Friday, July 12, 2013

Hadits-Hadits Dhaif & Maudhu Yang Banyak Beredar Pada Bulan Ramadhan

Oleh:Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

HADITS PERTAMA : TENTANG GANJARAN ORANG YANG MELAKSANAKAN IBADAH PUASA DAN SHALAT TARAWIH

عَنِ النَّضْرِ بْنِ شَيْبَانَ قَالَ لَقِيتُ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقُلْتُ حَدِّثْنِي بِحَدِيثٍ سَمِعْتَهُ مِنْ أَبِيكَ يَذْكُرُهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ قَالَ نَعَمْ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ شَهْرَ رَمَضَانَ فَقَالَ شَهْرٌ كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

"Dari Nadhir bin Syaibân, ia mengatakan, 'Aku pernah bertemu dengan Abu Salamah bin Abdurrahman rahimahullah, aku mengatakan kepadanya, 'Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari bapakmu (maksudnya Abdurraman bin 'Auf Radhiyallahu 'anhu) tentang Ramadhân.' Ia mengatakan, 'Ya, bapakku (maksudnya Abdurraman bin 'Auf Radhiyallahu 'anhu) pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut bulan Ramadhân lalu bersabda, 'Bulan yang Allâh Azza wa Jalla telah wajibkan atas kalian puasanya dan aku menyunahkan buat kalian shalat malamnya. Maka barangsiapa yang berpuasa dan melaksanakan shalat malam dengan dasar iman dan mengharapkan ganjaran dari Allâh Azza wa Jalla, niscaya dia akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibunya". [HR Ibnu Mâjah, no. 1328 dan Ibnu Khuzaimah, no. 2201 lewar jalur periwayatan Nadhr bin Syaibân]

Sanad hadits ini lemah, karena Nadhr bin Syaibân itu layyinul hadîts (orang yang haditsnya lemah), sebagaimana dikatakan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Taqrîb beliau rahimahullah.

Ibnu Khuzaimah rahimahullah juga telah menilai hadits ini lemah dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits yang sah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.

Hadits yang beliau rahimahullah maksudkan yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhâri dan Muslim dan ulama hadits lainnya lewat jalur Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang shalat (qiyâm Ramadhân atau Tarawih) dengan dasar iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosanya yang telah lalu".

Juga ada sabda Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits shahih riwayat Bukhâri dan Muslim, yaitu :

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

"Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji dan tidak jima' juga tidak fasiq, niscaya dia akan kembali seperti hari dia dilahirkan oleh sang ibu" [HR. Bukhâri dan Muslim]

HADITS KEDUA : TENTANG PUASA ITU SETENGAH DARI KESEHATAN

... وَالصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ وَالطُّهُورُ نِصْفُ الْإِيْمَانِ

"Puasa itu setengah kesabaran dan kesucian itu setengahnya iman".

Dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 3519 dalam Kitab ad-Dâ'awât, juga diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad beliau rahimahullah (4/260 dan 5/363) lewat jalur periwayatan Juraisy an-Nahdy dari seorang laki-laki bani (suku) Sulaim.

Sanad hadits ini dha'if, karena Juraisy bin Kulaib ini adalah seorang yang majhûl (tidak dikenal), sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Madini rahimahullah (lihat, Tahdzîbut Tahdzîb, 2/78 karya Ibnu Hajar rahimahullah).

Hadits dhaif lainnya yang senada yaitu :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ , الصِّيَامُ نِصْفُ الصَّبْرِ

"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia mengatakan, "Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Segala sesuatu itu ada zakatnya. Zakat badan adalah puasa. Puasa itu separuh kesabaran." [HR. Ibnu Mâjah, no. 1745 lewat jalur Musa bin Ubaidah dari Jumhân dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu]

Sanad hadits ini lemah, karena Musa bin Ubaidah dinilai haditsnya lemah oleh sekelompok ulama ahli hadits, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tahdzîb, 10/318-320. Beliau ini seorang yang shalih dan ahli ibadah, akan tetapi lemah dalam periwayatan hadits.

