Dzikrullah, merupakan amalan yang sangat dianjurkan oleh Allah Jalla
Jalaluhu dan RasulNya, dan diperintahkan untuk melakukannya
sebanyak-banyaknya, sebagaimana firmanNya, artinya: Hai orang-orang yang
beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang
sebanyak-banyaknya. [Al Ahzab : 41]
Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
"Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap kesempatannya". [HR Bukhari dan Muslim].
Dzikir dibagi menjadi dua. Pertama, dzikir mutlaq. Yaitu dzikir yang
tidak terkait dengan waktu, jumlah, tempat dan keadaan. Semua perbuatan
dan perkataan yang bisa mengingatkan seseorang kepada Allah Jalla
Jalaluhu, termasuk dalam dzikir jenis ini, seperti: membaca Al Qur’an,
menuntut ilmu, dan lainnya. Seseorang bisa melakukan dzikir kapan saja,
berapapun jumlahnya selama tidak bertentangan dengan hal-hal yang sudah
ditetapkan dalam agama. Kedua, dzikir muqayyad. Yaitu dzikir yang
terikat dengan tempat, seperti: dzikir di Arafah, di Multazam, ketika
masuk dan keluar masjid, kamar mandi dan lainnya. Atau terikat dengan
jumlah, waktu dan cara. Oleh karenanya, dalam pelaksanaannya juga
terikat dengan tata cara yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Di antara contoh dzikir yang terikat dengan jumlah,
waktu dan cara, misalnya sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam :
مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ
وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا
وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ
وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ
وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
"Barangsiapa yang mengucapkan “subhaanallah” setiap selesai shalat 33
kali, “alhamdulillah” 33 kali dan “Allahu Akbar” 33 kali; yang demikian
berjumlah 99 dan menggenapkannya menjadi seratus dengan “La ilaha
illallahu wahdahu la syarikalah, la hul mulku walahul hamdu wa huwa ‘la
kulli syai-in qadir” (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ
لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ),
akan diampuni kesalahannya, sekalipun seperti buih lautan" [HR Muslim
dari Abu Hurairah].
BAGAIMANA CARA RASULULLAH SHALALLLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MENGHITUNG
DZIKIR (SUBHAANALLAH, ALHAMDULILLAH DAN ALLAHU AKBAR) TERSEBUT?
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Dzaid, salah satu anggota Majelis Kibaar
Ulama di Saudi Arabia, ketika membahas masalah ini menyebutkan: Sudah
tsabit (jelas dan ada) petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, baik dalam bentuk perkataan, perbuatan dan keputusan (taqrir),
bahwa beliau menghitung dzikir dengan jari tangannya, tidak pernah
dengan yang lainnya. Demikian itulah yang diamalkan oleh para sahabat
dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan hingga hari ini.
Dan termasuk perbuatan yang secara turun-temurun dipraktikkan di
kalangan umat, sebagai wujud iqtida’ (percontohan) mereka kepada beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Inilah cara yang sesuai dengan ruh Islam,
yaitu menghendaki kemudahan dan bisa diamalkan oleh semua orang, kapan
saja dan di mana pun tempatnya.[1]
Syaikh Athiyah Muhammad Salim, salah seorang mudarris (guru) di Masjid
Nabawi, ketika membahas cara RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam
menghitung tasbih tersebut, mencontohkannya dengan menggunakan tangan
kanan dan menyatakan: Setiap jari tangan kita memiliki tiga ruas.
Apabila setiap ruas mendapatkan satu tasbih, tahmid dan takbir, kemudian
dikalikan lima, maka akan berjumlah lima belas dan diulangi lagi
sekali, sehingga menjadi tiga puluh, kemudian ditambah dengan satu jari
hingga berjumlah tigapuluh tiga kali. Dan ini, selaras dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda.
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ
تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ
صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ
وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ
يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى.
"Setiap pergelangan salah seorang dari kamu adalah shadaqah, setiap
tasbih shadaqah, setiap tahmid shadaqah, tahlil shadaqah, takbir
shadaqah, mengajak kepada kebaikan shadaqah dan mencegah dari
kemungkaran shadaqah dan semua itu cukup dengan dua raka’at dhuha". [HR
Bukhari dan Muslim].
