Manhaj Salaf - Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد .Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du.
Showing posts with label Hadis. Show all posts
Showing posts with label Hadis. Show all posts
Saturday, February 16, 2013
ANAK ZINA TIDAK MASUK SYURGA ??
Oleh : Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta.
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta.ditanya : Apakah anak hasil zina dapat masuk surga jika menjadi hamba yang taat kepada Allah, atau tidak ? Dan apakah dia ikut menanggung dosa zina orang tuanya ?
Jawaban.
Anak hasil zina tidak ikut menanggung dosa disebabkan perbuatan zina dan dosa kedua orang tuanya. Sebab hal tersebut bukan perbuatannya, tetapi perbuatan kedua orang tuanya, karena itu dosanya akan ditanggung mereka berdua. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya". [Al-Baqarah : 268]
Dan firmanNya.
"Artinya : Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain".[Al-An'am : 164]
Berkaitan dengan statusnya, dia seperti halnya orang lain. Kalau taat kepada Allah, beramal shalih dan mati dalam keadaan Islam, maka mendapat syurga. Sedang, jika bermaksiat dan mati dalam keadaan kafir maka dia termasuk penghuni neraka. Dan jika mencampuradukkan antara amal shalih dan amal buruk serta mati dalam keadaan Islam maka statusnya terserah kepada Allah ; boleh mendapat pengampunanNya atau dihukum di neraka terlebih dahulu sesuai dengan kehendakNya, namun tempat kembalinya adalah syurga berkat kurnia dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Adapun ungkapan yang mengatakan, "Tidak dapat masuk surga anak hasil zina", maka ini adalah hadits maudhu (palsu).
Hanya kepada Allah kita memohon taufikNya. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatawa Islamiyah 4/522]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa'id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]
Hadis Palsu : Menuntut Ilmu Sehingga ke China
Setiap orang pasti telah mengetahui perkataan ini.
اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ في الصِّينِ
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”
Inilah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun perlu diingat bahwa setiap buah
yang akan dipetik tidak semua boleh dimakan, ada yang sudah matang dan
keadaannya baik, namun ada pula buah yang dalam keadaan busuk. Begitu
pula halnya dengan hadits. Tidak semua perkataan yang disebut hadits
boleh kita katakan bahwa itu adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Boleh jadi yang meriwayatkan hadits tersebut ada yang lemah
hafalannya, sering keliru, bahkan mungkin sering berdusta sehingga
membuat hadits tersebut tertolak atau tidak boleh digunakan. Itulah yang
akan kita kaji pada kesempatan kali ini iaitu meneliti keabsahan hadits
di atas sebagaimana penjelasan para ulama pakar hadits. Penjelasan yang
akan kami nukil pada posting kali ini adalah penjelasan dari ulama besar
Saudi Arabia dan termasuk pakar hadits, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin
Abdillah bin Baz rahimahullah. Beliau rahimahullah pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Beliau adalah pakar dalam masalah hadits. Semoga Allah memberi kemudahan dalam hal ini.
[Penjelasan Derajat Hadits]
Majoritas ulama pakar hadits menilai bahwa hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) dilihat dari banyak jalan.
Syaikh Isma’il bin Muhammad Al ‘Ajlawaniy rahimahullah telah membahas panjang lebar mengenai derajat hadits ini dalam kitabnya ‘Mengungkap
kesamaran dan menghilangkan kerancuan terhadap hadits-hadits yang sudah
terkenal dan dikatakan sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam’ pada index huruf hamzah dan tho’. Dalam kitab beliau
tersebut, beliau mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al
Baihaqi, Al Khotib Al Baghdadi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ad Dailamiy dan
selainnya, dari Anas radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau menegaskan lemahnya
(dho’ifnya) riwayat ini. Dinukil pula dari Ibnu Hibban –pemilik kitab
Shohih-, beliau menyebutkan tentang batilnya hadits ini. Sebagaimana
pula hal ini dinukil dari Ibnul Jauziy, beliau memasukkan hadits ini
dalam Mawdhu’at (kumpulan hadits palsu).
Dinukil dari Al Mizziy bahwa hadits ini memiliki banyak jalan, sehingga boleh naik ke derajat hasan.
Adz Dzahabiy mengumpulkan riwayat hadits ini dari banyak jalan.
Beliau mengatakan bahwa sebagian riwayat hadits ini ada yang lemah (wahiyah) dan sebagian lagi dinilai baik (sholih).
Dengan demikian semakin jelaslah bagi para penuntut ilmu mengenai
status hadits ini. Majoriti ulama menilai hadits ini sebagai hadits
dho’if (lemah). Ibnu Hibban menilai hadits ini adalah hadits yang
bathil. Sedangkan Ibnul Jauziy menilai bahwa hadits ini adalah hadits
maudhu’ (palsu).
Adapun perkataan Al Mizziy yang mengatakan bahwa hadits ini bisa
diangkat hingga derajat hasan karena dilihat dari banyak jalan, pendapat
ini tidaklah bagus (kurang tepat). Alasannya, kerana banyak jalur dari
hadits ini dipenuhi oleh orang-orang pendusta, yang dituduh dusta, suka
memalsukan hadits dan semacamnya. Sehingga hadits ini tidak mungkin boleh
terangkat sampai derajat hasan.
Adapun Al Hafizh Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan bahwa sebagian jalan dari hadits ini ada yang sholih (dinilai baik). Maka kita terlebih dahulu melacak jalur yang dikatakan sholih
ini sampai jelas status dari periwayat-periwayat dalam hadits ini.
Namun dalam kasus semacam ini, penilaian negatif terhadap hadits ini
(jarh) lebih didahulukan daripada penilaian positif (ta’dil) dan
penilaian dho’if terhadap hadits lebih harus didahulukan daripada
penilaian shohih sampai ada kejelasan shohihnya hadits ini dari sisi
sanadnya. Dan syarat hadits
dikatakan shohih adalah semua periwayat dalam hadits tersebut adalah
adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung,
tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat). Inilah syarat-syarat yang dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab Mustholah Hadits (memahami ilmu hadits).
[Seandainya Hadits Ini Shohih]
Seandainya hadits ini shohih, maka ini tidak menunjukkan kemuliaan negeri China dan juga tidak menunjukkan kemuliaan masyarakat China. Karena maksud dari ‘Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China’ –seandainya hadits ini shohih- adalah cuma sekedar motivasi untuk menuntut ilmu agama walaupun
sangat jauh tempatnya. Karena menuntut ilmu agama sangat penting sekali.
Kebaikan di dunia dan akhirat bisa diperoleh dengan mengilmui agama ini
dan mengamalkannya.
Dan tidak dimaksudkan sama sekali dalam hadits ini mengenai keutamaan
negeri China. Namun, karena negeri China adalah negeri yang sangat jauh
sekali dari negeri Arab sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memisalkan dengan negeri tersebut. Tetapi perlu diingat sekali lagi, ini
jika hadits tadi adalah hadits yang shohih. Penjelasan ini kami rasa
sudah sangat jelas dan nyata bagi yang betul-betul merenungkannya.
Wallahu waliyyut taufiq.
[Sumber: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 22/233-234, Asy Syamilah]
Keterangan:
Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat:
semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya),
dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi
riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat
yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Tuesday, February 15, 2011
PENJELASAN MENGENAI ISTILAH ILMU HADIS..
Penjelasan Mengenai Istilah Ilmu Hadits
(Penjelasan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam muqaddimah Kitabnya Bulughul Maram )
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan istilah Shahihain adalah kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Setiap hadits yang diketengahkan oleh keduanya secara bersama melalui seorang sahabat disebut Muttafaq Alaih. Mengenai istilah Ushuulus Sittah atau dikenal dengan Sittah adalah Shahihain Sunan Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa-i, dan Imam Ibnu Majah. Mulai dari Abu Dawud hingga Ibnu Majah dikenal dengan istilah Arba’ah yang masing masing memiliki kitab Sunan. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang tidak memasukan Imam Ibnu Majah kedalam Arba’ah dan menggantinya dengan Al-Muwaththa’ atau dengan Musnad Ad-Darimi. Sab’ah terdiri dari Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Sittah terdiri dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Khamsah terdiri dari Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Arba’ah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Tsalaatsah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai. Muttafaq ‘Alaih terdiri dari Imam Bukhari dan Muslim.
Istilah istilah Hadits
Matan =materi hadits yang berakhir dengan sanad.
Sanad =para perawi yang menyampaikan kepada matan.
Isnad = rentetan sanad hingga sampai ke matan, sebagai contoh ialah
Friday, August 6, 2010
Bahaya Hadits Dla’if Dan Mawdlu’ (Palsu)
Bahaya Hadits Dla’if Dan Mawdlu’ (Palsu)
Di antara bencana besar yang menimpa kaum Muslimin sejak periode-periode pertama adalah tersebar luasnya hadits-hadits Dla’if (lemah) dan Mawdlu’ (palsu) di tengah mereka. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan di sini sekalipun mereka adalah kalangan para ulama mereka kecuali beberapa gelintir orang yang dikehendaki Allah, di antaranya para imam hadits dan Nuqqaad (Para Kritikus hadits) seperti Imam al-Bukhary, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim ar-Razy dan ulama lainnya.
