Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan akan datangnya fitnah yang bergelombang yang silih berganti menghampiri orang yang beriman, beliau memerintahkan agar senantiasa istiqamah, beliau bersabda,
وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا وَسَيُصِيبُ آخِرَهَا بَلَاءٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا وَتَجِيءُ فِتْنَةٌ فَيُرَقِّقُ بَعْضُهَا بَعْضًا وَتَجِيءُ الْفِتْنَةُ فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ هَذِهِ مُهْلِكَتِي ثُمَّ تَنْكَشِفُ وَتَجِيءُ الْفِتْنَةُ فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ هَذِهِ هَذِهِ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Dan sesungguhnya umat ini dijadikan keselamatannya pada generasi awalnya, dan generasi akhirnya akan ditimpa bala’ dan perkara-perkara yang kamu ingkari, dan datanglah fitnah yang menjadikan fitnah sebelumnya ringan dibandingkan fitnah setelahnya. Datanglah fitnah lalu si mukmin berkata, “Inilah yang akan membinasakanku”. Kemudian fitnah itu pergi, lalu datang lagi fitnah, si mukmin berkata, “Inilah yang akan membinasakanku…”. Barang siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga, hendaklah ia mendatangi kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhirat…” (HR. Muslim)[1]
Ketika kematian datang dan seseorang dalam keadaan beriman kepada Allah Ta’ala yaitu istiqamah di atas jalan yang lurus yang telah Allah pancangkan untuk hamba-Nya, dan menggigitnya dengan gigi geraham sampai ia bertemu dengan Allah Rabbul ‘alamin. Dan tidak mungkin seorang hamba dapat bertemu dengan Allah dalam keadaan beriman kecuali dengan istiqamah, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلآتَخَافُوا وَلاَتَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: “Rabb kami Adalah Allah”. Kemudian beristiqamah, maka Malaikat akan turun kepada mereka (ketika matinya): “Jangan kamu merasa takut dan jangan kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushilat : 30)
Istiqamah di akhir zaman amatlah berat disebabkan fitnah yang dahsyat sampai-sampai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa orang yang bersabar memegang agamanya di zaman fitnah bagaikan memegang bara api yang panas. Oleh karena itu, seorang hamba yang menginginkan keselamatan hendaklah berusaha mencari jalan agar senantiasa dapat sabar beristiqamah di atas sunah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Jalan Menuju Istiqamah
Kerinduan seorang hamba kepada Rabbnya menimbulkan kekuatan untuk terus meniti jalan menuju Allah, tak peduli dengan aral yang melintang tidak pula jalan yang terjal, dan hendaklah ia mengetahui sebab-sebab agar dapat beristiqamah sehingga ia dapat meraih husnul khatimah, diantara sebab-sebab istiqamah adalah:
a. Ikhlash
Seorang hamba bila hanya mengharapkan keridhaan Allah dan pahala-Nya akan diberikan kekuatan untuk meniti jalan-Nya. Biarlah manusia murka dan mencela, baginya semua itu ringan dibandingkan dengan kemurkaan Allah dan adzab-Nya. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرْضَى اللهَ بِسَخَطِ النَّاسِ ، كَفَاهُ اللهُ النَّاسَ ، وَ مَنْ أَسْخَطَ اللهَ بِرِضَى النَّاسِ ، وَكَلَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ
“Barang siapa yang mencari keridhaan Allah walaupun manusia murka kepadanya, Allah akan mencukupinya dari manusia. Dan barang siapa yang membuat Allah murka karena mencari keridhaan manusia, maka Allah akan menyerahkan ia kepada manusia (tidak akan ditolong oleh Allah).” (HR. Abdu bin Humaid)[2]
Hati yang tidak ikhlas akan membawa pemiliknya kepada kebinasaan, walaupun secara lahiriyah ia terlihat baik dan beramal shalih, namun ketika di hatinya ada kotoran riya dan mengharapkan sedikit dari kesenangan dunia, ia akan segera roboh di tengah jalan kecuali bila Allah merahmatinya. Demikian juga sangat dikhawatirkan bila ketidakikhlasannya tersebut menyebabkan ia mati dalam keadaan su’ul khatimah, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا
“Sesungguhnya seseorang darimu ada yang beramal dengan amalan ahli surga sehingga jaraknya dengan surga tinggal sehasta, tetapi takdir menentukan lain, ia beramal dengan amalan ahli neraka lalu iapun masuk ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).[3]
Dan dalam riwayat lain dengan lafadz,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
“Sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan ahli surga sebatas yang tampak kepada manusia dan ia termasuk ahli neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Al Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ‘Sebatas yang tampak kepada manusia’ memberikan isyarat bahwa batin orang tersebut berbeda dengan lahiriyahnya, dan su’ul khatimah terjadi disebabkan oleh adanya keburukan yang tersembunyi yang tidak diketahui oleh manusia, sehingga perangai buruk yang tersembunyi tersebut menyeret ia kepada pengakhiran yang buruk ketika datang kematian.”[4]
Wahai Dzat yang membolak balikkan hati, kuatkan hati kami untuk senantiasa ikhlas dan istiqamah di atas agama-Mu.