Beliau (Syaikh Athiyah) tidak menyebutkan dalilnya harus dengan ruas
jari [2]. Yang pasti, menurut beliau, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menghitung dzikirnya dengan jari tangannya, sebagaimana
disebutkan oleh Abdullah bin Umar, beliau berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ.
"Saya melihat Rasulullah menghitung tasbih (dzikirnya); Ibnu Qudamah mengatakan dengan tangan kanannya". [3]
Saat sekarang ini, kita sering melihat -khususnya selesai shalat-, orang
menghitung dzikirnya dengan menggunakan alat tasbih, yaitu semacam
biji-bijian terbuat dari kayu, tulang atau lainnya yang dirangkai dengan
benang atau tali, yang jumlahnya biasanya seratus biji. Orang Arab
menyebutnya subhah, misbahah, tasaabih, nizaam, atau alat. Sementara
orang-orang sufi menyebutnya al mudzakkirah billah (pengingat kepada
Allah), raabitatul qulub (pengikat hati), hablul washl atau sauth asy
syaithan (cambuk syaitan). Karena dzikir merupakan bagian dari ibadah
atau dianggap sebagai ibadah, maka kita harus mengetahui hukumnya, agar
benar dalam mengamalkannya. Bagaimana hukum menggunakan alat-alat
tersebut?
Sebenarnya, sudah banyak ulama yang menulis dan membahas hukum
penggunaan alat tasbih untuk menghitung dzikir [4]. Menurut Syaikh Bakr
Abu Dzaid, dari ulama yang terdahulu ataupun yang sekarang
(kontemporer), yang pendapatnya bisa dijadikan sebagai hujjah,
menunjukkan kesimpulan, bahwa tidak ada satupun hadits yang shahih yang
membolehkan menggunakan selain jari tangan untuk menghitung dzikir.
Terhitung ada tiga hadits yang sering dijadikan dalil bolehnya
menggunakan alat tasbih untuk menghitung dzikir, diantaranya sebagai
berikut:
Pertama: Hadits Shafiyah binti Hayyi (isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang berbunyi:
عَنْ كِنَانَةَ مَوْلَى صَفِيَّةَ قَال سَمِعْتُ صَفِيَّةَ تَقُولُ دَخَلَ
عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ
يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا فَقَالَ لَقَدْ
سَبَّحْتِ بِهَذِهِ أَلَا أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ
فَقُلْتُ بَلَى عَلِّمْنِي فَقَالَ قُولِي سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ
خَلْقِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ
حَدِيثِ صَفِيَّةَ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ هَاشِمِ بْنِ
سَعِيدٍ الْكُوفِيِّ وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ بِمَعْرُوفٍ وَفِي الْبَاب عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ
"Dari Kinanah budak Shafiyah berkata, saya mendengar Shafiyah berkata:
Rasulullah pernah menemuiku dan di tanganku ada empat ribu nawat (bijian
korma) yang aku pakai untuk menghitung dzikirku. Aku berkata,”Aku telah
bertasbih dengan ini.” Rasulullah bersabda,”Maukah aku ajari engkau
(dengan) yang lebih baik dari pada yang engkau pakai bertasbih?” Saya
menjawab,”Ajarilah aku,” maka Rasulullah bersabda,”Ucapkanlah :
سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ. (Maha Suci Allah sejumlah apa yang diciptakan oleh Allah dari sesuatu).” [5]
Kedua : Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash:
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ
فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ
أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ
اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا
بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ
أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ
وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ سَعْدٍ.
"Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah menemui seorang wanita
dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang digunakan
untuk menghitung tasbih (dzikir). Rasulullah bersabda,”Maukah kuberitahu
engkau dengan yang lebih mudah dan lebih afdhal bagimu dari pada ini?