Penyebaran yang secara meluas tersebut mengakibatkan banyak dampak negatif, di antaranya ada yang terkait dengan masalah-masalah aqidah yang bersifat ghaib dan di antaranya pula ada yang berupa perkara-perkara Tasyri’ (Syari’at).
Adalah hikmah Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui, bahwa Dia tidak membiarkan hadits-hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang benci terhadap agama ini untuk tujuan-tujuan tertentu menjalar ke tubuh kaum Muslimin tanpa mengutus orang yang akan menyingkap kedok yang menutupi hakikatnya dan menjelaskan kepada manusia permasalahannya. Mereka itulah para ulama Ahli hadits dan pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang didoakan Rasullah dalam sabdanya, “Semoga Allah mencerahkan (menganugerahi nikmat) seseorang yang mendengarkan perkataanku lalu menangkap (mencernanya), menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal dan menyampaikannya) dari orang yang dia sampaikan kepadanya/pendengarya (karena ia mampu menggali dalil sehingga lebih faqih darinya).” (HR.Abu Daud dan at-Turmudzy yang menilainya shahih).
Para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka dari kaum Muslimin- telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari sisi keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya dan telah membuat dasar-dasar yang kokoh dan kaidah-kaidah yang mantap di mana siapa saja yang menekuni dan mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat mengetahui kualitas dari hadits apa pun meski mereka (para imam tersebut) belum memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu Ushul Hadits atau yang lebih dikenal dengan Llmu Mushthalah Hadits.
Para ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa buku yang khusus untuk mencari hadits-hadits dan menjelaskan kondisinya, di antaranya yang paling masyhur dan luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid al-Hasanah Fii Bayaan Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya al-Hafizh as-Sakhawy. Demikian juga buku semisalnya seperti buku-buku Takhriijaat (untuk mengeluarkan jaluar hadits dan kualitasnya) yang menjelaskan kondisi hadits-hadits yang terdapat di dalam buku-buku pengarang yang buku berasal dari Ahli Hadits (Ulama hadits) dan buku-buku yang berisi hadits-hadits yang tidak ada asalnya seperti buku Nashb ar-Raayah Li Ahaadiits al-Bidaayah karya al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml al-Asfaar Fii al-Asfaar Fii Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya al-Hafizh al-‘Iraqy, at-Talkhiish al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany, Takhriij Ahaadiits al-Kasysyaaf karya Ibn Hajar juga dan Takhriij Ahaadiits asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy, semua buku tersebut sudah dicetak dan diterbitkan.
Sekalipun para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka- telah melanggengkan jalan kepada generasi setelah mereka, baik buat kalangan para ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka mengetahui kualitas setiap hadits melalui buku-buku tersebut dan semisalnya, akan tetapi –sangat disayangkan sekali- kami melihat mereka malah telah berpaling dari membaca buku-buku tersebut. Maka karenanya, mereka pun buta terhadap kondisi hadits-hadits yang telah mereka hafal dari para guru mereka atau yang mereka baca pada sebagian buku yang tidak interes terhadap hadits yang shahih dan valid. Karena itu pula, kita hampir tidak pernah mendengarkan suatu wejangan dari sebagian Mursyid (penyuluh), ceramah dari salah seorang ustadz atau khuthbah seorang khathib melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu dari hadits-hadits Dla’if dan Mawdlu’ tersebut, dan ini amat berbahaya di mana karenanya dikhawatirkan mereka semua akan terkena ancaman sabda beliau SAW., yang berbunyi, “Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir)
Walau pun secara langsung mereka tidak sengaja berdusta, namun sebagai imbasnya mereka tetap berdosa karena telah menukil (meriwayatkan) hadits-hadits yang semuanya mereka periksa padahal mengetahi secara pasti bahwa di dalamnya terdapat hadits yang Dla’if atau pun hadits dusta. Mengenai hal ini, terdapat isyarat dari makna hadits Rasulullah yang berbunyi, “Cukuplah seseorang itu berdusta manakala ia menceritakan semua apa yang didengarnya (tanpa disaring lagi-red.,).” (HR.Muslim) dan hadits lainnya dari riwayat Abu Hurairah.
Kemudian dari itu, telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah bahwa tidaklah selamat seorang yang menceritakan semua apa yang didengarnya dan selamanya, ia bukan imam bilamana menceritakan semua apa yang didengarnya.”
Imam Ibn Hibban berkata di dalam kitab Shahihnya, “Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa, Rasulullah SAW., padahal ia tidak mengetahui keshahihannya,” setelah itu, beliau mengetengahkan hadits Abu Hurairah dengan sanadnya secara marfu’, “Barangsiapa yang berkata dengan mengatasnamakanku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Kualitas sanad hadits ini Hasan dan makna asalnya terdapat di dalam kitab ash-Shahiihain dan kitab lainnya.
Selanjutnya, Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang menunjukkan keshahihan hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,” kemudian beliau mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya, dia berkata, Rasulullah SAW., bersabda, “Barangsiapa yang membicarakan suatu pembicaraan mengenaiku (membacakan satu hadits mengenaiku) di mana ia terlihat berdusta, maka ia adalah salah seorang dari para pendusta.” (Kualitas hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam mukaddimahnya dari hadits Samurah dan al-Mughirah bin Syu’bah secara bersama-sama). Ibn Hibban berkata, “Ini adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia melanjutkan, “Pembahasan mengenai hadits kedua yang menunjukkan keshahihan pendapat kami,” lalu dia mengetengahkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.
Dari apa yang telah kami sampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa tidak boleh menyebarkan hadits-hadits dan meriwayatkannya tanpa terlebih dahulu melakukan Tatsabbut (cek-ricek) mengenai keshahihannya sebab orang yang melakukan hal itu, maka cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasulullah yang bersabda, “Sesungguhnya berdusta terhadapku bukanlah berdusta terhadap salah seorang diantara kamu; barangsiapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR.Muslim dan selainnya), wallahu a’lam.
(SUMBER: Mukaddimah Syaikh al-Albany di dalam bukunya Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, jld.I, h.47-51 dengan sedikit perubahan dan pengurangan)
Sumber: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihathadits&id=81
Di antara bencana besar yang menimpa kaum Muslimin sejak periode-periode pertama adalah tersebar luasnya hadits-hadits Dla’if (lemah) dan Mawdlu’ (palsu) di tengah mereka. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan di sini sekalipun mereka adalah kalangan para ulama mereka kecuali beberapa gelintir orang yang dikehendaki Allah, di antaranya para imam hadits dan Nuqqaad (Para Kritikus hadits) seperti Imam al-Bukhary, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim ar-Razy dan ulama lainnya.
Penyebaran yang secara meluas tersebut mengakibatkan banyak dampak negatif, di antaranya ada yang terkait dengan masalah-masalah aqidah yang bersifat ghaib dan di antaranya pula ada yang berupa perkara-perkara Tasyri’ (Syari’at).
Adalah hikmah Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui, bahwa Dia tidak membiarkan hadits-hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang benci terhadap agama ini untuk tujuan-tujuan tertentu menjalar ke tubuh kaum Muslimin tanpa mengutus orang yang akan menyingkap kedok yang menutupi hakikatnya dan menjelaskan kepada manusia permasalahannya. Mereka itulah para ulama Ahli hadits dan pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang didoakan Rasullah dalam sabdanya, “Semoga Allah mencerahkan (menganugerahi nikmat) seseorang yang mendengarkan perkataanku lalu menangkap (mencernanya), menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal dan menyampaikannya) dari orang yang dia sampaikan kepadanya/pendengarya (karena ia mampu menggali dalil sehingga lebih faqih darinya).” (HR.Abu Daud dan at-Turmudzy yang menilainya shahih).
Para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka dari kaum Muslimin- telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari sisi keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya dan telah membuat dasar-dasar yang kokoh dan kaidah-kaidah yang mantap di mana siapa saja yang menekuni dan mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat mengetahui kualitas dari hadits apa pun meski mereka (para imam tersebut) belum memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu Ushul Hadits atau yang lebih dikenal dengan Llmu Mushthalah Hadits.