b. Mutaba’ah
Mutaba’ah artinya meniti jalan sunah dan menapaki jejak kaki Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak disebut istiqamah kecuali bila sesuai dengan sunah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena orang yang berbuat bid’ah telah menyimpang dari jalan istiqamah. Bagaimana akan disebut istiqamah sementara ia menapaki selain jejak kaki Rasulullah ?! Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
“Aku tinggalkan kamu di atas putih bersih malamnya bagaikan siangnya, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali akan binasa.” (HR. Ibnu majah dan lainnya)[5]
Sesungguhnya mutaba’ah memberikan kekuatan yang dahsyat untuk dapat beristiqamah di jalan Allah selama ia ikhlas, bahkan Dajjal pun tak kuasa membinasakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis,
يَأْتِي الدَّجَّالُ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْهِ أَنْ يَدْخُلَ نِقَابَ الْمَدِينَةِ فَيَنْزِلُ بَعْضَ السِّبَاخِ الَّتِي تَلِي الْمَدِينَةَ فَيَخْرُجُ إِلَيْهِ يَوْمَئِذٍ رَجُلٌ وَهُوَ خَيْرُ النَّاسِ أَوْ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنَّكَ الدَّجَّالُ الَّذِي حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثَهُ فَيَقُولُ الدَّجَّالُ أَرَأَيْتُمْ إِنْ قَتَلْتُ هَذَا ثُمَّ أَحْيَيْتُهُ هَلْ تَشُكُّونَ فِي الْأَمْرِ فَيَقُولُونَ لَا فَيَقْتُلُهُ ثُمَّ يُحْيِيهِ فَيَقُولُ وَاللَّهِ مَا كُنْتُ فِيكَ أَشَدَّ بَصِيرَةً مِنِّي الْيَوْمَ فَيُرِيدُ الدَّجَّالُ أَنْ يَقْتُلَهُ فَلَا يُسَلَّطُ عَلَيْهِ
“Dajjal datang dan ia diharamkan untuk memasuki lorong-lorong menuju kota Madinah, maka ia singgah di sebuah tanah tandus sebelah kota Madinah. Lalu keluar menemuinya seorang laki-laki, ia adalah sebaik-baik manusia atau di antara manusia yang paling baik. Laki-laki itu berkata, ‘Aku bersaksi bahwa engkau adalah Dajjal yang dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya’. Dajjal berkata kepada (pengikutnya), ‘Bagaimana jika aku membunuh orang ini kemudian aku hidupkan kembali, apakah kalian meragukan ketuhananku?’ Mereka berkata, ‘Tidak’. Lalu Dajjal membunuhnya kemudian menghidupkannya kembali. Orang itu berkata, ‘Demi Allah, Aku semakin yakin di hari ini (bahwa engkau adalah Dajjal)’, maka Dajjal berusaha membunuhnya namun ia tidak mampu.” (HR. Bukhari dan Muslim)[6]
laki-laki itu memiliki ilmu tentang hadis Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengannya setegar karang yang tak bergeming diterpa ombak lautan. Sebaliknya orang yang menyimpang dari sunah tak dapat beristiqamah di atas sunah dan dikhawatirkan akan menjadi pengikut Dajjal sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah hadis,
يَنْشَأُ نَشْءٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ كُلَّمَا خَرَجَ قَرْنٌ قُطِعَ قَالَ ابْنُ عُمَرَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلَّمَا خَرَجَ قَرْنٌ قُطِعَ أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَرَّةً حَتَّى يَخْرُجَ فِي عِرَاضِهِمْ الدَّجَّالُ
“Akan muncul kelompok (khawarij) yang membaca Alquran namun tidak sampai ke kerongkongan mereka, setiap kali muncul di sebuah generasi akan ditumpas.” Ibnu Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap kali muncul di sebuah generasi akan ditumpas.” Lebih dari dua puluh kali hingga keluar Dajjal bersama mereka.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya).[7]