Al-Hâfizh dalam kitab Taqrîbnya mengatakan, "Dha'if."

Hadits yang sah tentang hal ini adalah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada seorang lelaki dari suku Bahilah dalam hadits yang panjang, dalam hadits yang panjang tesrbut terdapat kalimat :

صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ رَمَضَانَ

"Berpuasalah pada bulan kesabaran yaitu Ramadhân". [HR Imam Ahmad dengan sanad yang shahih]

Hadits yang lain yaitu hadits yang diriwayatkan lewat jalur Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang bulan Ramadhân :

شَهْرَ الصَّبْرِ

"bulan kesabaran (Ramadhan)".

Dikeluarkan oleh Imam Ahmad rahimahullah (2/263, 384 dan 513), juga dikeluarkan oleh Imam Nasa'i rahimahullah (3/218-219). Dan hadits lain lewat jalur periwayatan a'rabiyûn sebagaimana dalam Majma'uz Zawâid (3/196) oleh al Haitsami rahimahullah.

HADITS KETIGA : TENTANG RAMADHAN DIBAGI TIGA

أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ (وفي رواية : ووَسَطُهُ) مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

"Awal bulan Ramadhân itu adalah rahmat, tengahnya adalah maghfirah (ampunan) dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka". [HR Ibnu Abi Dunya, Ibnu Asâkir, Dailami dan lain-lain lewat jalur periwayatan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu]

Hadits ini sangat lemah. Silahkan lihat kitab Dha'if Jâmi'is Shagîr, no. 2134 dan Faidhul Qadîr, no. 2815

Hadits lemah yang senada dengan hadits diatas yaitu :

عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيّ قَالَ : خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ مُبَارَكٌ ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً ، وَقِيَامَهُ تَطَوُّعًا ، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ، وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ ...وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُه رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ ...

"Dari Salmân al-Fârisi Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan, "Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah dihadapan kami pada hari terakhir bulan Sya'bân. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Wahai manusia, sungguh bulan yang agung dan penuh barakah akan datang menaungi kalian, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allâh Subhanahu wa Ta'ala menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang beribadah pada bulan tersebut dengan satu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa yang menunaikan satu kewajiban pada bulan itu, maka sama dengan menunaikan tujuh puluh ibadah wajib pada bulan yang lain. Itulah bulan kesabaran dan balasan kesabaran adalah surga .... Itulah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka .....". [HR Ibnu Khuzaimah, no. 1887 dan lain-lain]

Sanad hadits ini dha'îf (lemah), karena ada seorang perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud'ân. Orang ini seorang perawi yang lemah sebagaiamana diterangkan oleh Imam Ahmad rahimahullah, Yahya rahimahullah, Bukhâri rahimahullah, Dâru Quthni rahimahullah, Abu Hâtim rahimahullah dan lain-lain.

Ibnu Khuzaimah rahimahullah sendiri mengatakan, "Aku tidak menjadikannya sebagai hujjah karena hafalannya jelek." Imam Abu Hatim rahimahullah mengatakan, "Hadits ini mungkar."

Silahkan lihat kitab Silsilah ad-Dha'îfah Wal Maudhû'ah, no. 871, at-Targhîb wat Tarhîb, 2/94 dan Mizânul I'tidâl, 3/127.