Para ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa buku yang khusus untuk mencari hadits-hadits dan menjelaskan kondisinya, di antaranya yang paling masyhur dan luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid al-Hasanah Fii Bayaan Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya al-Hafizh as-Sakhawy. Demikian juga buku semisalnya seperti buku-buku Takhriijaat (untuk mengeluarkan jaluar hadits dan kualitasnya) yang menjelaskan kondisi hadits-hadits yang terdapat di dalam buku-buku pengarang yang buku berasal dari Ahli Hadits (Ulama hadits) dan buku-buku yang berisi hadits-hadits yang tidak ada asalnya seperti buku Nashb ar-Raayah Li Ahaadiits al-Bidaayah karya al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml al-Asfaar Fii al-Asfaar Fii Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya al-Hafizh al-‘Iraqy, at-Talkhiish al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany, Takhriij Ahaadiits al-Kasysyaaf karya Ibn Hajar juga dan Takhriij Ahaadiits asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy, semua buku tersebut sudah dicetak dan diterbitkan.
Sekalipun para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka- telah melanggengkan jalan kepada generasi setelah mereka, baik buat kalangan para ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka mengetahui kualitas setiap hadits melalui buku-buku tersebut dan semisalnya, akan tetapi –sangat disayangkan sekali- kami melihat mereka malah telah berpaling dari membaca buku-buku tersebut. Maka karenanya, mereka pun buta terhadap kondisi hadits-hadits yang telah mereka hafal dari para guru mereka atau yang mereka baca pada sebagian buku yang tidak interes terhadap hadits yang shahih dan valid. Karena itu pula, kita hampir tidak pernah mendengarkan suatu wejangan dari sebagian Mursyid (penyuluh), ceramah dari salah seorang ustadz atau khuthbah seorang khathib melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu dari hadits-hadits Dla’if dan Mawdlu’ tersebut, dan ini amat berbahaya di mana karenanya dikhawatirkan mereka semua akan terkena ancaman sabda beliau SAW., yang berbunyi, “Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir)
Walau pun secara langsung mereka tidak sengaja berdusta, namun sebagai imbasnya mereka tetap berdosa karena telah menukil (meriwayatkan) hadits-hadits yang semuanya mereka periksa padahal mengetahi secara pasti bahwa di dalamnya terdapat hadits yang Dla’if atau pun hadits dusta. Mengenai hal ini, terdapat isyarat dari makna hadits Rasulullah yang berbunyi, “Cukuplah seseorang itu berdusta manakala ia menceritakan semua apa yang didengarnya (tanpa disaring lagi-red.,).” (HR.Muslim) dan hadits lainnya dari riwayat Abu Hurairah.
Kemudian dari itu, telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah bahwa tidaklah selamat seorang yang menceritakan semua apa yang didengarnya dan selamanya, ia bukan imam bilamana menceritakan semua apa yang didengarnya.”
Imam Ibn Hibban berkata di dalam kitab Shahihnya, “Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa, Rasulullah SAW., padahal ia tidak mengetahui keshahihannya,” setelah itu, beliau mengetengahkan hadits Abu Hurairah dengan sanadnya secara marfu’, “Barangsiapa yang berkata dengan mengatasnamakanku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Kualitas sanad hadits ini Hasan dan makna asalnya terdapat di dalam kitab ash-Shahiihain dan kitab lainnya.
Selanjutnya, Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang menunjukkan keshahihan hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,” kemudian beliau mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya, dia berkata, Rasulullah SAW., bersabda, “Barangsiapa yang membicarakan suatu pembicaraan mengenaiku (membacakan satu hadits mengenaiku) di mana ia terlihat berdusta, maka ia adalah salah seorang dari para pendusta.” (Kualitas hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam mukaddimahnya dari hadits Samurah dan al-Mughirah bin Syu’bah secara bersama-sama). Ibn Hibban berkata, “Ini adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia melanjutkan, “Pembahasan mengenai hadits kedua yang menunjukkan keshahihan pendapat kami,” lalu dia mengetengahkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.
Dari apa yang telah kami sampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa tidak boleh menyebarkan hadits-hadits dan meriwayatkannya tanpa terlebih dahulu melakukan Tatsabbut (cek-ricek) mengenai keshahihannya sebab orang yang melakukan hal itu, maka cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasulullah yang bersabda, “Sesungguhnya berdusta terhadapku bukanlah berdusta terhadap salah seorang diantara kamu; barangsiapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR.Muslim dan selainnya), wallahu a’lam.
(SUMBER: Mukaddimah Syaikh al-Albany di dalam bukunya Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, jld.I, h.47-51 dengan sedikit perubahan dan pengurangan)
Sumber: http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihathadits&id=81
Wednesday, August 4, 2010
As-Sunnah, Wahyu Kedua Setelah Al-Qur`an
As-Sunnah, Wahyu Kedua Setelah Al-Qur`an
Pengertian As-Sunnah
Yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. Termasuk didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi istilah ahli fikih (Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wa al Ahkam karya As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 11).
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Para ulama juga menafsirkan firman Allah :
“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al BAqarah ayat 129)
Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah seperti diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama yang lain. ( Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah hal. 24)
As-Sunnah Terjaga Sampai Hari Kiamat
Diantara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, yaitu bahwa As-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub dalam firman Allah Al-Qur`an surat al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang di sangka oleh sebagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah (Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggris) dan Qur`aniyun (Kelompok yang mengingkari As-Sunnah, dan hanya berpegang pada Al-Qur’an), yang hanya mengimani (meyakini) Al-Qur`an namun menolak As-Sunnah. Mereka beranggapan salah (dari sini nampak sekali kebodohan mereka akan Al Qur’an, seandainya mereka benar-benar mengimani Al Qur’an sudah pasti mereka akan mengimani As-Sunnah, karena betapa banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah yang sudah barang tentu menunjukkan perintah untuk mengikuti As-Sunnah) tatkala mengatakan bahwa As-Sunnah telah tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi bisa dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menyangka, setelah wafatnya Rasulullah , kaum muslimin tidak mungkin lagi mengambil faedah dan merujuk kepada as-Sunnah.( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi Al Aqaid wal Ahkam hal. 16)
Dalil-dalil yang Menunjukkan Terpeliharanya As-Sunnah:
Pertama:
Firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)
Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat- mencakup pula As-Sunnah.
Sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa seluruh sabda Rasulullah yang berkaitan dengan agama adalah wahyu dari Allah sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Q.S. An-Najm:3)
Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya As-Sunnah.
Segala apa yang telah dijamin oleh Allah untuk dijaga, tidak akan punah dan tidak akan terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila ada sedikit saja penyelewengan, niscaya akan dijelaskan kebatilan penyelewengan tersebut sebagai konsekuensi dari penjagaan Allah. Karena seandainya penyelewengan itu terjadi sementara tidak ada penjelasan akan kebatilannya, hal itu menunjukkan ketidak akuratan firman Allah yang telah menyebutkan jaminan penjagaan. Tentu saja yang seperti ini tidak akan terbetik sedikitpun pada benak seorang muslim yang berakal sehat.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa agama yang dibawa oleh Muhammad ini pasti terjaga. Allah sendirilah yang bertanggung jawab menjaganya; dan itu akan terus berlangsung hingga akhir kehidupan dunia ini ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 16-17)
Kedua:
Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)
Ketiga:
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):
(a) Perintah Nabi kepada para sahabatnya agar menjalankan As-Sunnah.
(b) Semangat para sahabat dalam menyampaikan As-Sunnah.
(c) Semangat para ulama di setiap zaman dalam mengumpulkan As-Sunnah dan menelitinya sebelum mereka menerimanya.
(d) Penelitian para ulama terhadap para periwayat As-Sunnah.
(e) Dibukukannya Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil.( Ilmu yang membahas penilaian para ahli hadits terhadap para periwayat hadits, baik berkaitan dengan pujian maupun celaan, Pen.)
(f) Dikumpulkannya hadits–hadits yang cacat, lalu dibahas sebab-sebab cacatnya.
(g) Pembukuan hadits-hadits dan pemisahan antara yang diterima dan yang ditolak.
(h) Pembukuan biografi para periwayat hadits secara lengkap.
Wajib merujuk kepada As-Sunnah dan haram menyelisihinya
Pembaca yang budiman, sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Perintah Al-Qur`an agar berhukum dengan As-Sunnah
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan As-Sunnah, diantaranya:
1. Firman Allah :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36)
2. Firman Allah :
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 49:1)
3. Firman Allah :
“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Q.S. Ali Imran: 32)
4. Firman Allah :
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal: 46)
5. Firman Allah :
“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang menghinakan.” (Q.S. An Nisa’: 13-14)
Hadits-hadits yang memerintahkan agar mengikuti Nabi dalam segala hal diantaranya:
1. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).
2. Abu Rafi’ mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :
“Sungguh, akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti”, (HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), Tirmidzi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 12), At-Thahawi IV/209).
3. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga, Pen.).” (HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) – dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-HakimAl Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).
Kesimpulan :
1. Tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, sehingga tidak diperbolehkan kaum muslimin menyelisihi salah satu dari keduanya. Durhaka kepada Rasulullah berarti durhaka pula kepada Allah, dan hal itu merupakan kesesatan yang nyata.
2. Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah sebagaimana kerasnya larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah.
3. Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah merupakan kebiasaan orang-orang kafir.
4. Sikap rela/ridha terhadap perselisihan, -dengan tidak mau mengembalikan penyelesaiannya kepada As-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka.
5. Taat kepada Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Surga; sedangkan durhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang kedalam Neraka dan memperoleh adzab yang menghinakan.
6. Sesungguhnya Al-Qur`an membutuhkan As-Sunnah (karena ia sebagai penjelas Al-Qur’an); bahkan As-Sunnah itu sama seperti Al-Qur`an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum berarti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah
7. Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membedakan keduanya.
Referensi:
1. Al-Hadits Hujjatun bi nafsihi fil Aqaid wa Al Ahkam, karya as-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. III/1400 H, Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait.
2. Al-Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli As Sunnah, karya Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar As-Sunnah, cet. III.
Wallahu A’lam .
Diambil dari Majalah Fatawa
Pengertian As-Sunnah
Yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. Termasuk didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi istilah ahli fikih (Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wa al Ahkam karya As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 11).
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Para ulama juga menafsirkan firman Allah :
“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al BAqarah ayat 129)
Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah seperti diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama yang lain. ( Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah hal. 24)
As-Sunnah Terjaga Sampai Hari Kiamat
Diantara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, yaitu bahwa As-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub dalam firman Allah Al-Qur`an surat al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang di sangka oleh sebagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah (Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggris) dan Qur`aniyun (Kelompok yang mengingkari As-Sunnah, dan hanya berpegang pada Al-Qur’an), yang hanya mengimani (meyakini) Al-Qur`an namun menolak As-Sunnah. Mereka beranggapan salah (dari sini nampak sekali kebodohan mereka akan Al Qur’an, seandainya mereka benar-benar mengimani Al Qur’an sudah pasti mereka akan mengimani As-Sunnah, karena betapa banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah yang sudah barang tentu menunjukkan perintah untuk mengikuti As-Sunnah) tatkala mengatakan bahwa As-Sunnah telah tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi bisa dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menyangka, setelah wafatnya Rasulullah , kaum muslimin tidak mungkin lagi mengambil faedah dan merujuk kepada as-Sunnah.( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi Al Aqaid wal Ahkam hal. 16)
Dalil-dalil yang Menunjukkan Terpeliharanya As-Sunnah:
Pertama:
Firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)
Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat- mencakup pula As-Sunnah.
Sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa seluruh sabda Rasulullah yang berkaitan dengan agama adalah wahyu dari Allah sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Q.S. An-Najm:3)
Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya As-Sunnah.
Segala apa yang telah dijamin oleh Allah untuk dijaga, tidak akan punah dan tidak akan terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila ada sedikit saja penyelewengan, niscaya akan dijelaskan kebatilan penyelewengan tersebut sebagai konsekuensi dari penjagaan Allah. Karena seandainya penyelewengan itu terjadi sementara tidak ada penjelasan akan kebatilannya, hal itu menunjukkan ketidak akuratan firman Allah yang telah menyebutkan jaminan penjagaan. Tentu saja yang seperti ini tidak akan terbetik sedikitpun pada benak seorang muslim yang berakal sehat.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa agama yang dibawa oleh Muhammad ini pasti terjaga. Allah sendirilah yang bertanggung jawab menjaganya; dan itu akan terus berlangsung hingga akhir kehidupan dunia ini ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 16-17)
Kedua:
Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)
Ketiga:
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):
(a) Perintah Nabi kepada para sahabatnya agar menjalankan As-Sunnah.
(b) Semangat para sahabat dalam menyampaikan As-Sunnah.
(c) Semangat para ulama di setiap zaman dalam mengumpulkan As-Sunnah dan menelitinya sebelum mereka menerimanya.
(d) Penelitian para ulama terhadap para periwayat As-Sunnah.
(e) Dibukukannya Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil.( Ilmu yang membahas penilaian para ahli hadits terhadap para periwayat hadits, baik berkaitan dengan pujian maupun celaan, Pen.)
(f) Dikumpulkannya hadits–hadits yang cacat, lalu dibahas sebab-sebab cacatnya.
(g) Pembukuan hadits-hadits dan pemisahan antara yang diterima dan yang ditolak.
(h) Pembukuan biografi para periwayat hadits secara lengkap.
Wajib merujuk kepada As-Sunnah dan haram menyelisihinya
Pembaca yang budiman, sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Perintah Al-Qur`an agar berhukum dengan As-Sunnah
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan As-Sunnah, diantaranya:
1. Firman Allah :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36)
2. Firman Allah :
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 49:1)
3. Firman Allah :
“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Q.S. Ali Imran: 32)
4. Firman Allah :
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal: 46)
5. Firman Allah :
“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang menghinakan.” (Q.S. An Nisa’: 13-14)
Hadits-hadits yang memerintahkan agar mengikuti Nabi dalam segala hal diantaranya:
1. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).
2. Abu Rafi’ mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :
“Sungguh, akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti”, (HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), Tirmidzi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 12), At-Thahawi IV/209).
3. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga, Pen.).” (HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) – dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-HakimAl Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).
Kesimpulan :
1. Tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, sehingga tidak diperbolehkan kaum muslimin menyelisihi salah satu dari keduanya. Durhaka kepada Rasulullah berarti durhaka pula kepada Allah, dan hal itu merupakan kesesatan yang nyata.
2. Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah sebagaimana kerasnya larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah.
3. Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah merupakan kebiasaan orang-orang kafir.
4. Sikap rela/ridha terhadap perselisihan, -dengan tidak mau mengembalikan penyelesaiannya kepada As-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka.
5. Taat kepada Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Surga; sedangkan durhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang kedalam Neraka dan memperoleh adzab yang menghinakan.
6. Sesungguhnya Al-Qur`an membutuhkan As-Sunnah (karena ia sebagai penjelas Al-Qur’an); bahkan As-Sunnah itu sama seperti Al-Qur`an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum berarti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah
7. Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membedakan keduanya.
Referensi:
1. Al-Hadits Hujjatun bi nafsihi fil Aqaid wa Al Ahkam, karya as-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. III/1400 H, Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait.
2. Al-Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli As Sunnah, karya Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar As-Sunnah, cet. III.
Wallahu A’lam .
Diambil dari Majalah Fatawa
Monday, August 2, 2010
Apa Itu Hadîts Qudsiy
Mukaddimah
Pada kajian ilmu hadits kali ini, sengaja kami ketengahkan masalah Hadîts Qudsiy yang tentunya sudah sering didengar atau dibaca tentangnya namun barangkali ada sebagian kita yang belum mengetahuinya secara jelas.
Untuk itu, kami akan membahas tentangnya secara ringkas namun terperinci insya Allah, semoga bermanfa'at.
Definisi
Secara bahasa (Etimologis), kata القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci). Artinya, hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta'ala.
Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah
ما نقل إلينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع إسناده إياه إلى ربه عز وجل
Sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.
Perbedaan Antara Hadîts Qudsiy Dan al-Qur`an
Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, diantaranya adalah:
Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Ta'ala sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah Ta'ala namun lafazhnya berasal dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.
Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
Syarat validitas al-Qur'an adalah at-Tawâtur (bersifat mutawatir) sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian. Jumlah Hadîts-Hadîts Qudsiy
Dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits Nabi, maka Hadîts Qudsiy bisa dibilang tidak banyak. Jumlahnya lebih sedikit dari 200 hadits.
Contoh
Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim di dalam kitab Shahîh-nya dari Abu Dzarr radliyallâhu 'anhu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkan beliau dari Allah Ta'ala bahwasanya Dia berfirman,
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا
"Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan menjadikannya diantara kamu diharamkan, maka janganlah kamu saling menzhalimi (satu sama lain)." (HR.Muslim)
Lafazh-Lafazh Periwayatannya
Bagi orang yang meriwayatkan Hadîts Qudsiy, maka dia dapat menggunakan salah satu dari dua lafazh-lafazh periwayatannya:
1. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya 'Azza Wa Jalla
2. قال الله تعالى، فيما رواه عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم
Allah Ta'ala berfirman, pada apa yang diriwayatkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dari-Nya
Buku Mengenai Hadîts Qudsiy
Diantara buku yang paling masyhur mengenai Hadîts Qudsiy adalah kitab
الاتحافات السنية بالأحاديث القدسية (al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah) karya 'Abdur Ra`uf al-Munawiy. Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.
(SUMBER: Buku Taysîr Musthalah al-Hadîts, karya DR.Mahmûd ath-Thahhân, h.127-128)
Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=56
.:: HaditsWeb ::.