c. Mencari Teman yang Shalih
Agama seseorang dapat dinilai dari teman dekatnya sebagaimana dalam hadis Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu di atas agama temannya, maka hendaklah ia melihat dengan siapa ia berteman.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)
Teman yang shalih adalah keberuntungan yang baik bagi seorang hamba, karena ia dapat mengambil kebaikan darinya atau setidaknya ia mendapatkan wanginya. Dikala kesusahan mengganjal hatinya, ia terhibur dengan untaian nasihatnya, lebih-lebih bila teman yang shalih itu adalah seorang ahli ilmu yang bermanfaat ilmunya. Ibnu Qayyim rahimahullah bercerita, “Apabila kami merasa sangat takut, dugaan-dugaan menjadi buruk, dan bumi menjadi terasa sempit, kami mendatangi beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) maka sebatas kami mendengar ucapannya hilanglah semua perasaan tadi dan dada kami berubah menjadi lapang dan bertambah kekuatan, keyakinan, dan ketenangan.
Maha suci Allah yang mempersaksikan surga kepada hamba-Nya sebelum ia bertemu dengan-Nya, dan membukakan untuk mereka pintu-pintunya di negeri amal (dunia), maka datanglah kepada mereka angin surga dan wewangiannya yang memberikan kekuatan untuk berlomba-lomba meraihnya.”[8]
Sebaliknya teman yang buruk adalah musibah yang dapat merosak agama seorang hamba, di kala berada di jalan kebenaran, ia dihalang-halangi dan dilemahkannya, dan bila berada di jalan kebatilan ditiupkan padanya buhul-buhul pengikat, sehingga ia terhalang dari cahaya hidayah yang akan menerangi hatinya.
Bukankah Abu Thalib paman Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mati di atas kekafiran akibat teman-temannya yang buruk, Nabi berusaha mengajaknya kepada Islam seraya bersabda, “Wahai paman, ucapkan laa ilaaha illallah dengan kalimat itu aku akan membelamu di hari kiamat.” Sementara Abu Jahal dan Abu Lahab menghalang-halanginya dan berkata, “Apakah engkau membenci millah (ajaran) Abdul Muthallib?” Ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir di atas millah kaumnya yang sesat. Laa haula wala quwwata illa billah.
Sungguh benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Permisalan teman yang shalih dan teman yang buruk seperti penjual minyak wangi dan peniup ubupan. Adapun penjual minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu atau engkau membeli darinya atau engkau mendapatkan wangi yang harum darinya. Sedangkan peniup ubupan akan membakar bajumu atau mendapatkan darinya bau yang tidak enak.” (HR. Bukhari dan Muslim).[9]
Teman yang shalih sangat kita butuhkan di zaman fitnah ini, maka jangan kita terpedaya dengan julukan eklusif atau semacamnya, karena keselamatan agama adalah segalanya, dan bersabarlah ketika kita bergaul dengan orang shalih karena mereka adalah manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan, dan orang yang berjiwa besar adalah yang dapat menerima kekurangan orang lain dan memperbaiki kekurangan dirinya.