(Ucapkanlah): Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di langit, Maha Suci
Allah sejumlah ciptaanNya di bumi, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya
diantara keduanya, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya sejumlah yang Dia
menciptanya, dan ucapan: اللَّهُ أَكْبَرُ seperti itu, َالْحَمْدُ
لِلَّهِ seperti itu, dan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
seperti itu.” [6]
Ketiga : Hadits Abu Hurairah, ia berkata:
كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى
"Rasulullah bertasbih dengan menggunakan kerikil." [7]
Jawaban dan bantahan terhadap ketiga riwayat di atas:
Hadits Abu Hurairah sudah disepakati kepalsuannya, sehingga tidak bisa
dijadikan hujjah. Hadits Shafiyah dan riwayat Sa’id bin Abi Waqqash,
seandainya dianggap shahih sanadnya dan bisa diterima, tetapi apakah
kedua hadits tersebut menunjukkan bolehnya memakai tasbih untuk
menghitung dzikir?.
Pada hadits Shafiyah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mempertanyakan perbuatan Shafiyah yang mengumpulkan biji-bijian di
tangannya. Hal ini menunjukkan pengingkaran dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, karena ia melakukan perbuatan yang tidak biasa
dilakukan oleh orang lain. Itulah sebabnya, beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam mengajarkannya sesuatu yang lebih baik, yaitu lafadz tasbih
yang benar. Karena, jika tindakan Shafiyah yang mengumpulkan bijian itu
benar, mestinya tidak akan diingkari, bahkan ia akan dimotivasi untuk
melanjutkannya atau paling tidak dibiarkan tetap melakukannya. Dengan
demikian, sesungguhnya hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan
dalil bolehnya menggunakan tasbih atau kerikil untuk menghitung dzikir.
Adapun hadits Sa’ad bin Abi Waqqash yang menyebutkan beliau melihat
wanita yang memegang bijian untuk bertasbih, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menawarkan sesuatu yang lebih mudah, yang akan
dijarkan kepadanya dan lebih afdhal. Lafadz “afdhal” atau “aisar” (lebih
mudah), bukan berarti yang lainnya itu baik atau mudah juga. Ushlub
(metode) seperti ini sering dipakai dalam bahasa Arab, sebagaimana
firman Allah :
أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُّسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلاً
"Penghuni-penghuni surga pada hari itu lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat istirahatnya". [Al Furqon : 24].
Syaikh Abdurraman As Sa’di menyatakan,”Sesungguhnya, penggunaan isim
tafdhil (menunjukkan yang lebih baik) pada sesuatu yang tidak terdapat
pada yang kedua. Karena tidak ada kebaikan pada ahli neraka dan tempat
tinggalnya, dibandingkan dengan neraka.” [8]
Contoh lainnya, juga sebagaimana dalam firman Allah Jalla Jalaluhu.
ءَآاللهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ
"Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?" [An Naml : 59].
Apakah bisa disamakan kebaikan yang ada pada Allah, dengan yang ada pada sekutu-sekutuNya? Ini suatu kemustahilan.
BAGAIMANA SEJARAH MUNCULNYA ALAT TASBIH? DAN BAGAIMANA ALAT TERSEBUT
BISA MASUK KE DUNIA ISLAM, HINGGA KEMUDIAN MENJADI BAGIAN DARI RITUAL
IBADAH KAUM MUSLIMIN?
Alat tasbih memiliki sejarah yang sangat panjang [9]. Syaikh Bakr Abu
Dzaid menyebutkan, bahwa tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun
800M orang-orang Budha sudah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu
juga Al Barahimah di India, pendeta Kristen dan Rahib Yahudi. Dari
India inilah kemudian berkembang ke benua Asia. Beliau juga mengutip
sejarah tasbih yang dimuat di Al Mausu’at Al Arabiyah Al ‘Alamiyah,
23/157, ringkasannya sebagai berikut:
Orang-orang Katolik menggunakan limapuluh biji tasbih kecil yang dibagi
empat yang diberi pemisah dengan biji tasbih besar dengan jumlah yang
sama. Juga dijadikan sebagai kalung yang terdiri dari dua biji besar dan
tiga biji kecil, kemudian “matanya” dibuat dengan tanda salib. Mereka
membaca puji Tuhan dengan biji tasbih yang besar, dan membaca pujian
Maryamiyah dengan biji tasbih yang kecil.
Orang-orang Budha diyakini sebagai orang yang pertama menggunakan tasbih
untuk menyelaraskan antara perbuatan dan ucapannya ketika sedang
melakukan persembahyangan. Juga dilakukan oleh orang-orang Hindu di
India, dan dipraktikkan oleh orang-orang Kristen pada abad pertengahan.
Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad 15 M dan 16 M. Dalam
kitab Musaahamatul Hindi disebutkan, bahwa orang-orang Hindu terbiasa
menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya. Sehingga menghitung
dzikir dengan tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India)
yang bersekte Brahma. Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru
dunia.
Sudah disepakati oleh ahli sejarah, bahwa orang-orang Arab Jahiliyah
tidak mengenal istilah dan penggunaan tasbih dalam peribadatan mereka.
Itulah sebabnya, satu pun tidak ada syair jahiliyah yang menyebutkan
kalimat tasbih. Ia merupakan istilah yang mu’arrabah (diarabkan). Begitu
juga pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
sahabat. Mereka tidak mengenal istilah tasbih, apalagi menggunakannya.
Hal ini berlangsung sampai akhir masa tabi’in. Jika mendapatkan sebuah
hadits yang memuat lafadz “subhah” jangan sekali-kali membayangkan,
bahwa makna lafadz tersebut adalah alat tasbih, seperti yang dipakai
oleh orang sekarang ini. Karena, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berbicara dengan sahabat dan umatnya dengan bahasa yang mereka
pahami dan ketahui. Sedangkan tasbih -seperti yang beredar sekarang ini-
tidak dikenal oleh sahabat dan juga tabi’in.
Ketika pada akhir masa tabi’in ada orang yang menghitung dzikirnya
dengan kerikil atau biji korma (tanpa dirangkai), maka para sahabat,
seperti Abdullah bin Mas’ud mengingkari dan melarangnya dengan keras;
menganggapnya melakukan perbuatan bid’ah yang besar. Begitu pula yang
dilakukan oleh Ibrahim An Nakhai, seorang tabi’in senior, telah melarang
puterinya melakukan perbuatan seperti itu, sebagaimana sebelumnya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingkari Shafiyah dan
memberitahukannya perbuatan yang lebih baik dan afdhal
Banyak atsar sahabat dan tabi’in yang menunjukkan, bahwa mereka
mengingkari orang yang menggunakan bijian atau kerikil untuk menghitung
dzikirnya. Diantara atsar tersebut ialah:
- Atsar Aisyah, yaitu ketika melihat seorang wanita dari Bani Kulaib
yang menghitung dzikirnya dengan bijian. Aisyah berkata,”Mana jarimu?”
[10]
- Atsar Abdullah bin Mas’ud, dari Ibrahim berkata:
كَانَ عَبْدُ اللهِ يَكْرَهُ العَدَّ وَيَقُوْلُ أَيَمُنُّ عَلَى اللهِ حَسَنَاتِهِ
Abdullah bin Mas’ud membenci hitungan (dengan tasbih) dan
berkata,”Apakah mereka menyebut-nyebut kebaikannya di hadaan Allah?”
[11]
- Atsar dari Ash Shalat bin Bahram, berkata: Ibnu Mas’ud melihat seorang
wanita yang bertasbih dengan menggunakan subhah, kemudian beliau
memotong tasbihnya dan membuangnya. Beliau juga melewati seorang
laki-laki yang bertasbih menggunakan kerikil, kemudian memukulnya dengan
kakinya dan berkata,”Kamu telah mendahului (Rasulullah) dengan
melakukan bid’ah yang dzalim, dan kamu lebih tahu dari para sahabatnya.”