Hadis Dha‘if: Hukum dan Syarat Pengamalannya Oleh: Hafiz Firdaus Abdullah
1. Kata-Kata al-Imam al-Nawawi. 2. Pendapat para ilmuan berkenaan pengamalan hadis dha‘if 3. Syarat-syarat pengamalan hadis dha‘if: Ulasan kepada syarat pertama Ulasan kepada syarat kedua. Ulasan kepada syarat ketiga 4. Memberi prioriti kepada hadis sahih dan hasan 5. Hadis dha‘if tidak boleh dijadikan ukuran nilai sesuatu amal Setiap kali ketibaan bulan Rejab, timbul perbincangan di kalangan orang ramai berkenaan beberapa amalan yang khusus kerananya seperti puasa sunat Rejab, solat sunat malam tertentu bulan Rejab dan sebagainya. Di satu pihak terdapat mereka yang mengatakan tidak ada apa-apa amal ibadah yang khusus dengan bulan Rejab kerana semua hadis yang menganjurkan ibadah tersebut adalah tidak sahih. Di pihak yang lain mereka membolehkan pengamalan ibadah-ibadah tersebut dengan hujah hadis yang tidak sahih – yakni hadis-hadis dha‘if – boleh digunakan dalam keutamaan beramal. Dalam risalah ini penulis akan cuba mengupas isu beramal dengan hadis yang dha‘if. Kupasan bersifat umum tanpa terhad kepada amalan bulan Rejab sahaja kerana terdapat banyak lagi amalan kita di Malaysia yang disandarkan kepada hadis-hadis yang dha‘if. Kata-Kata al-Imam al-Nawawi Kebanyakan orang yang membolehkan penggunaan hadis dha‘if menyandarkan hujah mereka kepada kata-kata al-Imam al-Nawawi rahimahullah (676H):[1] Berkata para ilmuan daripada kalangan ahli hadis, ahli fiqh dan selain mereka, dibolehkan – bahkan disunatkan beramal dengan hadis dha‘if dalam bab keutamaan (al-Fadha’il), memberi anjuran (al-Targhib) dan amaran (al-Tarhib) asalkan ianya bukan hadis maudhu’. Adapun dalam bab hukum-hakam seperti halal dan haram, jual-beli, penceraian dan apa-apa lain yang seumpama, tidak boleh beramal dengan hadis dha‘if kecuali dengan hadis yang sahih atau hasan. Melainkan jika hadis-hadis tersebut bersangkutan dengan sikap berhati-hati terhadap bab-bab tersebut, seperti hadis dha‘if yang menyebutkan makruhnya hukum melakukan sebahagian bentuk jual-beli atau pernikahan, maka disunatkan untuk menghindari daripadanya (yang makruh tersebut) namun ia tidak jatuh kepada hukum wajib. Ada yang menerima kata-kata al-Imam al-Nawawi di atas sebulat-bulatnya, bahkan menganggap mudah bahawa pengamalan hadis dha‘if diperbolehkan asalkan ianya bukan hadis maudhu’. Sebenarnya terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh seseorang sebelum dia boleh mengamalkan hadis dha‘if. Syarat-syarat ini juga diketahui dan dipegang oleh al-Imam al-Nawawi, hanya beliau tidak menggariskannya dalam kitabnya al-Azkar kerana kitab tersebut bukanlah kitab ilmu hadis tetapi kitab yang dipermudahkan untuk menjadi amalan orang ramai. Hal ini seperti yang disebutkan sendiri oleh al-Imam al-Nawawi di bahagian muqaddimah kitab al-Azkarnya tersebut. Pendapat para ilmuan berkenaan pengamalan hadis dha‘if Dalam kata-kata al-Imam al-Nawawi di atas, beliau menyebut bahawa: “Berkata para ilmuan daripada kalangan ahli hadis, ahli fiqh dan selain mereka, dibolehkan – bahkan disunatkan beramal dengan hadis dha‘if……” Kata-kata di atas sebenarnya bukan mencerminkan pandangan ijma’ tetapi jumhur ilmuan Islam. Hal ini diterangkan oleh al-Hafiz al-Sakhawi rahimahullah (902H):[2] ……bahawa dalam pengamalan hadis dha‘if terdapat tiga pendapat: (yang pertama adalah) tidak dibolehkan beramal dengannya secara mutlak, (yang kedua adalah) boleh beramal dengannya jika dalam bab tersebut tidak ada yang selainnya (tidak ada hadis yang sahih atau hasan) dan yang ketiga – ini merupakan pendapat jumhur – boleh beramal dengannya dalam bab keutamaan asalkan bukan dalam bab hukum-hakam sepertimana yang telah disebutkan sebelum ini akan syarat-syaratnya. TOP Syarat-syarat pengamalan hadis dha‘if. Sepertimana yang dikatakan oleh al-Hafiz al-Sakhawi di atas, jumhur ilmuan membolehkan penggunaan hadis dha‘if dalam bab keutamaan beramal selagi mana diperhatikan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh beliau seperti berikut:[3] Saya mendengar guru kami rahimahullah (yakni al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, 852H) selalu berkata, bahkan telah mencatitkannya dengan tulisannya untuk saya bahawa syarat pengamalan hadis dha‘if ada tiga: 1. Yang disepakati, bahawa kelemahan hadis tersebut tidak berat. Maka terkeluarlah apa yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang dusta atau dituduh sebagai pemalsu hadis serta yang parah kesalahannya. 2. Bahawa ianya mencakupi asas umum (agama). Maka terkeluarlah sesuatu yang diada-adakan kerana tidak memiliki dalil asas yang mengasaskannya. 3. Bahawa ia diamalkan tanpa berkeyakinan ia adalah sabit (daripada Nabi), agar tidak disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apa yang tidak disabdakan olehnya. Seterusnya marilah kita mengulas lanjut tiga syarat di atas. Ulasan kepada syarat pertama Hadis dha‘if yang diperbolehkan penggunaannya ialah hadis yang ringan kelemahannya. Maka dari sini dapat kita ketahui bahawa setiap hadis yang ingin digunakan, sekalipun untuk tujuan keutamaan beramal dan memberi anjuran serta amaran, perlu dirujuk kepada sumbernya yang asal dan disemak darjatnya. Ini kerana tanpa merujuk kepada sumbernya yang asal dan menyemak darjatnya, kita tidak akan mengetahui sama ada kelemahannya adalah ringan atau berat. Dirujuk kepada sumbernya yang asal bererti mencari hadis tersebut dalam kitab-kitab hadis sama ada ia benar-benar wujud atau tidak. Disemak darjatnya bererti dikaji sanadnya sama ada ianya sahih atau tidak. Jika ianya tidak sahih, maka disemak sama ada kelemahannya adalah ringan atau berat. Jika kelemahannya ringan maka ia lulus syarat yang pertama ini, jika kelemahannya adalah berat maka ia gagal. Di sini penulis merasa perlu untuk membetulkan salah faham masyarakat, termasuk para da’i, penceramah, penulis dan ilmuan yang selain daripada ahli hadis, yang berpendapat boleh menggunakan apa jua hadis asalkan ia duduk di dalam bab keutamaan beramal (al-Fadha‘il) dan memberi anjuran serta amaran (al-Targhib wa al-Tarhib). Mereka tidak menyemak asal-usul hadis tersebut sama ada ia wujud atau tidak dalam kitab-kitab hadis yang lengkap dengan sanadnya. Lebih memberatkan, mereka tidak memberi perhatian langsung kepada darjatnya. Setiap hadis yang mereka temui dalam bab ini disampaikan terus dalam kuliah-kuliah atau karya-karya mereka. Ini sebenarnya adalah kesalahan yang amat berat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda, maksudnya: “Sesiapa yang menceritakan (atau meriwayatkan) satu hadis dan dia pandang hadis tersebut sebagai dusta, maka dia termasuk dalam salah seorang pendusta.” [Shahih Muslim, muqaddimah] Terhadap hadis ini, al-Imam Ibn Hibban rahimahullah (354H) menukil daripada al-Imam Abu Hatim rahimahullah:[4] Dalam hadis ini terdapat dalil yang membenarkan apa yang kami sebut, bahawa apabila seseorang itu meriwayatkan sebuah hadis yang tidak sah daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, apa sahaja hadis yang disandarkan kepada baginda, padahal dia mengetahui bahawa ia tidak sah, (maka) dia termasuk salah seorang pendusta. Malah maksud zahir hadis ini adalah lebih berat kerana baginda shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesiapa yang menceritakan (atau meriwayatkan) satu hadis dan dia pandang hadis tersebut sebagai dusta…”, baginda tidak mengatakan bahawa orang tersebut yakin bahawa hadis tersebut adalah dusta (tetapi sekadar memandangnya sebagai dusta). Maka setiap orang yang ragu-ragu sama ada yang diriwayatkannya itu adalah sahih atau tidak sahih termasuk dalam zahir perbicaraan hadis ini. Perkara yang sama juga disebut oleh al-Imam al-Thohawi rahimahullah (321H):[5] Sesiapa yang menyampaikan hadis daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdasarkan sangkaan, bererti dia menyampaikan hadis daripada baginda secara tidak benar. (Sesiapa yang) menyampaikan hadis daripada baginda secara tidak benar bererti dia menyampaikan hadis daripada baginda secara batil. (Sesiapa yang) menyampaikan hadis daripada baginda secara batil (maka) dia berdusta ke atas baginda sebagaimana seorang pendusta hadis. Mereka termasuk dalam sabdanya shallallahu 'alaihi wasallam: “Sesiapa yang berdusta ke atas aku maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di dalam neraka.” Kami berlindung daripada Allah