d. Meninggalkan Dosa
Dosa memberikan noda-noda hitam di hati manusia, sehingga apabila noda hitam itu telah memenuhi hati ia akan menjadi gelap gulita, tak dapat mengenal yang ma’ruf tidak juga mengingkari yang mungkar, disebutkan dalam hadis:
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتْ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
“Fitnah akan ditampakkan kepada hati seperti tikar seutas demi seutas, hati mana saja yang menerimanya akan diberikan titik hitam dan hati mana saja mengingkarinya akan diberi titik putih, sehingga menjadi dua hati: Hati yang putih bagaikan batu shofa, tidak terpengaruh oleh fitnah selama langit dan bumi masih ada. Dan hati yang hitam seperti cangkir yang terbalik; tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya.” (HR. Muslim)[10]
Dosa melemahkan pengagungan seseorang terhadap Allah di hatinya dan menghilangkan rasa takut dari adzab-Nya. Engkau lihat orang yang banyak berbuat maksiat lisannya terasa berat untuk menyebut nama Allah, ia ganti dengan nama “Tuhan” atau “Yang di atas” atau yang semacamnya. Ia tidak memandang adzab sebagai peringatan namun hanya sebatas fenomena alam dan bencana biasa akibat alam yang tidak ramah katanya.
Orang yang keadaannya demikian akankah mampu beristiqamah di jalan Allah?! Selamanya tidak, karena dosa sudah dianggapnya remeh dan tidak lagi merasakan sakitnya maksiat akibat hati yang telah gelap dan mati, dan mayat tak akan merasakan lagi sakitnya tusukan pedang dan tombak.
e. Shalat Malam
Shalat malam adalah nutrisi kekuatan hati yang memunculkan ketegaran di kala ujian silih berganti, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdakwah di kota Mekah menghadapi berbagai macam permusuhan dan siksa dari kaumnya, Allah memerintahkan beliau berdiri bermunajat di waktu malam untuk mengokohkan hati dalam memikul beban risalah. Allah Ta’ala berfirman,
يَآأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ {1} قُمِ الَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً {2} نِّصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً {3} أَوْزِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلاً {4} إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً {5} إِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلاً {6}
“Wahai orang yang berselimut. Bangunlah di waktu malam kecuali sedikit. Setengahnya atau kurangi lagi sedikit. Atau tambahkan dan bacalah Alquran secara tartil. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan pada waktu itu lebih berkesan.” (QS. Al Muzammil: 1-6).
Ketika fitnah turun dan melanda manusia, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya segera bertaqarrub kepada Allah di waktu malam. Ummu Salamah berkata,
اسْتَيْقَظَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَزِعًا يَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ الْخَزَائِنِ وَمَاذَا أُنْزِلَ مِنْ الْفِتَنِ مَنْ يُوقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُرَاتِ يُرِيدُ أَزْوَاجَهُ لِكَيْ يُصَلِّينَ رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي الْآخِرَةِ
“Suatu malam Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bangun tiba-tiba dan bersabda: “Subhanallah ! Perbendaharaan apa yang Allah turunkan dan fitnah apa yang diturunkan, siapakah yang mau membangunkan para pemilik kamar –maksudnya istri-istrinya agar bangun shalat- berapa banyak wanita yang memakai pakaian di dunia namun telanjang di akhirat.” (HR. Bukhari)[11]
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadis ini menunjukkan anjuran untuk ber-tadharru’ (beribadah) ketika turunnya fitnah terlebih di waktu malam..”[12]
f. Do’a
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam selalu memohon kepada Allah agar hatinya diberi kekuatan untuk tetap tegar di atas agama-Nya. Anas radhiallahu ‘anhu berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا قَالَ نَعَمْ إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seringkali mengucapkan, “Wahai (Dzat) Yang membolak balikkan hati, kuatkanlah hatiku di atas agamamu.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan apa yang engkau bawa, apakah engkau mengkhawatirkan kami?” Beliau menjawab, “Iya, sesungguhnya hati itu berada di antara dua jari-jemari Allah yang Dia bolak-balikkan sesuai dengan kehendak-Nya.” (HR. At Tirmidzi dan lainnya)[13]
Terlebih di zaman yang penuh fitnah, kita amat butuh kepada pertolongan Allah agar dapat tegar berpegang kepada agama-Nya, bukankah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan akan datangnya fitnah yang gelap bagaikan malam yang kelam yang menjadikan seseorang tidak dapat istiqamah, beliau bersabda,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