FIQH SUNNAH SOLAT TERAWIH DAN QIYAM


Anjuran Solat Tarawih Berjemaah
Tidak diragui bahawa Solat Qiamullail di Bulan Ramadhan yang lebih dikenali sebagai Solat Tarawih dianjurkan untuk dikerjakan secara berjemaah. Hal ini berdasarkan kepada:
A. Perakuan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam terhadapnya;
B. Perbuatan Baginda mengerjakannya secara berjemaah; dan
C. Penjelasan Baginda tentang fadilatnya.
Adapun perakuan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, hal ini berdasarkan kepada Hadis riwayat Tha’labah bin Abi Malik Al-Qardhi radhiyallahu ‘anhu yang berkata: Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada suatu malam di Bulan Ramadhan lalu Baginda melihat sekumpulan manusia sedang solat berjemaah di penjuru Masjid. Baginda bertanya: Apakah yang sedang mereka kerjakan? Seorang Sahabat menjawab: Wahai Rasulullah, mereka adalah kumpulan yang tidak hafal Al-Quran dan Ubai bin Ka’ab yang hafal sedang mengimami solat mereka. Berkata Baginda, “Bagus apa yang mereka lakukan” atau “Benar apa yang mereka lakukan”. Baginda tidak melarang mereka berbuat begitu. (Riwayat Al-Baihaqi dll. dengan sanad yang saling menguatkan).
Perbuatan Rasulullah mengerjakan Solat Tarawih secara Berjemaah. Hal ini sabit dalam beberapa hadis iaitu:
1. Daripada Al-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
“Kami solat bersama Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam pada malam dua puluh tiga Ramadhan sehingga sepertiga malam pertama. Kemudian kami solat bersama Baginda pada malam dua puluh lima sehingga setengah malam. Pada malam ke dua puluh tujuh kami solat bersama Baginda sehingga kami sangka yang kami akan terlepas sahur.” (Sahih. Riwayat Ahmad)
2. Daripada Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
“Pada mulanya para Sahabat solat di Masjid Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam pada malam Ramadhan secara berasingan di mana seorang yang hafal sebahagian daripada Al-Quran akan mengimami jemaah yang terdiri daripada lima atau enam orang atau barangkali lebih sedikit atau lebih ramai daripada itu. Maka Baginda memerintahkan supaya aku meletakkan pelepah kurma di hadapan pintu rumahku. Aku pun melakukan apa yang diminta. Setelah selesai Solat Isyak Baginda menuju ke arahnya diikuti jemaah yang ada dalam masjid. Baginda mengimami solat mereka dengan solat yang cukup panjang.
Setelah itu Baginda masuk ke rumahnya dan membiarkan pelepah kurma itu pada tempatnya. Keesokan harinya penduduk Madinah bertanya tentang solat yang Baginda kerjakan pada malam sebelumnya. Pada malam berikutnya lebih ramai yang hadir ke masjid dan Baginda mengimamkan solat mereka. Keesokan harinya penduduk Madinah berbicara tentangnya membuatkan pada malam ketiga lebih ramai jemaah yang datang dan solat bersama Rasulullah.
Pada malam keempat kehadiran jemaah di Masjid cukup ramai sehingga masjid tidak dapat menampung jumlah mereka. Rasulullah keluar mengimami solat Isyak dan sesudahnya Baginda masuk ke dalam rumah manakala jemaah Masjid terus menunggu.
Baginda bertanya kepadaku, mengapa dengan mereka wahai Aisyah? Aku berkata: Wahai Rasulullah, mereka mendengar tentang solatmu pada malam semalam maka mereka hadir untuk solat bersamamu. Baginda berkata, “Alihkan pelepah kurmamu wahai Aisyah”. Aku pun melaksanakannya.
Jemaah masjid terus menunggu di Masjid. Keesokan paginya Baginda keluar mengerjakan Subuh. Setelah selesai Baginda sallallahu ‘alaihi wasallam berpaling ke arah mereka, bertasyahhud dan berkata, “Wahai manusia, demi Allah aku tidak bermalam dalam keadaan tidak tahu tentang keadaan kamu, tetapi aku khuatir ia akan diwajibkan ke atas kamu (dalam satu riwayat: Tetapi aku khuatir solat malam akan diwajibkan ke atas kamu dan kamu tidak akan mampu melakukannya). Maka laksanakanlah amalan-amalan yang kamu mampu kerana sesungguhnya Allah tidak akan jemu melainkan apabila kamu jemu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadis-hadis ini jelas menunjukkan bahawa Solat Tarawih dianjurkan secara berjemaah berdasarkan perbuatan Baginda sallallahu ‘alaihi wasallam pada ketiga-tiga malam yang pertama di dalam hadis di atas. Hal ini tidak bercanggah dengan perbuatan Baginda meninggalkannya pada malam keempat kerana Baginda memberi alasan “Aku khuatir ia akan diwajibkan ke atas kamu.”
Jelas kekhuatiran ini telah terhenti sesudah kewafatan Baginda. Ini yang membuatkan Khalifah Omar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu menghidupkan Sunnah ini pada zamannya seperti mana yang akan dijelaskan nanti. Bahkan hal ini menjadi pegangan majoriti para Ulama.
Penjelasan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam Tentang Fadilat Solat Tarawih Berjemaah. Abu Dzar berkata, “Kami berpuasa dan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tidak solat bersama kami sehingga tersisa tujuh hari daripada Bulan (Ramadhan). Maka Baginda mengimami solat kami sehingga sepertiga malam. Pada malam keenam Baginda tidak solat bersama kami. Pada malam kelima Baginda mengimami kami sehingga setengah malam. Kami berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana kalau sekiranya engkau teruskan solat pada baki waktu malam yang tersisa? Jawab Baginda, “Barangsiapa yang solat bersama imam sehingga dia selesai akan tertulis buatnya solat sepanjang malam.” Pada malam berikutnya Baginda tidak solat bersama kami. Pada malam ketiga terakhir, Baginda solat bersama kami dengan disertai keluarga dan para isteri Baginda. Baginda solat sehingga kami khuatir akan terlepas waktu sahur.” (Sahih. Riwayat Abu Daud)
Kenyataan Baginda sallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang solat bersama imam…” jelas menunjukkan fadilat Solat Tarawih bersama imam. Hal ini disokong penjelasan Imam Ahmad ketika ditanya: (Adakah lebih baik) dilewatkan Solat Tarawih sehingga hujung malam? Jawab beliau, “Tidak, amalan kaum Muslimin lebih aku sukai.” (Masaa’il Imam Ahmad oleh Imam Abu Daud)
Maksud beliau, solat Tarawih secara berjemaah di awal waktu malam lebih afdal di sisi beliau berbanding dengan solat sendiri di akhir malam. Walaupun waktu akhir malam (sepertiga malam yang terakhir) lebih afdal secara umumnya tetapi solat berjemaah tetap lebih afdal walaupun di awal waktu malam. Ini berdasarkan berbuatan Nabi solat berjemaah di masjid seperti mana dalam hadis di atas dan hal ini menjadi amalan masyarakat Islam daripada zaman Khalifah Omar Al-Khattab sehinggalah ke hari ini.

Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam Tidak Pernah Solat Lebih daripada 11 Rakaat
Setelah penjelasan tentang anjuran Solat Tarawih secara berjemaah berdasarkan perakuan, perbuatan dan saranan Nabi, harus dijelaskan pula tentang jumlah rakaat yang didirikan oleh Baginda pada malam-malam tersebut secara berjemaah.
Dalam hal ini terdapat dua hadis iaitu Hadis Aisyah dan Hadis Jabir radhiyallahu ‘anhuma. Lafaznya:
Hadis Pertama: Daripada Abu Salamah bin Abdul Rahman, dia bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana solat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam pada Bulan Ramadhan? Aisyah menjawab, ”Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam sama ada pada Bulan Ramadhan atau di luar Bulan Ramadhan tidak pernah solat melebihi sebelas rakaat. Baginda solat empat (rakaat) dan janganlah engkau bertanya tentang keelokan dan kepanjangannya. Lalu Baginda solat empat (rakaat lagi) dan janganlah engkau bertanya tentang keelokan dan kepanjanganya. Setelah itu Baginda solat tiga (rakaat).” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadis Kedua: Berkata Jabir bin Abdullah, “Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam mengimami solat kami pada Bulan Ramadhan sebanyak lapan rakaat diikuti dengan solat witir. Pada malam berikutnya kami berkumpul di Masjid dengan harapan Baginda akan keluar (untuk mengimami solat) tetapi Baginda tidak keluar sehingga waktu Subuh. Kami berkata: Wahai Rasulullah, kami berkumpul pada malam tadi di Masjid dengan harapan engkau akan mengimami solat kami. Jawab Baginda, “Aku khuatir ia akan diwajibkan atas kamu.” (Hasan. Riwayat Al-Tabarani)