Ta‘ala daripada yang sedemikian. Berdasarkan syarat yang pertama ini, hendaklah kita pastikan bahawa setiap hadis yang digunakan untuk tujuan keutamaan beramal dan memberi anjuran serta amaran memiliki sumber rujukannya serta dijelaskan darjatnya. Tidak boleh disampaikan sesuatu hadis dengan sangkaan ia memiliki rujukan dan darjat yang paling rendah adalah ringan kelemahannya kerana sangkaan seperti ini termasuk dalam kategori mendustakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Umpamakan hal ini seperti seorang jurujual yang mempromosi sebuah buku. Dia menceritakan kepada para pelanggannya bahawa buku tersebut adalah baik serta banyak maklumat yang benar lagi besar manfaatnya. Padahal si jurujual itu sendiri pada asalnya tidak pernah membaca buku tersebut untuk membezakan sama ada ia adalah baik atau tidak, jauh sekali daripada mengkaji maklumat di dalamnya sama ada ia adalah benar atau tidak. Nah, apa yang dipromosikan oleh si jurujual ini terbuka kepada kemungkinan benar dan salah. Namun oleh kerana dia tetap membuat promosi tanpa menerangkan hakikat yang sebenar, dia sebenarnya berdusta kepada para pelanggannya. Demikianlah juga dengan seseorang yang menyampaikan hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tanpa dia sendiri mengetahui asal usul dan darjatnya. Apa yang disampaikannya terbuka kepada kemungkinan benar atau salah. Namun apabila dia tetap menyampaikan hadis tersebut dan menyandarkannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dia juga dikira berdusta ke atas baginda. Oleh itu hendaklah kita sentiasa peka kepada syarat yang pertama ini, sama ada kita adalah sebagai penyampai atau penerima hadis-hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Pastikan ia memiliki sumber rujukan dan dijelaskan darjatnya. Jika syarat yang pertama ini tidak dipenuhi, hendaklah hadis tersebut ditinggalkan sekalipun ia memiliki kedudukan yang masyhur di kalangan masyarakat. TOP Ulasan kepada syarat kedua. Hadis dha‘if tidak boleh digunakan untuk menetapkan sesuatu amalan, perintah atau larangan. Peranan hadis dha‘if tidak lain sekadar menerangkan keutamaan satu amalan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih. Hadis dha‘if juga tidak boleh digunakan untuk menganjur atau melarang sesuatu perkara melainkan perkara tersebut telah tetap hukumnya daripada al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H) berkata:[6] Berkata (al-Imam) Ahmad bin Hanbal, apabila datang (persoalan) halal dan haram kami memperketatkan semakan sanad dan apabila datang (persoalan) memberi anjuran dan amaran (al-Targhib wa al-Tarhib) kami memudahkan semakan sanad. (Ibn Taimiyyah mengulas lanjut): Demikianlah apa yang disepakati oleh para ilmuan tentang beramal dengan hadis dha‘if dalam keutamaan beramal. Ia tidaklah bermaksud menetapkan hukum sunat berdasarkan hadis yang tidak boleh dijadikan hujah dengannya (kerana ia adalah dha‘if). Ini kerana “sunat” merupakan hukum syari‘at yang tidak boleh ditetapkan melainkan dengan dalil syari‘at juga. Sesiapa yang mengkhabarkan daripada Allah bahawasanya Dia menyukai (menyunatkan) sesuatu amal tanpa dalil syari‘i maka sungguh dia telah mensyari‘atkan dalam agama apa yang tidak diizinkan Allah. Sebagai contoh, hadis-hadis berkenaan puasa pada bulan Rejab dan solat khusus pada malam-malam tertentu bulan Rejab semuanya tidak ada yang sahih. Syaikh Sayid Sabiq menegaskan:[7] Berkenaan puasa pada bulan Rejab, tidak ada kelebihan yang menonjol (tentang bulan Rejab) berbanding bulan-bulan lain, kecuali bahawa ia termasuk daripada bulan-bulan haram (yakni bulan Zulqa‘idah, Zulhijjah, Muharram dan Rejab). Tidak diterima dalam sunnah yang sahih bahawa berpuasa dalam bulan Rejab memiliki keutamaan yang khusus. Adapun apa yang datang tentangnya (keutamaan berpuasa pada bulan Rejab), ia tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai hujah. Berkata (al-Hafiz) Ibn Hajar (al-Asqalani), tidak diterima (apa-apa) hadis yang sahih yang dapat dijadikan hujah tentang keutamaannya (bulan Rejab), mahupun tentang puasanya dan puasa pada hari-hari tertentu daripadanya mahupun solat pada malam yang tertentu daripadanya. Apabila tidak wujud hadis yang sahih yang menetapkan wujudnya “Puasa sunat Rejab” dan “Solat malam Rejab yang ke sekian-sekian hari”, hadis-hadis yang menerangkan keutamaan berpuasa dan bersolat pada bulan Rejab tidak memiliki apa-apa nilai. Yang lebih penting, ia tidak boleh dijadikan dalil untuk menghukum sunat berpuasa dan bersolat secara khusus kerana bulan Rejab. Sebenarnya terdapat banyak lagi amalan yang dilakukan oleh umat Islam berdasarkan hadis yang dha‘if tanpa diperhatikan sama ada amalan tersebut terlebih dahulu telah ditetapkan atau tidak oleh dalil al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih. Setakat ini berdasarkan ulasan kepada syarat yang pertama dan kedua, hendaklah setiap orang yang ingin beramal dengan hadis dha‘if menyemak terlebih dahulu bahawa: 1. Hadis yang ingin dijadikan sumber amalan memiliki rujukan dalam kitab yang asal dan telah disemak bahawa ia sekurang-kurangnya memiliki darjat kelemahan yang ringan. 2. Amalan tersebut telah ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih manakala hadis yang lulus syarat pertama di atas tidak lain hanyalah untuk menerangkan keutamaan amalan tersebut. TOP Ulasan kepada syarat ketiga Apabila menggunakan hadis dha‘if yang telah memenuhi dua syarat yang pertama di atas, hendaklah diingati bahawa tidak boleh berkeyakinan hadis tersebut adalah sabit daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Berdasarkan syarat yang ketiga ini, para ahli hadis telah menetapkan bahawa hadis yang dha‘if tidak boleh disandarkan sebutannya kepada diri Rasulullah secara jelas tetapi perlu diisyaratkan kelemahannya. Misalnya, tidak boleh berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda bahawa……” tetapi hendaklah berkata: “Dalam kitab Mu’jam al-Kabir oleh al-Imam al-Thabarani, terdapat sebuah hadis dha‘if yang berbunyi ……” atau apa-apa lain yang seumpama. Al-Imam al-Nawawi menjelaskan:[8] Berkata para ilmuan peneliti (al-Muhaqqiqun) daripada kalangan ahli hadis dan selain mereka, apabila sebuah hadis adalah dha‘if tidak boleh dikatakan terhadapnya “Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam …” atau “Rasulullah telah berbuat…” atau “Rasulullah telah memerintahkan…” atau “Rasulullah telah melarang…” atau “Rasulullah telah menghukum…” dan apa-apa lain yang menyerupainya daripada bentuk kalimah yang menunjukkan kepastian. Demikian juga, tidak boleh dikatakan terhadap (hadis dha‘if tersebut) “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah…” atau “Berkata Abu Hurairah…” atau “Disebut oleh Abu Hurairah…” atau “Dikhabarkan oleh Abu Hurairah…” atau “Dihadiskan oleh Abu Hurairah…” atau “Dinukil oleh Abu Hurairah…” dan apa-apa lain yang menyerupainya. Demikian juga, tidak boleh dikatakan yang seumpama terhadap para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka terhadap apa yang dha‘if. Tidak boleh berkata terhadap apa jua riwayat yang dha‘if dengan kalimah yang menunjukkan kepastian. Sesungguhnya yang (boleh) dikatakan hanyalah “Diriwayatkan daripadanya…” atau “Dinukil daripadanya…” atau “Dihikayatkan daripadanya…” atau “Didatangkan daripadanya…” atau “Disampaikan daripadanya…” ……… dan apa yang menyerupainya daripada kalimah yang menunjukkan kelemahan, tidak daripada kalimah yang menunjukkan kepastian. Mereka (para ilmuan peneliti) berkata, kalimah yang menunjukkan kepastian ditujukan untuk hadis yang sahih atau hasan manakala kalimah yang menunjukkan kelemahan ditujukan kepada apa yang selain daripada kedua-dua (bukan hadis sahih dan bukan hadis hasan). Amat penting untuk mengisyaratkan kedha‘ifan hadis tersebut agar: 1. Orang ramai dapat mengetahui bahawa si penyampai telah menyemak sumber dan darjat hadis tersebut, 2. Orang ramai tidak menganggapnya sebagai sebuah hadis yang sahih, 3. Orang ramai tidak menetapkan hukum berdasarkan hadis tersebut, 4. Seandainya wujud kemusykilan dalam maksud hadis tersebut, ia tidak mengelirukan orang ramai kerana mereka tahu ia tidak sahih. Jika syarat ketiga ini tidak diperhatikan, orang ramai tidak akan dapat membezakan antara hadis yang sahih dan tidak sahih. Akibatnya mereka akan mengamalkan hadis tersebut sebagai sumber hukum dan menyebarkannya kepada