“Bersegeralah beramal sebelum datangnya fitnah yang bagaikan malam yang gelap gulita, seseorang beriman di waktu pagi dan menjadi kafir di waktu sore, beriman di waktu sore dan menjadi kafir di waktu pagi, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)[14]
Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah agar diwafatkan dalam keadaan selamat dari fitnah, beliau berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ وَإِذَا أَرَدْتَ بِعِبَادِكَ فِتْنَةً فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مَفْتُونٍ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu untuk selalu berbuat kebaikan, meninggalkan kemungkaran dan mencintai orang-orang miskin, dan apabila Engkau menginginkan fitnah kepada hamba-hambaMu, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terfitnah.” (HR. At Tirmidzi dan lainnya)[15]
g. Dzikir
Iblis dan bala tentaranya berusaha menggoda manusia dari jalan yang lurus, segala macam cara ia tempuh untuk menyesatkan manusia. Ia selalu memata-matai hati anak Adam dan mempergunakan kelengahannya. Akan tetapi Allah telah memberikan senjata untuk manusia dalam menghadapi setan dari kalangan jin yaitu dengan banyak berdzikir dan mengingat Allah Ta’ala. Ibnu Abbas berkata, “Setan selalu memperhatikan hati anak Adam, bila ia lengah dan lalai setan datang memberikan waswas, dan bila ia berdzikir kepada Allah setan akan bersembunyi.”[16]
Dengan banyak berdzikir seorang mukmin akan terlindung dari kemunafikan, karena Allah menyebutkan di dalam Alquran bahwa di antara sifat orang munafiq adalah sedikit sekali berdzikir kepada Allah,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَاقَامُوا إِلَى الصَّلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَآءُونَ النَّاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka, apabila berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malasnya, mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka berdzikir kepada Allah kecuali sedikit saja.” (QS. An Nisaa: 142)
Ka’ab bin Malik berkata, “Barangsiapa yang banyak berdzikir kepada Allah ia akan terbebas dari nifaq (kemunafikan).”[17] Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Banyak berdzikir adalah keamanan dari nifaq, dan Allah memuliakan hati yang banyak berdzikir dengan dibebaskan dari penyakit nifaq, karena penyakit itu hanya ditimpakan kepada hati yang lalai dari dzikir kepada Allah.”[18]
Dzikir memberi kekuatan kepada hati seseorang untuk senantiasa istiqamah, karena orang yang selalu ingat kepada Allah, ia akan aman untuk dilupakan oleh Allah dan bila hamba dilupakan oleh Allah ia akan sengsara di dunia dan akhirat. Akibat melupakan Allah seorang hamba akan melupakan dirinya sendiri sehingga tidak peduli kepada keselamatan dirinya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَتَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS. Al Hasyr: 19).
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila hamba melupakan dirinya sendiri, ia akan melalaikan kemashlahatan untuk dirinya maka ia binasa dan pasti akan rusak, seperti orang yang mempunyai ladang atau taman atau binatang ternak dan sebagainya yang akan senantiasa baik bila ia memperhatikan dan mengurusnya, namun bila ia melalaikannya dan sibuk dengan urusan lain pasti akan rusak dan binasa.”[19]
h. Membaca Perjalanan Hidup Orang-Orang yang Shalih
Bila kita membaca sejarah kehidupan mereka; bagaimana kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai macam cobaan dan rintangan, kita akan merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Karena cobaan yang menimpa seseorang disesuaikan dengan keteguhannya dalam memegang agama Allah. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً قَالَ الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ
“Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya? Beliau bersabda, “Para Nabi kemudian setelahnya kemudian setelahnya, seorang hamba diuji sesuai dengan kekuatan agamanya. Jika agamanya kokoh maka ujiannya semakin berat, dan jika agamanya tipis maka ia diuji sesuai dengan kekuatan agamanya, dan ujian akan senantiasa menerpa hamba sampai Allah biarkan ia berjalan di atas bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Ibnu Majah).[20]
Dengan membaca kisah-kisah mereka hati kita terhibur dan menjadi kuat untuk tetap istiqamah. Lebih-lebih untuk kita yang hidup di zaman yang dipenuhi penyimpangan dari sunah dimana ketika kita mencoba berpegang kepada sunah, tegak kepada kita kiamat, berbagai macam celaan dan tuduhan dilemparkan bahkan sebagian ikhwah diusir dari keluarganya, seorang akhwat diceraikan oleh suaminya, seorang anak tidak diakui lagi oleh kedua orang tuanya, dan kisah-kisah ujian yang lainnya.
