Maturidiyah.
Tokoh Maturidiyah yang terkenal pada abad ini ialah Muhammad bin Zahid al Kautsari al Maturidi. Ia sangat mendiskreditkan para imam kaum muslimin dan mencerca mereka yang tidak sehaluan dengan aqidah Maturidiyah. Kitab-kitab tauhid, seperti al Ibanah, asy Syariah, al 'Uluw, Asma wa Shifat karya al Baihaqi, dan kitab-kitab aqidah karya ulama Ahli Sunnah dianggap sebagai kitab-kitab watsaniyyah (paganisme), tajsim dan tasybih. Padahal, tak syak lagi, aliran Maturidiyah justru dipenuhi dengan bid'ah yang mewarnai ajarannya. Misalnya, mereka mengagungkan kuburan dan penghuninya dengan dalih bertawasul.
SEBAGIAN PEMIKIRAN DAN AQIDAH MATURIDIYAH
Ditinjau dari aspek masdar talaqqi (sumber pengambilan ilmu), Maturidiyah membagi ushuluddin menjadi dua. Pertama. Ilahiyyat ('aqliyyat), yaitu perkara-perkara yang mampu ditetapkan oleh daya nalar dengan sendirinya. Sementara dalil naqli hanya berperan sebagai kekuatan sekunder. Dimensi ini mencakup dimensi tauhid dan sifat-sifat Allah. Kedua. Syar’iyyat (sam'iyyat), yaitu perkara-perkara yang akal tidak mempunyai akses untuk menentukannya, misalnya siksa kubur, peristiwa-peristiwa di akherat kelak.
Dengan ini, perbedaan Maturidiyah dengan manhaj Ahli Sunnah Wal Jamaah sangat signifikan. Al Quran, As Sunnah dan Ijma’ para sahabat merupakan sumber hukum bagi Ahli Sunnah.
Sebagai aliran yang kental nuansa filsafatnya, mereka mengatakan bahwa bahasa Arab, al Qur`an dan hadits mengandung kata-kata yang berbentuk majaz (kiasan). Berdasarkan pandangan seperti ini, kemudian mereka mentakwil nash-nash tentang sifat Allah, dengan argumentasi ingin menghindarkan diri dari tajsim (pembendaan) terhadap Allah.
Maturidiyah hanya menetapkan delapan sifat saja bagi Allah Ta'ala, dengan versi yang berbeda-beda, yaitu : al hayah (hidup), qudrah (kekuasaan), al ilmu, iradah (kehendak), as sam'u (mendengar), al basharu (melihat), al kalam (berbicara) dan at takwin (pembentukan).
Menurut mereka, seluruh sifat yang muta'adiyyah (tindakan-tindakan) kembali kepada sifat at takwin. Sedangkan sifat-sifat khabariyah (berita tentang dzat Allah), tidak termasuk yang bisa dijangkau oleh akal, sehingga perlu ditiadakan.
Iman hanya sekedar pembenaran hati saja. Iman tidak dapat naik ataupun turun. Dalam hal ini, Abu Manshur al Maturidi menghimpun lebih dari satu bid'ah. Dia menjadi seorang Murji’ah dalam masalah iman, dan sebagai seorang mu'aththil dalam bab sifat-sifat Allah. Dia juga terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Kullab, meskipun ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Ibnu Kullab.
Sebagai penutup, kami nukil pernyataan Ibnu Abil 'Izz dalam kitab Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, yang berbunyi: “Setiap orang yang berbicara dengan logika, perasaan dan akal pikirannya -padahal ia berhadapan dengan nash- atau ia mempertentangkan nash dengan logika, (maka) sejatinya ia menyerupai iblis, yang enggan berserah diri kepada Rabbnya. Allah berfirman Subhanahu wa Ta'ala tentangnya:
قَالَ مَامَنَعَكَ أَلاَّتَسْجُدَ إِذْأَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاخَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
"Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api, sedangkan dia, Engkau ciptakan dari tanah". [al A'raf : 12]
Diringkas dari :
- Al Mausu'ah al Muyassarah fil Adyani wal Madzahibi wal Ahzabi al Mu'ashirah, Darun Nadwah Al 'Alamiyyah, Cet. III, Th. 1418 H.
- Ta`ammulat wa Nazharati fi Ba'dhi al Madzahibi wal Firaqi al Mu'ashirah, Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumayyis, Maktabah Ash Shahabah, Imarat Sharjah, Cet. I, Th. 1998M/1419H.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
Subscribe to:
Posts (Atom)