Hadis Solat Tarawih Dua Puluh Rakaat Sangat Lemah Tidak Boleh Dijadikan Sebagai Amalan
Berkata Ibnu Hajar:
“Adapun riwayat Ibnu Abi Syaibah daripada hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahawasanya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam solat pada Bulan Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat dan Solat Witir, sanadnya adalah lemah. Ia bercanggah dengan Hadis Aisyah dalam riwayat Bukhari dan Muslim yang mana beliau (Aisyah) lebih tahu tentang amalan Rasulullah pada waktu malam berbanding dengan yang lain.” (Fathulbari, 4/205-206)
Imam Albani menyimpulkan bahawa hadis riwayat Ibnu Abbas di atas telah sampai ke tahap mauduu’ (palsu) kerana percanggahannya dengan kedua riwayat Aisyah dan Jabir tentang bahawa Rasulullah tidak pernah solat lebih daripada sebelas rakaat.
Imam Al-Sayuuti berkata:
“Kesimpulannya, (hadis) dua puluh rakaat tidak sabit daripada perbuatan Rasulullah. Adapun dalam Sahih Ibnu Hibban (hadis riwayat Jabir), apa yang kami simpulkan berdasarkan hadis Bukhari daripada riwayat Aisyah bahawa Baginda sallallahu ‘alaihi wasallam sama ada pada Bulan Ramadhan atau di luar Bulan Ramadhan tidak pernah solat melebihi sebelas rakaat, ia bertepatan dengannya (hadis riwayat Jabir) daripada sudut Baginda solat Tarawih lapan rakaat kemudian Baginda solat Witir tiga rakaat. Maka jumlahnya sebelas rakaat.
Hal ini disokong dengan kebiasaan Baginda sallallahu ‘alaihi wasallam sekiranya melakukan sesuatu Baginda akan melakukannya secara berterusan. Seperti mana Baginda solat dua rakaat yang diqada’ sesudah Solat Asar sedangkan waktu itu dilarang solat.
Maka kalau sekiranya Baginda sallallahu ‘alaihi wasallam pernah solat dua puluh rakaat walaupun sekali pasti Baginda tidak akan meninggalkan sama sekali amalan tersebut. Dan sekiranya hal ini berlaku pasti ia akan diketahui oleh Aisyah yang telah berkata dengan ucapan yang telah dijelaskan sebelum ini.”

Perbuatan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam Solat 11 Rakaat Menunjukkan Bahawa Tidak Boleh Solat Melebihi Jumlah Tersebut
Penjelasan sebelum ini menunjukkan bahawa jumlah Solat Qiamullail / Tarawih adalah sebelas rakaat berdasarkan nas yang sahih daripada perbuatan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Jika kita perhatikan, perbuatan Baginda terus-menerus solat dengan bilangan ini sepanjang hidupnya tanpa menambahnya sama ada di Bulan Ramadhan atau di bulan-bulan yang lain, ia menjadi petunjuk bahawa bilangan rakaatnya tidak boleh ditambah.
Keadaan ini sama seperti Solat Rawaatib dan solat-solat sunat yang lain seperti Solat Istisqaa’ dan Solat Gerhana yang mana Baginda turut mengerjakannya dengan bilangan rakaat-rakaat yang tertentu. Maka sebagaimana hal ini menjadi dalil buat para Ulama bagi mengatakan bahawa tidak boleh ditambah jumlah rakaat pada solat-solat ini, begitu jugalah halnya dengan Solat Tarawih yang mana bilangan rakaatnya juga tidak boleh ditambah melebihi daripada apa yang disunnahkan.