[12]
- Atsar dari Sayyar Abi Al Hakam, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud
menceritakan tentang orang-orang Kufah yang bertasbih dengan kerikil di
dalam masjid. Kemudian beliau mendatanginya dan menaruh kerikil di
kantong mereka, dan mereka dikeluarkan dari masjid. Beliau berkata,”Kamu
telah melakukan bid’ah yang zhalim dan telah melebihi ilmunya para
sahabat Nabi.” [13]
- Atsar dari Amru bin Yahya; dia menceritakan pengingkaran Abdullah bin
Mas’ud terhadap halaqah di masjid Kuffah yang orang-orangnya bertasbih,
bertahmid dan bertahlil dengan kerikil. [14]
Adapun yang membawa masuk alat tersebut ke dunia Islam dan yang pertama
kali memperkenalkannya ialah kelompok-kelompok thariqat atau tasawuf;
disebutkan oleh Sidi Gazalba sebagai hasil kombinasi pemikiran antara
Islam dengan Yahudi, Kristen, Manawi, Majusi, Hindu dan Budha serta
mistik Pytagoras [15]. Sehingga, sampai sekarang hampir semua
kelompok-kelompok thariqat dan pengikut tasawuf menjadikan alat tasbih
ini sebagai bagian dari ibadah mereka. Bahkan, tidak jarang pula
mengalungkan tasbih di leher, sebagaimana yang dilakukan oleh
orang-orang Hindu, Budha dan Pendeta Kristen; menjadikannya sebagai
wasilah (perantara) untuk mengobati orang sakit atau hajat lainnya
dengan membasuhnya dan meminum airnya, na’uzubillah. Dapat dipastikan,
bahwa kelompok-kelompok yang menjadikan thariqat atau tasawuf sebagai
landasan manhajnya, akan menjadikan alat tasbih ini sebagai syiar ibadah
mereka.
Ada juga orang yang menggunakannya dengan alasan karena dzikirnya
banyak, dan sering lupa atau keliru jumlahnya kalau tidak menggunakan
alat tasbih.
Seorang tokoh sufi Al Bannan dalam kitabnya Minhah Ahlul Futuhat Wal
Zauq menyebutkan, penggunaan jari tangan hanya dilakukan oleh
orang-orang yang dzikirnya sedikit, yaitu seratus atau yang kurang dari
itu. Adapun ahlu dzikir wal aurad (istilah untuk mereka yang “banyak
dzikirnya” di kalangan sufi dan tharikat), kalau mereka menggunakan
jarinya untuk menghitung dzikirnya yang banyak, pasti banyak salahnya
dan disibukkan dengan jarinya. Dan inilah hikmah penggunaan tasbih.
Subhanallah. Adakah ketentuan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dzikir muqayyad (terikat dengan waktu, tempat dan jumlah) yang
lebih dari seratus? Perintah Allah Jalla Jalaluhu seperti dalam Al
Qur’an, artinya: Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada
Allah dengan dzikir yang banyak. (Al Ahzab:35) dan lainnya, tidak
menentukan bentuk dan jumlah tertentu untuk berdzikir.
Jumlah dzikir seperti seratus atau yang kurang dari itu, merupakan
ta’abbudiyah (ketentuan dari Rasulullah) yang wajib dipatuhi oleh orang
yang mengaku sebagai pengikut Rasulullah. Ibnu Mas’ud menasihatkan,
bahwa sedikit dalam sunnah jauh lebih baik daripada banyak namun bid’ah.
Perlulah diingat, janganlah hanya dzikir (kebaikan) yang kita hitung,
namun kesalahan yang pernah dilakukan juga perlu dipikirkan, sebagaimana
nasihat Umar bin Khattab : Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab”.[16]
Artinya, yang harus dihisab (dihitung) ialah semua yang telah kita
lakukan, baik berupa kebaikan maupun kejelekan. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda.
اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Jauhilah yang diharamkan. Engkau akan menjadi orang yang paling baik" [17].
Orang yang melakukan perbuatan bid’ah sering berdalih, bahwa tidak semua
yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
sahabatnya dianggap bid’ah. Misalnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak memakai tasbih, bukan berarti itu tidak boleh
menggunakannya. Karena mungkin tasbih waktu itu belum ada, atau
menggunakan tasbih hanya sebuah sarana agar lebih khusyu’ dalam
berdzikir.
Untuk menjawab masalah ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi, salah satu
murid senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menulis bab
tersendiri dalam kitabnya Ushul Al Bida’ yang kesimpulannya, bahwa semua
ibadah yang tidak pernah disyari’atkan oleh Rasulullah, baik dengan
perkataannya dan tidak pernah beliau lakukan untuk mendekatkan diri
kepada Allah Jalla Jalaluhu adalah bertentangan dengan sunnah. Karena
sunnah itu ada yang fi’liyah (dilakukan) dan ada yang tarkiyah (yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah). Dengan demikian, ibadah yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk sunnah
yang harus ditinggalkan.
