Manhaj Salaf - Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد .Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du.
Thursday, June 6, 2013
Wednesday, June 5, 2013
AMALAN DI BULAN REJAB
Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.
Rajab di Antara Bulan Haram
Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan
bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا
عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah
dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan
bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan
bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya
akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang
lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah
cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun
menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.
Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan
perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari
sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu
Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ
خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ
وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah
menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya
ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah,
Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak
antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1)
Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.
Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan
haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan
haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai
pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan
perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya
bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan
amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir
surat At Taubah ayat 36)
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk
melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan
puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram,
aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat
bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan
maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang
dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif,
207)
Bulan Haram Mana yang Lebih
Utama?
Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di
antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan
bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh
sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah)
dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa
yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al
Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang
lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah
pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if
Al Ma’arif (hal. 203).
Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan
Rajab
Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah
banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama
berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam
ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram
(termasuk bulan Rajab). Para
ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah
dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut
sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat
pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor
pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang
dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)
Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di
zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada
tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena
dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum
‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama
berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal
ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
“Tidak ada lagi faro’ dan ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim
no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara
dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi
‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang
Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan
penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan
pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan
juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.”
Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.
‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya
sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied
(perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan
kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada
sebuah riwayat,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai
pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy
dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam)
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,
“Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari
sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied
yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya
dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain
hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti
telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if
Al Ma’arif, 213)
Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah
shalat dan puasa.
Mengkhususkan Shalat Tertentu dan
Shalat Roghoib di bulan Rajab
Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada
bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada
bulan tersebut.
Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan
shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab
antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat
Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan
puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap
raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al
Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk
membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70
kali.
Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits
yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih
di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun
hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits
maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat
(kitab hadits-hadits palsu).
Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan,
“Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu
ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib
dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu
panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu
mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan
shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama,
begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya
aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat
tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat
ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir
shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy,
2/125-126)
Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di
Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah
melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat
yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat
ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu
‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada
mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al
Hawliyah, 242)
Mengkhususkan Berpuasa di Bulan
Rajab
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun
mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau
beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah
dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits
yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam
setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari
bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka
sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if)
bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini
sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah
hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa
mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan
sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan
oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang
untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,
لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ
“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini
(bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih.
Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani
dalam Irwa’ul Gholil)
Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah,
Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat
bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab
saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)
Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak
berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan,
“Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan
penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits
‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau
menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif,
215)
Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu
terlarang jika memenuhi tiga point berikut:
- Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
- Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
- Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)
Perayaan Isro’ Mi’roj
Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu
kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan
Rajab?
Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih
pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan
Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada
dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu
atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan
sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa
menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di
bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat
tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang
menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula
yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan
bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”
Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan
bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil
(pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu
kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)
Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’
Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak
dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’
memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr.
Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik
tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan
mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti
dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun
melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu
idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan
Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi),
perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8
Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang
dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror (ketupat
lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf
(sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah
melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak
ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’
Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)
Catatan penting:
Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah
riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,
“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa
ballignaa Romadhon [Ya
Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan perjumpakanlah kami
dengan bulan Ramadhan]“.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya,
Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa
hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya
ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul
hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits
ini termasuk hadits
dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif
Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih
(1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.
Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di
bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut.
Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga
Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi
wa sallim.
Selesai disusun di Wisma MTI, 5 Rajab 1430 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Dari artikel 'Amalan di Bulan Rajab — Muslim.Or.Id'
BERBUAT BAIK TETAPI TIDAK BAIK
-->
Subscribe to:
Posts (Atom)