Ini tidak aneh, karena Nabi yang paling mulia yang mempunyai akhlak yang sangat agung saja diberikan cobaan yang amat berat dalam menyampaikan risalah Rabbnya, demikian pula para ulama setelah itu, dengarkanlah sebuah kisah yang diceritakan oleh Imam Asy Syathibi (790 H) tentang dirinya, ia berkata,
“…Aku memulai memperdalam ushuluddin (pokok-pokok agama) baik amaliyah maupun keyakinan, kemudian memperdalam cabang-cabang yang di bangun di atas pokok-pokok tadi. Dari sana menjadi jelas kepadaku mana yang sunah dan mana yang bid’ah, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, kemudian aku menguatkan diriku untuk berjalan bersama Al Jama’ah yang dinamai oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan nama As Sawadul A’dzam, dan meninggalkan bid’ah yang telah dinyatakan oleh para ulama sebagai sesuatu yang bid’ah dan menyimpang.
Waktu itu aku ikut serta dalam sebagian khutbah, menjadi imam dan lain sebagainya, dan ketika aku ingin istiqamah di atas sunah, ternyata aku dapati diriku terasing di tengah-tengah kebanyakan manusia, karena agama mereka telah dikuasai oleh adat-istiadat dan telah dimasuki kotoran-kotoran bid’ah…
Aku pun menimbang-nimbang antara mengikuti sunah namun menyalahi adat istiadat manusia, dan pastilah aku akan menghadapi ujian yang amat berat walaupun pahalanya besar. Dan antara mengikuti mereka namun menyalahi sunah dan jalan salafusshalih, akibatnya aku termasuk orang-orang yang sesat –aku berlindung kepada Allah dari itu-.
Namun aku yakin bahwa keselamatan adalah dengan mengikuti sunah dan bahwa manusia tidak dapat menolongku sedikit pun dari adzab Allah, aku mencoba memulai mengamalkan sunah secara perlahan-lahan, maka tegaklah kiamat kepadaku, dan cercaan bertubi-tubi menghampiriku, aku dituduh sesat dan berbuat bid’ah dan dianggap pandir dan bodoh…
Terkadang aku dituduh mengatakan bahwa berdoa itu tidak ada manfaatnya karena aku tidak mau ikut berdoa secara berjamaah di setiap selesai shalat.. terkadang aku dituduh sebagai Syiah Rafidhah karena aku tidak mengkhususkan doa untuk Khulafa’ Rasyidin ketika khutbah Jumat, padahal perbuatan tersebut tidak pernah dilakukan oleh salafushalih, tidak pula oleh ulama yang mu’tabar.. terkadang aku dianggap memusuhi para wali Allah karena aku tidak menyukai kaum sufi yang berbuat bid’ah dan menyimpang dari sunah..