Ketika salah satu dari tiga orang sahabat berjanji untuk melakukan
shalat semalam suntuk dan tidak akan tidur, yang lainnya akan berpuasa
sepanjang masa dan tidak akan berbuka, dan yang terakhir tidak mau
menikah, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingkarinya
dan bersabda, "Demi Allah, sayalah (orang) yang paling takut diantara
kalian kepada Allah, dan paling bertaqwa kepadaNya; tetapi saya berpuasa
dan berbuka, shalat dan tidur dan menikahi wanita. Barangsiapa yang
benci kepada sunnahku, maka bukan termasuk golonganku." [HR Bukhari
Muslim dari Anas bin Malik].
Pada prinsipnya, tiga sahabat tadi melakukan perbuatan yang disunnahkan
oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti: berpuasa, iffah
(menjaga diri) dan shalat malam, namun dengan cara yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga beliau
mengingkarinya. Hadits di atas sekaligus membantah, bahwa niat yang
baik, kalau tidak sesuai dengan sunnah (praktik) Rasulullah, maka tidak
akan menjadi sebab suatu amal perbuatan itu diterima di sisi Allah. Ibnu
Rajab, dalam kitab Fadl Ilmu Salaf, hlm. 31 menyebutkan, apa yang telah
disepakati oleh Salaf untuk ditinggalkan, maka tidak boleh diamalkan;
karena mereka tidak meninggalkan sesuatu, kecuali atas dasar ilmu bila
sesuatu hal dimaksud tidak boleh diamalkan.
KESIMPULAN
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak
pernah menggunakan alat tasbih dalam menghitung dzikirnya; dan ini
merupakan sunnah yang harus diikuti. Seandainya menggunakan tasbih
merupakan kebaikan, niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para sahabat merupakan yang pertama sekali melakukannya.
Oleh sebab itu, orang yang paham dan berakal tidak akan menyelisihi
sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menghitung dzikir dengan
jari tangannya, menggantinya dengan hal-hal yang bid’ah, yaitu
menghitung dzikir dengan tasbih atau alat penghitung lainnya. Inilah
yang disepakati oleh seluruh ulama pengikut madzhab, seperti yang
disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [18]
Alangkah indah pesan Imam Asy Syafi’i rahimahullah ,”Kami akan mengikuti
sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam melakukan
suatu ibadah atau dalam meninggalkannya.” Abdullah bin Umar
menambahkan,”Semua bid’ah adalah sesat, meskipun manusia memandangnya
baik.” [19]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Dzaid, Tashih Ad Du’a, Riyad, Daar Al Ashimah, 1419, hlm. 136.
[2]. Penulis menghadiri kajiannya dan melihat langsung beliau
mempraktikkan hal tersebut. Hal ini, kata beliau, hanya sebuah ijtihad
saja, tidak harus begitu. Yang penting menghitungnya dengan jari tangan
kanan sebagaimana dalam hadits Rasulullah di atas.
[3]. HR Abu Dawud, Bab tasbih bil hasha, no. 1502.
[4]. Syaikh Bakar Abu Dzaid menyebutkan beberapa kitab yang membahas
masalah ini. Diantaranya, kitab: Al Minhah fi As Subhah; kitab Al Haawi,
II/ 139-144 karangan As Suyuthi; Nuzhatul Fikar fi Subhati Adz Dzikr
oleh Al Kanawi; Kamus Taajul Arus pada kalimat “sabaha”; Majmu’ Fatawa,
Syaikhul Islam, juz 22/506; Madaarij As Salikiin, Ibnu Qayyim Al
Jauziyah, III/ 120; As Silsilah Adh Dhaifah, Syaikh Al Albani, no. 83;
Nailul Authar, II/166, Majalah Al Azhar, Edisi 21 Tahun 1949M hlm.
62-63; Majalah Al Wa’i Al Islamy, Edisi 308; Fatawa Lajnah Daimah, no.
2229, 6460, 4300, dan masih banyak lagi kitab dan media lainnya yang
membahas masalah tersebut.
[5]. HR Tirmidzi, beliau berkata,”Hadist ini gharib. Saya tidak
mengetahuinya, kecuali lewat jalan ini, yaitu Hasyim bin Sa’id Al Kufi.”
