Tuesday, August 13, 2013

RISALAH SYIAH 2013

HAKIKAT SUFI

SEJARAH TASBIH DAN HUKUMNYA

Oleh:Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin

Dzikrullah, merupakan amalan yang sangat dianjurkan oleh Allah Jalla Jalaluhu dan RasulNya, dan diperintahkan untuk melakukannya sebanyak-banyaknya, sebagaimana firmanNya, artinya: Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. [Al Ahzab : 41]

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

"Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatannya". [HR Bukhari dan Muslim].

Dzikir dibagi menjadi dua. Pertama, dzikir mutlaq. Yaitu dzikir yang tidak terkait dengan waktu, jumlah, tempat dan keadaan. Semua perbuatan dan perkataan yang bisa mengingatkan seseorang kepada Allah Jalla Jalaluhu, termasuk dalam dzikir jenis ini, seperti: membaca Al Qur’an, menuntut ilmu, dan lainnya. Seseorang bisa melakukan dzikir kapan saja, berapapun jumlahnya selama tidak bertentangan dengan hal-hal yang sudah ditetapkan dalam agama. Kedua, dzikir muqayyad. Yaitu dzikir yang terikat dengan tempat, seperti: dzikir di Arafah, di Multazam, ketika masuk dan keluar masjid, kamar mandi dan lainnya. Atau terikat dengan jumlah, waktu dan cara. Oleh karenanya, dalam pelaksanaannya juga terikat dengan tata cara yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara contoh dzikir yang terikat dengan jumlah, waktu dan cara, misalnya sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

"Barangsiapa yang mengucapkan “subhaanallah” setiap selesai shalat 33 kali, “alhamdulillah” 33 kali dan “Allahu Akbar” 33 kali; yang demikian berjumlah 99 dan menggenapkannya menjadi seratus dengan “La ilaha illallahu wahdahu la syarikalah, la hul mulku walahul hamdu wa huwa ‘la kulli syai-in qadir” (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ), akan diampuni kesalahannya, sekalipun seperti buih lautan" [HR Muslim dari Abu Hurairah].

BAGAIMANA CARA RASULULLAH SHALALLLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MENGHITUNG DZIKIR (SUBHAANALLAH, ALHAMDULILLAH DAN ALLAHU AKBAR) TERSEBUT?
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Dzaid, salah satu anggota Majelis Kibaar Ulama di Saudi Arabia, ketika membahas masalah ini menyebutkan: Sudah tsabit (jelas dan ada) petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan dan keputusan (taqrir), bahwa beliau menghitung dzikir dengan jari tangannya, tidak pernah dengan yang lainnya. Demikian itulah yang diamalkan oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan hingga hari ini. Dan termasuk perbuatan yang secara turun-temurun dipraktikkan di kalangan umat, sebagai wujud iqtida’ (percontohan) mereka kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Inilah cara yang sesuai dengan ruh Islam, yaitu menghendaki kemudahan dan bisa diamalkan oleh semua orang, kapan saja dan di mana pun tempatnya.[1]

Syaikh Athiyah Muhammad Salim, salah seorang mudarris (guru) di Masjid Nabawi, ketika membahas cara RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam menghitung tasbih tersebut, mencontohkannya dengan menggunakan tangan kanan dan menyatakan: Setiap jari tangan kita memiliki tiga ruas. Apabila setiap ruas mendapatkan satu tasbih, tahmid dan takbir, kemudian dikalikan lima, maka akan berjumlah lima belas dan diulangi lagi sekali, sehingga menjadi tiga puluh, kemudian ditambah dengan satu jari hingga berjumlah tigapuluh tiga kali. Dan ini, selaras dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى.

"Setiap pergelangan salah seorang dari kamu adalah shadaqah, setiap tasbih shadaqah, setiap tahmid shadaqah, tahlil shadaqah, takbir shadaqah, mengajak kepada kebaikan shadaqah dan mencegah dari kemungkaran shadaqah dan semua itu cukup dengan dua raka’at dhuha". [HR Bukhari dan Muslim].

Beliau (Syaikh Athiyah) tidak menyebutkan dalilnya harus dengan ruas jari [2]. Yang pasti, menurut beliau, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung dzikirnya dengan jari tangannya, sebagaimana disebutkan oleh Abdullah bin Umar, beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ.

"Saya melihat Rasulullah menghitung tasbih (dzikirnya); Ibnu Qudamah mengatakan dengan tangan kanannya". [3]

Saat sekarang ini, kita sering melihat -khususnya selesai shalat-, orang menghitung dzikirnya dengan menggunakan alat tasbih, yaitu semacam biji-bijian terbuat dari kayu, tulang atau lainnya yang dirangkai dengan benang atau tali, yang jumlahnya biasanya seratus biji. Orang Arab menyebutnya subhah, misbahah, tasaabih, nizaam, atau alat. Sementara orang-orang sufi menyebutnya al mudzakkirah billah (pengingat kepada Allah), raabitatul qulub (pengikat hati), hablul washl atau sauth asy syaithan (cambuk syaitan). Karena dzikir merupakan bagian dari ibadah atau dianggap sebagai ibadah, maka kita harus mengetahui hukumnya, agar benar dalam mengamalkannya. Bagaimana hukum menggunakan alat-alat tersebut?

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...