Keadaanku menyerupai keadaan seorang imam yang terkenal yang bernama Abdurrahman bin Bathah di tengah masyarakat di zamannya, beliau bercerita tentang dirinya:
“Aku merasa heran terhadap keadaanku bersama karib kerabatku baik yang dekat maupun yang jauh, yang mengenalku maupun yang tidak mengenalku, aku mendapati di Mekah, Khurasan, dan tempat lainnya orang-orang menyeru kepada pendapatnya, jika aku membenarkan perkataannya ia menamaiku muwafiq, jika aku menyalahi sebagian perkataannya ia menamaiku mukhalif, jika aku membawakan dalil dari Alquran dan sunah yang menyalahi pendapatnya ia menamaiku khariji, jika aku bacakan hadis tentang tauhid ia menamaiku musyabbih, jika hadis itu berbicara tentang iman ia menamaiku murji’ah, jika tentang perbuatan hamba ia menamaiku qadari, jika tentang keutamaan ahlul bait ia menamaiku rafidhah, jika tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar ia menamaiku nashibi, jika aku menjawab dengan lahiriyah hadis ia menamaiku dzahiri..
Jika aku menyetujui sebagian mereka, maka sebagian lainnya marah dan murka kepadaku, dan jika aku mencari keridhaan mereka, maka Allah akan murka kepadaku dan mereka tidak bisa menolongku sedikit pun dari adzab Allah. Maka aku tetap berpegang kepada Alquran dan sunah dan memohon ampun kepada Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia dan Dia maha pengampun lagi maha penyayang.”[21]
i. Banyak Bertaubat dan Kembali kepada Allah
Bertaubat adalah pembersih kotoran dosa yang melekat di hati manusia, dan ia adalah salah satu obat yang dapat menjaga kesehatan hati, Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa cara menjaga kesehatan hati berkaitan erat dengan cara menjaga kesehatan badan, dan beliau menyebutkan bahwa menjaga kesehatan badan adalah dengan tiga cara, beliau berkata: “Poros kesehatan adalah dengan :
1. Menjaga stamina
2. Menjauhi penyakit dan
3. Mengeluarkan unsur yang rusak
Perhatian para dokter berporos kepada tiga pokok ini, dan Alquran telah menunjukkan kepadanya; adapun menjaga stamina, Allah Ta’ala mengizinkan musafir dan orang sakit untuk berbuka puasa Ramadan dan mengqadhanya ketika telah mukim dan sehat, ini dalam rangka menjaga kekuatan mereka karena puasa dapat menambah lemah bagi orang yang sakit, dan musafir membutuhkan kekuatan untuk menghadapi lelahnya perjalanan sedangkan puasa membuatnya lemah.
Adapun menjauhi penyakit, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan keringanan kepada orang yang sakit untuk tidak mempergunakan air dalam wudlu dan mandi jika air itu semakin menambah penyakitnya, dan memerintahkan untuk bertayammum dalam rangka menjaganya dari sesuatu yang dapat menambah penyakit badannya.
Adapun mengeluarkan unsur yang rusak, Allah mengizinkan bagi orang yang sedang ihram untuk mencukur rambut yang menyakitinya karena banyaknya kutu yang menyerang, dan ini cara yang paling mudah dalam mengeluarkan unsur yang rusak.
Jika engkau megetahui ini, hati pun membutuhkan sesuatu yang dapat menjaga staminanya yaitu iman dan ketaatan, dan harus dijaga dari sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan penyakitnya yaitu dosa, maksiat, dan berbagai macam bentuk penyimpangan. Dan harus dikeluarkan darinya unsur yang rusak yaitu dengan taubat nasuha dan memohon ampunan kepada Allah yang Maha mengampuni dosa.”[22]
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang fitnah yang bergelombang dimana fitnah itu akan ditampakkan kepada hati seperti tikar seutas demi seutas, hati mana saja yang menerimanya akan diberikan titik hitam dan hati mana saja mengingkarinya akan diberi titik putih, sehingga menjadi dua hati: Hati yang putih bagaikan batu shofa, tidak terpengaruh oleh fitnah selama langit dan bumi masih ada, dan hati yang hitam seperti cangkir yang terbalik; tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya.
Maka di zaman fitnah ini kita harus lebih banyak bertaubat dan istighfar untuk menghilangkan noda-noda hitam di hati akibat maksiat dan fitnah yang merasuki hati kita, tentunya taubat yang disertai penyesalan, bertekad untuk tidak melakukannya lagi dan meninggalkan maksiat tersebut selama hayat dikandung badan. Inilah jalan menuju istiqamah agar hamba meraih husnul khatimah.