Syubhat-Syubhat dan Jawapannya
Ada baiknya disebutkan di sini beberapa syubhat yang mengatakan dibolehkan menambah bilangan rakaat Solat Tarawih melebihi sebelas rakaat.
Syubhat Pertama: Perselisihan para ulama dalam menetapkan jumlah rakaat Solat Tarawih sehingga ada yang mengatakan 41 rakaat, 36 rakaat, 34 rakaat, 28 rakaat, 24 rakaat, 20 rakaat, 16 rakaat dan 11 rakaat menunjukkan bahawa tidak ada nas yang menetapkan hanya sebelas rakaat.
Jawapan:
Tidak dinafikan bahawa perselisihan para ulama ada kalanya disebabkan oleh tidak adanya nas. Walau bagaimanapun, ini bukan satu-satu sebabnya. Ada kalanya ia disebabkan oleh hakikat bahawa nas itu tidak sampai kepada seseorang ulama yang berkata sebaliknya; atau nas itu sampai kepadanya tetapi dengan jalan riwayat yang tidak sahih; atau nasnya sampai kepadanya dengan jalan riwayat yang sahih tetapi dia memahaminya dengan cara yang menyelisihi pendapat ulama yang lain; atau sebab-sebab yang lain.
Hasilnya, perselisihan para ulama ada banyak sebabnya dan bukan hanya satu sebab iaitu kerana disebabkan tidak ada nas; atau dalam permasalahan kita ini; kerana tidak ada nas yang menetapkan jumlah rakaat Solat Tarawih.
Bahkan kita katakan realitinya dalam permasalahan ini terdapat nas yang menetapkan dan nas ini tidak boleh ditolak semata-mata dengan alasan adanya perselisihan para ulama. Apa yang menjadi kewajipan kita adalah dikembalikan perselisihan ini kepada nas bertepatan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maksudnya: Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sehingga mereka menjadikan engkau (wahai Rasulullah) sebagai hakim dalam mana-mana perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap apa yang engkau putuskan dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya. (Al-Nisaa’, ayat 65)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ
Maksudnya: Sekiranya kamu berselisih dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya – jika kamu benar beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. (Al-Nisaa’, ayat 59)
Syubhat Kedua: Dibolehkan menambah bilangan rakaat pada Solat Tarawih kerana tidak ada nas yang melarang. Atau;
Tidak dinafikan bahawa telah sabit bahawa Baginda hanya solat sebelas rakaat, manakala hadis Baginda solat dua puluh rakaat tidak sabit; walau bagaimanapun tidak ada halangan untuk kita menambah kerana Baginda tidak melarang.
Jawapan:
Perlu diketahui bahawa prinsip beramal ibadah adalah tauqifiyyah iaitu ia perlu sejajar dengan nas syarak. Prinsip ini telah pun disepakati para ulama. Tanpa prinsip ini, seseorang itu mungkin sahaja menambah rakaat pada solat sunat bahkan juga pada jumlah rakaat solat fardu atas dakwaan bahawa Baginda tidak melarangnya. Perkara ini jelas batil.
Syubhat Ketiga: Berpegang dengan nas-nas yang umum.
Sebahagian mereka berpegang dengan nas-nas umum yang menganjurkan untuk memperbanyakkan solat tanpa ditetapkan bilangan rakaatnya. Seperti kenyataan Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, “Solat malam dua-dua (rakaat)” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Jawapan:
Perbuatan berpegang dengan nas-nas yang umum hanya dibolehkan dalam amal ibadah yang tidak dihadkan batas-batasnya. Adapun sekiranya Syarak membataskan suatu nas yang umum dengan nas yang khusus, maka nas yang umum itu akan terikat dengan nas yang mengkhususkannya. Akhirnya, keumuman suatu nas yang umum tidak lagi boleh dijadikan hujah. Sebaliknya, ia perlu difahami dalam konteks nas khusus yang mengkhususkannya.