masyarakat dengan anggapan ia adalah benar dan baik. Akhirnya ia akan menjadi masyhur dan sebati di dalam masyarakat dan menganggapnya sebahagian daripada syari‘at Islam. Ini sama-sama dapat kita perhatikan di negara kita sendiri masa kini. Al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah mengingatkan tentang natijah buruk ini kira-kira 500 tahun yang lalu:[9] Sedia dikenali bahawa para ahli ilmu mempermudahkan penerimaan hadis dalam bab keutamaan (al-Fadha’il) sekalipun di dalamnya memiliki kelemahan selagi mana ia bukan hadis maudhu’. Namun disyaratkan bagi orang yang mengamalkannya bahawa dia yakin hadis tersebut adalah dha‘if dan dia tidak memasyhurkannya kerana dibimbangi seseorang lain akan beramal dengan hadis yang dha‘if tersebut (tanpa mengetahui ia adalah dha‘if) sehingga mensyari‘atkan apa yang tidak disyari‘atkan atau dia meriwayatkannya kepada sebahagian orang yang jahil sehingga disangkakan ia adalah sunnah yang sahih. Demikianlah ulasan kepada tiga syarat penting yang perlu diperhatikan oleh setiap orang yang ingin menggunakan hadis dha‘if. Apabila sesebuah hadis telah lulus tiga syarat di atas, terdapat dua perkara tambahan yang perlu diperhatikan, iaitu: TOP Memberi prioriti kepada hadis sahih dan hasan Jika di dalam sebuah bab terdapat hadis-hadis yang sahih, hasan dan dha‘if, maka hendaklah seseorang itu memberi prioriti kepada yang sahih dan hasan sahaja. Sebabnya: 1. Hadis yang sahih dan hasan adalah sabit daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam manakala hadis yang dha‘if masih terbuka kepada kemungkinan benar dan salah. Maka berpegang kepada yang pasti adalah lebih utama daripada yang diragui. 2. Menyibukkan diri dengan hadis yang dha‘if lazimnya akan menyebabkan hadis yang sahih dan hasan terpinggir. Ini kerana setiap individu memiliki kemampuan yang terhad. Jika kemampuan itu dipenuhi dengan menyibukkan diri dengan hadis dha‘if, maka hadis yang sahih dan hasan akan tercicir daripada dirinya. Poin kedua di atas pernah diulas oleh al-Imam ‘Abd al-Rahman bin Mahdi rahimahullah (198H):[10] Tidaklah wajar seseorang itu menyibukkan dirinya dengan menulis hadis-hadis yang dha‘if kerana kesibukannya itu akan mengakibatkan tercicirnya hadis daripada para perawi yang thiqah (terpercaya = hadis sahih) sebanyak hadis daripada perawi lemah yang ditulisnya. Izinkan penulis memberi satu contoh. Setiap tahun ketika tibanya Nisfu Sya’ban, ada di antara kita yang berpuasa, bersolat malam, membaca surah Yasin tiga kali dengan doa tertentu di antaranya dan pelbagai lagi. Semua amalan ini sebenarnya tidak pernah ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih. Hadis-hadis yang menganjurkannya tidak ada yang sahih dan tidak boleh dijadikan dasar bagi menetapkan sesuatu amalan. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi hafizahullah menukil kata-kata al-Imam Ibn al-‘Arabi rahimahullah (543H) dalam persoalan ini:[11] Tidak ada sebuah hadis jua yang dipercayai kesahihannya mengenai keutamaan malam Nisfu Sya’ban. Jika kita (hendak) menerima hadis-hadis yang menerangkan keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan kita hendak memperingatinya dengan amal kebajikan, maka hal ini tidak pernah berasal daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mahupun daripada para sahabat radhiallahu ‘anhum dan kaum muslimin abad-abad pertama. Padahal mereka semua termasuk umat Islam yang terbaik. Daripada semua sumber tersebut tidak ada riwayat yang menerangkan bahawa malam Nisfu Sya’ban diperingati dengan berkumpul di masjid-masjid, membaca doa-doa tertentu dan melakukan solat-solat khusus seperti yang kita saksikan di beberapa negeri kaum muslimin. Bahkan di beberapa negeri sejumlah orang berkumpul sesudah solat Maghrib di masjid-masjid lalu membaca surah Yasin, solat dua rakaat dengan niat memohon panjang umur, ditambah dua rakaat lagi dengan doa dijauhkan ketergantungan hidup daripada orang lain, kemudian mereka membaca doa panjang lebar yang tidak berasal daripada seorang pun daripada kalangan Salaf. Doa yang mereka baca itu pula menyalahi nas-nas (al-Qur’an dan al-Sunnah) serta mengandungi hal-hal yang saling berlawanan maksudnya. Dalam kesibukan kita membaca, menyebar dan mengamalkan hadis-hadis yang dha‘if berkenaan malam Nisfu Sya’ban, kita telah keciciran sebuah hadis yang sahih mengenainya. Hadis tersebut ialah: “Allah akan memperhatikan semua makhluk pada malam Nisfu Sya’ban, maka Dia mengampuni semua makhluknya kecuali orang musyrik dan yang bermusuhan (sesama sendiri).” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ibn Hibban, berkata Syaikh Syu‘aib al-Arna’uth hafizahullah dalam semakannya ke atas Shahih Ibn Hibban (Muassasah al-Risalah, Beirut 1997) jld. 12, ms. 481, no: 5665: “Hadis sahih bi syawahid.” Hadis ini juga dihimpun oleh al-Imam al-Munziri rahimahullah (656H) dalam kitabnya al-Targhib wa al-Tarhib (Dar Ibnu Katsir, Damsyik 1999), jld. 2, ms. 51, no: 1517. Berkata para penyemak: Shaikh Samir Ahmad al-‘Athar, Yusuf Ali Badiwi & Muhyiddin Dibb Matsu: “Sahih bi syawahid.” Berkata Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib (Maktabah al-Ma‘arif, Riyadh 2000), jld. 1, ms. 597, no: 1026: “Hasan Sahih.” Sama-sama kita bertanya kepada diri kita, adakah kita mengetahui tentang hadis ini? Adakah selama ini hadis di atas tersembunyi atau tercicir daripada pengetahuan kita kerana selama ini kita sibuk dengan pelbagai hadis lain, yang tidak satu jua yang sahih, berkenaan malam Nisfu Sya’ban? Lebih jauh, sudahkah kita mengamalkan hadis ini? Mengamalkan hadis ini bukanlah dengan berpuasa, bersolat malam, berzikir, berdoa dan sebagainya. Akan tetapi beramal dengannya ialah kita melayakkan diri kita supaya memperoleh pengampunan Allah Subhanahu wa Ta‘ala pada malam Nisfu Sya’ban. Terdapat dua syarat kelayakan, yang pertama kita lulus, alhamdulillah. Yang kedua perlu kita pastikan bahawa kita tidak bermusuhan dengan sesiapa di kalangan umat Islam. Jika ada, mungkin saudara, jiran, rakan kerja dan sebagainya, hendaklah kita bermaafan dan menghubungkan semula silraturahim. Inilah cara “mengamalkan” hadis sahih di atas berkenaan malam Nisfu Sya’ban. TOP Hadis dha‘if tidak boleh dijadikan ukuran nilai sesuatu amal Kepentingan atau keburukan sesuatu amal tidak boleh diukur berdasarkan hadis-hadis dha‘if sahaja. Sering kali para penulis dan penceramah begitu ghairah menyampaikan hadis-hadis dha‘if dalam memberi anjuran dan amaran tanpa disedari bahawa anjuran dan amaran tersebut nilainya telah dilebih-lebihkan daripada apa yang sepatutnya. Mereka menganggap hal ini akan memberi manfaat kepada umat tetapi yang benar adalah di sebaliknya. Ganjaran yang dibesar-besarkan kepada amalan yang kecil akan mengakibatkan seseorang itu meremehkan agama, dengan anggapan memadailah dia membuat amalan yang sedikit kerana ganjarannya sudah lebih dari mencukupi. Sedangkan amaran yang dibesar-besarkan terhadap kesalahan yang kecil akan menyebabkan seseorang itu menjauhkan diri daripada Allah dan merasa putus asa daripada keampunan-Nya. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menerangkan hal ini dengan lebih lanjut:[12] Hadis-hadis yang memberi anjuran dan amaran (al-Targhib wa al-Tarhib), sekalipun tidak memuat hukum halal atau haram, ia memuat sesuatu lain yang sangat penting dan berbahaya, iaitu ia merosakkan nilai amal atau kewajiban yang telah ditentukan oleh Pembuat syari'at Yang Maha Bijaksana. Setiap amal yang diperintahkan ataupun dilarang memiliki “nilai” tertentu di sisi Pembuat syari'at dalam kaitannya dengan amal-amal yang lain. Kita tidak boleh melampaui had yang telah ditentukan oleh Pembuat syari'at sama ada dengan menurun atau menaikkannya. Di antara hal yang sangat berbahaya ialah memberi nilai sebahagian amalan lebih besar dan banyak daripada ukurannya yang sebenar dengan membesar-besarkan pahalanya sehingga mengalahkan amalan lain yang lebih penting dan lebih tinggi derajatnya dalam pandangan agama. Demikian juga memberikan kepentingan kepada amalan yang dilarang dengan membesar-besarkan seksanya sehingga mengalahkan amalan lainnya. Membesar-besarkan dan melebih-lebihkan janji pahala dan ancaman siksa akan mengakibatkan rosaknya gambaran agama di mata sebahagian orang karena mereka akan menyandarkan apa yang mereka dengar atau baca tersebut kepada agama padahal agama