Penulis: Ustadz Abu Yahya Badrussalam, Lc.
Artikel www.cintasunnah.com
Artikel www.cintasunnah.com
[1] Muslim 3:1473 no. 1844.
[2] Musnad Abdu bin Humaid no.1524, dan dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani dalam Silsilah Shahihah no.2311.
[3] Bukhari no.3332 dan Muslim 4:2036 no.2643.
[4] Ibnu Rajab, Jami’ul ‘ulum wal hikam 1:172-173. Tahqiq Syu’aib Al Arnauth.
[5] Dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah shahihah no 937.
[6] Bukhari no.1882 dan Muslim 4:2256 no.2938.
[7] Dihasankan oleh Syaikh Al AlBani dalam Silsilah Shahihah no.2455, dan hadis ini membantah sebuah pemahaman yang muncul di zaman ini bahwa Khawarij itu hanya ada pada masa Ali bin Abi Thalib saja.
[8] Lihat Shahih Al Wabil Ash Shayyib, Hal. 94-95.
[9] Bukhari no 5534 dan Muslim 4/2026 no 2628.
[10] Muslim 1/128 no 144.
[11] Bukhari, no.1126.
[12] Ibnu Hajar, Fathul Bari, 13:23.
[13] Dishahihkan oleh Syaikh Al AlBani dalam Silsilah Shahihah no.2091.
[14] Muslim 1:110 no 118.
[15] At Tirmidzi dalam Sunan-nya dari jalan Abdurrazaq dari Ma’mar dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, At Tirmidzi berkata, “Mereka menyebutkan bahwa antara Abu Qilabah dan Ibnu Abbas ada seorang perawi, diriwayatkan oleh Qatadah dari Abu Qilabah dari Khalid bin Lajlaj dari Ibnu Abbas. Penulis katakan, “Khalid bin Lajlaj atau Hushain bin Lajlaj adalah perawi yang majhul sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Taqrib, namun hadis ini mempunyai syahid dari hadis Mu’adz bin Jabal diriwayatkan juga oleh At Tirmidzi dari jalan Muhammad bin Basyar haddatsana Mu’adz bin Hani Abu Hani Al Yasykuri haddtsana Jahdlam bin Abdullah dari Yahya bin Abi Katsir dari Zaid bin Sallam dari Abu Sallam dari Abdurrahman bin ‘Aiyisy Al Hadhrami dari Malik bin Yakhamir As Saksaki dari Mu’adz bin Jabal. Penulis katakan, “Sanad ini hasan dan semua perawi hadis ini tsiqah kecuali Jahdham, ia seorang perawi yang shaduq, namun Yahya bin Abi Katsir meriwayatkan dengan ‘an sedangkan ia perawi mudallis, akan tetapi dalam Musnad Ahmad no.22162 ia menyatakan haddatsana sehingga tadlis-nya hilang.” Dan hadis ini bila digabungkan dengan sebelumnya menjadi shahih lighairihi. Wallahu a’lam.
[16] Tafsir Ibnu Katsir, 8:540 tahqiq Saami bin Muhammad Salamah.
[17] Shahih Al Wabil Ash Shayyib, Hal. 147.
[18] Shahih Al Wabil Ash Shayyib, Hal. 148.
[19] Shahih Al Wabil Ash Shayyib, Hal 89-90.
[20] Ibnu Majah dalam sunannya dari jalan Hammad bin Zaid dari ‘Ashim bin bahdalah dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi waqqash dari ayahnya. Penulis katakan, “Sanad hadis ini hasan semua perawinya tsiqah kecuali ‘Ashim ia shoduq lahu auham sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafidz”.
[21] Al I’tisham, 1:32-38 secara ringkas. Tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali.
[22] Ibnu Qayyim, ighatsaulahafan, Hal. 19-20, tahqiq Majdi Fathi Sayid.
Dipetik daripada sumber: http://cintasunnah.com/istiqomah/
No comments:
Post a Comment