Sebab Sebenar Mengapa Para Ulama Berbeza Pendapat dalam Jumlah Rakaat Solat Tarawih
Imam Albani melihat bahawa terdapat dua sebab.
Sebab pertama yang paling kuat dan paling lumrah adalah kerana mereka tidak bertemu dengan nas yang menyebut tentang bilangan rakaatnya. Mereka ini jelas mempunyai keuzuran dalam tidak beramal dengan nas ini.
Sebab kedua adalah mereka memahami nas ini dengan kefahaman bahawa ia tidak menunjukkan adanya larangan menambah pada bilangannya.

Kedudukan Kita Terhadap Mereka yang Menyelisihi Kita dalam Permasalahan ini
Walaupun kita beramal dengan Sunnah dalam bilangan rakaat Solat Tarawih dan mengatakan bahawa tidak dibolehkan menambah pada bilangan rakaatnya; hal ini tidak bererti kita menyesat atau membida’ahkan mereka yang menyelisihi kita dalam hal ini.
Ini kerana suatu itu hanya dikatakan bidaah dan pelakunya diancam atas perbuatannya sekiranya ia menepati istilah bidaah itu sendiri iaitu:
“Jalan dalam Agama yang direka-reka, bentuknya menyerupai Syariat, dan dilakukan dengan tujuan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.” (Al-I’tisaam oleh Imam Syatibi)
Oleh itu, hanya mereka yang mengaada-adakan suatu bidaah dengan tujuan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah dalam keadaan mengetahui bahawa ia bukan daripada Syarak akan dikategorikan sebagai pelaku bidaah yang mendapat ancaman daripada Allah.
Adapun mereka yang melakukan suatu yang menyelisihi Sunnah dengan tidak sengaja kerana perpegang dengan pendapat ijtihad mereka dan tanpa tujuan berlebih-lebihan dalam beribadah; mereka ini tidak digolongkan sebagai pelaku bidaah.
Golongan ahli bidaah adalah mereka yang menentang Sunnah dan menggalakkan perbuatan bidaah tanpa sebarang petunjuk ilmu ataupun dalil bahkan tanpa bertaklid kepada para ulama. Sebaliknya mereka sekadar mengikut hawa nafsu dan mancari keredaan manusia.
Tentu sahaja ini bukan sifat para ulama – yang terkenal dengan ilmu serta ketakwaan mereka – yang memilih pendapat mengharuskan solat Tarawih lebih daripada sebelas rakaat. Lebih-lebih lagi ulama mujtahid daripada kalangan ulama mazhab fekah yang empat. Kita yakin bahawa mereka sama sekali tidak akan menganggap baik suatu bidaah kerana ingin berlebih-lebihan dalam beribadah.

Jalan Selamat Adalah dengan Mengikut Sunnah
Walau apa pun yang dikatakan tentang keharusan solat Tarawih lebih daripada sebelas rakaat, seseorang muslim yang telah melihat nas-nas tentang solat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadhan secara khasnya tentu tidak akan teragak-agak untuk mengatakan bahawa angka bilangan rakaat yang dilakukan Baginda tentu lebih afdal daripada sebarang tambahan pada bilangan rakaat tersebut. Ini berdasarkan kepada kenyataan Baginda, “Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.” (Riwayat Muslim)