itu sendiri bebas dari semua itu. Seringkali tindakan melebih-lebihkan, terutama dalam soal ancaman, akan menimbulkan akibat yang sebaliknya dan kegoncangan jiwa. Bahkan seringkali orang yang berlebih-lebihan itu akan menjauhkan diri mereka daripada-Nya (kerana putus asa dan merasa tidak layak memperoleh keampunan Allah ke atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan) Kita wajib menjaga amal perbuatan sesuai dengan tingkatan-tingkatannya yang telah digariskan oleh syari‘at tanpa terjerumus ke dalam tindakan melebih-lebihkan. Ini hanya akan membawa kita kepada salah satu dari dua bentuk pelampauan, sama ada yang menambah atau mengurang, sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abu Thalib radhiallahu 'anh: “Kalian harus mengambil sikap pertengahan, yang kepadanya orang tertinggal harus disusulkan dan kepadanya pula orang yang berlebihan harus dikembalikan. Berdasarkan tiga syarat pengamalan hadis dha‘if dan dua perkara tambahan yang perlu diperhatikan, sama-sama dapat diambil iktibar bahawa menggunakan hadis dha‘if tidaklah semudah yang disangka. Hadis-hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah salah satu sumber syari‘at di sisi al-Qur’an al-Karim. Maka kita perlu berinteraksi dengannya melalui disiplin-disiplin yang telah digariskan oleh para ahli hadis. Apa yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sabdakan berkenaan agama tidak lain adalah wahyu Allah. Apabila kita bersikap leka dalam berinteraksi dengan hadis-hadis baginda, kita bukan sahaja mendedahkan diri kepada kemungkinan berdusta di atas nama Rasulullah tetapi juga berdusta di atas nama Allah. Oleh itu hendaklah setiap individu memberi perhatian khusus dalam bab ini. Jangan menerima sebarang hadis sekalipun yang menyampaikannya adalah orang yang masyhur di mata masyarakat. Pastikan bahawa setiap hadis yang disampaikan mematuhi syarat-syarat di atas. Apabila membaca buku-buku agama, pastikan setiap hadis diberikan rujukan, lengkap dengan nombor hadis dan bab. Jangan berpuas hati dengan catitan “Hadis riwayat al-Bukhari” atau “HR Muslim” kerana terdapat sebahagian penulis yang berbuat demikian padahal hadis tersebut tidak wujud di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Apabila mendengar khutbah, kuliah, ceramah dan sebagainya, jangan segan-segan bertanya kepada penyampainya: “Ustaz, hadis yang ustaz sebut itu siapa yang meriwayatkannya dan apa darjatnya?” atau apa-apa lain yang seumpama. Setiap mukmin yang bertanggungjawab terhadap Allah dan Rasul-Nya berhak untuk bertanya dan setiap penyampai yang bertanggungjawab terhadap Allah dan Rasul-Nya tidak boleh merasa ego untuk menjawab. Akan tetapi jika penyampai tersebut tidak ingat pada saat itu, berilah dia tempoh untuk menyemak semula agar dia dapat menjelaskannya pada masa yang akan datang. Tanpa berlebih-lebihan, penulis menganjurkan para pembaca sekalian meninggalkan mana-mana penulis dan penyampai agama yang tidak berdisiplin dalam mengemukakan hadis-hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kita perlu bertegas dalam hal ini, bukan sahaja supaya amalan kita sentiasa berada di atas ukuran yang benar tetapi supaya para penulis dan penyampai tersebut tidak mengambil mudah perkara ini. Risalah 3: Bagaimana kita menyambut Ramadhan? -------------------------------------------------------------------------------- [1] al-Azkar (diteliti oleh ‘Amr bin ‘Ali Yasin; Dar Ibn Khuzaimah, Riyadh 2001), ms. 53 [2] al-Qaul al-Badi’ fi Fadhli Shalat ‘ala al-Habib al-Syafi’ (diteliti oleh Muhammad ‘Awwamah; Muassasah al-Rayan, Beirut 2002), ms. 473 [3] al-Qaul al-Badi’, ms. 472 [4] al-Majruhin min al-Muhadditsin (diteliti oleh Hamidi bin ‘Abd al-Rahman; Dar al-Shomi‘in, Riyadh 2000), jld. 1, ms. 16-17 [5] Musykil al-Atsar (diteliti oleh Muhammad ‘Abd al-Salah Syahin; Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut 1995), jld. 1, ms. 123 [6] Majmu’ al-Fatawa (Dar al-Wafa’, Kaherah 2001), jld. 18, ms. 65 [7] Fiqh al-Sunnah (Dar al-Fath, Kaherah 1999), jld. 1, ms. 516 [8] al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (diteliti oleh Muhammad Najib Ibrahim; Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut 2001), jld. 1, ms. 134 [9] Tabyin al-‘Ujab bi ma warada fi Fadhli Rejab, ms. 3-4; dinukil daripada Tamam al-Minnah fi al-Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah oleh Syaikh al-Albani rahimahullah (1999) (Dar al-Rayah, Riyadh 1409H), jld. 1, ms. 36 [10] Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi (463H) dalam al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Maktabah al-‘Alamiyah, Madinah), ms. 132 [11] Fatawa Mu‘ashirah (edisi terjemahan oleh al-Hamid al-Husaini dengan judul Fatwa-Fatwa Mutakhir; Pustaka Hidayah, Bandung 1996), ms. 480-481 [12] al-Muntaqa min Kitab al-Targhib wa al-Tarhib li al-Munziri (Dar al-Wafa’, Kaherah 1993), jld. 1, ms. 49-50
Apa Itu Hadits Hasan
Yang dimaksud dalam kajian ini adalah bagian ke-dua dari klasifikasi berita yang diterima, yaitu Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen).
Barangkali sebagian kita sudah pernah membaca atau mendengar tentang istilah ini, namun belum mengetahui secara persis apa yang dimaksud dengannya, siapa yang pertama kali mempopulerkannya, buku apa saja yang banyak memuat bahasan tentangnya?
Itulah yang akan kita coba untuk mengulasnya secara ringkas tapi padat, insya Allah.
Definisi
a. Secara bahasa (etimologi)
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan.
b. Secara Istilah (teriminologi)
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.
Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:
1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim as-Sunan:I/11)
2. Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)
3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li Dzâtih (Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)
Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya. Ini adalah definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththâby banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya beliau mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya adalah hadits lemah (Dla’îf) yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.”
Definisi Terpilih
Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”
Hukumnya
Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.” (Tadrîb ar-Râwy:I/160)
Contohnya
Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)
Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.
Tingkatan-Tingakatannya
Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.
Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.
Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan semisal mereka.
Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang
shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”
1. Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”
2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzûdz atau ‘Illat.
Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut.
Akan tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz.
Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama
Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh”
Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah:
1. Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”
2. Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”
Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.
Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh
Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”
Di dalam kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy, Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan Munkar.
Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab ini ( “Mashâbîh as-Sunnah” ) mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”
Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya
Dapat Ditemukan Hadits Hasan
Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah:
1. Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya.
Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.
2. Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.
3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.
(SUMBER: Kitab Taysîr Musthalah al-Hadîts karya Dr. Mahmûd ath-Thahhân, h. 45-50) Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=70 .:: HaditsWeb ::.
Subscribe to:
Posts (Atom)