Ibnu Hajar dalam kitab At Taqrib menyebutnya dhaif (lemah), begitu juga
gurunya, Kinanah Maula Shafiyah didhaifkan oleh Al Adzdi.
[6]. HR Abu Dawud, 4/ 366; At Tirmidzi, no. 3568 dan berkata,”Hadits
hasan gharib.” Nasai’i dalam Amal Al Yaum wa Lailah; Ath Thabrani dalam
Ad Du’a, 3/ 1584; Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab, 1/347 Al Baghawi, dalam
Syarhu As Sunnah, 1279 dan lainnya. Semua sanadnya bersumber pada Sa’id
bin Abi Hilal. Ibnu Hajar menganggapnya “shaduuq”.
[7]. HR Abu Al Qashim Al Jurjaani dalam Tarikh Jurjaan, no. 68. Dalam
sanadnya terdapat Abdullah bin Muhammad bin Rabi’ah Al Qudami yang
sering membuat hadits munkar dan maudhu. Dan didhaifkan oleh Syaikh
Albani dalam Silsilah, no.1002.
[8]. Tafsir Karimurrahman, II/ 190
[9]. Sejarah lengkapnya bisa dibaca di Da’iratul Ma’arif Al Islamiyah,
juz 11/233-234; Al Mausu’at Al Arabiyah Al Muyassarah, 1/958; Al
Mausu’at Al Arabiyah Al Alamiyah, 23/157; Fatawa Rasyid Ridha, 3/
435-436, dan lainnya.
[10]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no.
7657, dalam sanadnya terdapat jahalah (orang yang tidak diketahui).
[11]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no. 7667 dengan sanad yang shahih.
[12]. Diriwayatkan oleh Ibnu Waddaah Al Qurthub dalam kitab Al Bida’ wa
An Nahyu ‘Anha, hlm. 12 dengan sanad yang shahih, tetapi ada inqitha’,
karena Ash Shalat tidak pernah mendengar dari Ibnu Mas’ud.
[13]. Diriwayatkan oleh Ibnu Waddaah Al Qurthubi dalam kitab Al Bida’ Wa
An Nahyu ‘Anha, hlm. 11 dengan sanad yang shahih. Juga ada inqitha’,
karena Sayyar tidak pernah mendengar dari Ibnu Mas’ud.
[14]. Riwayat selengkapnya, lihat Sunan Ad Darimi, Kitabul Muqaddimah,
hadits no. 206. Juga disebutkan dalam Tarikh Wasith, Aslam bin Sahl Ar
Razzaz Al Wasithi. Syaikh Al Albani menshahihkan sanad hadits ini dalam
As Silsilah Ash Shahihah, hadits no. 2005.
[15]. Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta, Bulan Bintang, Juli
1991), Cet. Kelima, hlm. 20. Untuk mengetahui hubungan antara tasawuf
dengan agama Hindu, Budha dan lainnya, lihat di dua kitab Ihsan Ilahi
Dzahir, Mansya’ Wa Al Mashadir; telah diterjemahkan dengan judul Sejarah
Hitam Tasawuf Latar Belakang Kesesatan Sufi, oleh Fadhli Bahri,
(Jakarta, Darul Falah, 2001), Cet.I. dan Dirasatun Fi At Tashawuf; telah
diterjemahkan dengan judul Tasawuf, Bualan Kaum Sufi Ataukah Sebuah
Konspirasi? oleh Abu Ihsan Al Atsari, (Jakarta, Darul Haq, 2001), Cet.
I.
[16]. Ingat, riwayat ini bukanlah hadits, tetapi perkataan Umar bin
Khattab. Lihat Ibnu Katsir IV/ 414 dan Silsilah Adh Dhaifah, no. 1201.
[17]. Shahihul Jami’, I/ 82 no. 100.
[18]. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 22/506; Al Waabil Ash Shayyib,
Ibnul Qayyim, Fashl 68; Nailul Authar, Syaukani, II/353 dan Al Mausu’ah
Al Fiqhiyah, 11/ 284.
[19]. Lihat kembali bahaya bid’ah, As Sunnah, Edisi 08/Tahun VII/1424 H hlm. 31-32.
No comments:
Post a Comment