Sayyidina Omar Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu Menghidupkan Solat Tarawih Berjemaah dan Memerintahkan Ia dikerjakan Sebanyak Sebelas Rakaat
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum ini, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengimamkan Solat Tarawih berjemaah selama tiga malam dan Baginda berhenti melakukannya kerana khuatir Solat Tarawih akan bertukar menjadi wajib.
Maka akhirnya sesudah peristiwa itu, para Sahabat kembali mengerjakan solat Tarawih berjemaah dalam kumpulan-kumpulan yang kecil. Hal ini berterusan sehingga kewafatan Baginda dan berlanjutan pada zaman Khalifah Abu Bakar sehingga ke permulaan zaman Khalifah Omar Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Khalifah Omar Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu akhirnya mengumpulkan jemaah masjid untuk solat di belakang seorang imam. Perkara ini diceritakan oleh Abdul Rahman bin Abdul Qari yang berkata:
“Aku keluar bersama Omar bin Al-Khattab pada suatu malam di Bulan Ramadhan ke masjid. Ternyata jemaah masjid solat secara berasingan. Ada yang solat bersendirian dan ada yang solat dalam jemaah yang kecil. Kata Omar, “Demi Allah, aku melihat kalau mereka dikumpulkan di belakang seorang imam itu lebih baik.” Akhirnya beliau mengumpulkan jemaah masjid solat di belakang Ubai bin Kaab.
Kemudian pada malam yang lain aku keluar bersama beliau dan mendapati jemaah masjid solat di belakang imam mereka (Ubai bin Kaab). Melihatnya Omar berkata, “Ini adalah sebaik-baik bidaah, dan mereka yang tidur dan tidak mengerjakannya (di awal malam sebaliknya mengerjakannya di akhir malam) lebih baik daripada mereka yang mengerjakannya, kerana masyarakat (ketika itu) mengerjakannya di awal malam.” (Riwayat Bukhari)

Omar Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu Memerintahkan Supaya dikerjakan Sebelas Rakaat
Hal ini disebutkan oleh Imam Malik bin Anas dalam kitabnya Al-Muwatta (no. 248) bahawa, “Omar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan supaya Ubai bin Kaab dan Tamim Al-Dari mengimamkan solat jemaah dengan sebanyak sebelas rakaat; dan imam akan membaca dua ratus ayat sehingga kami terpaksa bersandar di atas tongkat kerana lama berdiri; dan tidaklah kami selesai melainkan ketika sudah hampir fajar.” (Sanadnya dihukum sahih oleh Imam Al-Albani dalam Kitab Solat Tarawih, hlm. 53)

Tidak Sabit bahawa Omar Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu Mengerjakan Sebanyak Dua Puluh Rakaat Kerana Lemahnya Riwayat-Riwayat yang Menyebut Tentangnya
Seperti mana yang dijelaskan sebelum ini dalam riwayat yang sanadnya sahih bahawa Omar Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu telah memerintahkan supaya Solat Tarawih dikerjakan sebanyak sebelas rakaat.
Riwayat ini tidak boleh disanggah dengan apa yang diriwayatkan oleh Abdul Razzak dalam kitabnya Al-Musannaf dengan jalur sanad yang berbeza iaitu dengan lafaz “dua pulu satu (rakaat)”. Ini kerana riwayat dengan lafaz ini jelas salah daripada dua sudut iaitu:
Pertama: Ia menyalahi riwayat perawi yang thiqah yang meriwayatnya dengan lafaz “sebelas rakaat”.
Kedua: Abdul Razak bersendirian dalam meriwayatnya dengan lafaz ini. Walaupun beliau secara amnya seorang perawai yang thiqah lagi hafis yang mengarang kitab yang masyhur. Tetapi beliau di akhir umurnya menjadi buta dan daya ingatanya bertukar seperti mana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Al-Taqriib.
Dalam perkara ini terdapat juga beberapa riwayat yang lain tentang jumlah rakaat Solat Tarawih yang dikerjakan pada zaman Khalifah Omar. Ada riwayat yang mengatakan dua puluh dan ada yang mengatakan sehingga dua puluh tiga rakaat tetapi kesemuanya daif seperti mana yang dijelaskan oleh Imam Albani dalam kitabnya Solat Tarawih.
Di samping Omar Al-Khattab, terdapat juga riwayat-riwayat daripada Ali bin Abi Talib, Ubai bin Kaab dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhum bahawasanya mereka solat Tarawih sekitar dua puluh hingga dua puluh tiga rakaat tetapi kesemuanya juga daif.
Wallahu a’lam.
وَصلَّى الله عَلى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم
Kajang, 28 Sya’ban 1434, 07.07.2013
-  http://www.1aqidah.net/v2/artikel-fiqh-sunnah-solat-tarawih-dan-qiyam/#sthash.RBuXXyxd.dpuf



LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...