Saturday, December 3, 2011

Eksistensi Hakikat dan Syariat dalam Istilah Sufi


Oleh : DR. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Eksistensi hakikat menurut orang-orang sufi adalah takwil-takwil yang mereka reka-reka dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Kemudian mereka simpulkan bahwa takwil-takwil tersebut hanya bisa diketahui oleh orang-orang khusus, atau mereka sebut ulama khos (khusus) diatas tingkatan ini ada lagi tingkat yang lebih tinggi yaitu ulama khasul khos (amat lebih khusus) atau mereka sebut ulama hakikat.
Adapun syariat menurut mereka adalah lafaz-lafaz dan makna yang zhohir dari nash-nash Alquran dan sunnah. Hal ini dipahami oleh orang-orang awam (biasa), maka mereka menamakan ulama yang berpegang dengan pemahaman ini dalam menghayati ayat Alquran dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dengan ulama ‘Aam (umum) atau ulama syari’ah.
Dari sini mereka membagi ulama kepada dua bagian; ulama hakikat dan ulama syariat, atau ulama batin dan ulama zahir.

Menurut mereka ulama hakikat atau ulama batin lebih tinggi kedudukannya dari ulama syariat atau ulama zahir. Karena menurut pengakuan mereka ulama hakikat dapat menyelami rahasia-rahasia ghaib yang tersembunyi dalam nash-nash Alquran dan sunnah. Untuk mengetahui rahasia-rahasia tersebut mereka memiliki rute-rute yang mesti dilewati. Disamping itu mereka memiliki trik-trik dalam mempengaruhi orang-orang di luar mereka dengan berbagai cerita-cerita bohong.
Diantara bentuk-bentuk rute-rute sesat mereka adalah puasa selama empat puluh hari berturut-turut, bersemedi dalam sebuah gua, tidak boleh memakan hewan yang disembelih atau bintang yang berdarah, atau dilarang memakan makanan yang dibakar dengan api.
Adakalanya mereka dalam melegalkan takwil-takwil sesat (ilmu hakikat) mereka dengan mengaku bermimpi bertemu salah seorang nabi, seperti nabi Khaidhir atau nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Atau mereka bermimipi bertemu dengan salah seorang wali, seperti Abdul Qadir Jailany atau yang lainnya.
Dan adakalanya mereka mengaku dalam mendapatkan takwil-takwil (ilmu hakikat) tersebut dengan melalui berzikir sampai tidak sadarkan diri. Karena diantara kebiasaan mereka adalah melantunkan salawatan dan syair-syair zuhud dengan berdendang dan bergoyang sampai larut malam[1].

Disamping itu mereka menghina dan mencela orang-orang yang menuntut ilmu dangan cara belajar kepada para ulama dan mereka sebut ini ilmu syariat. Mereka katakan bahwa ilmu mereka (ilmu hakikat) lebih utama dari ilmu syariat yang dipelajari melalui para ulama. Karena ilmu mereka (ilmu hakikat) mereka dapatkan langsung dari Allah. Bahkan ilmu mereka lebih tinggi dari pada ilmu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Karena Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendapat ilmu melalui perantara yaitu malaikat Jibril adapun ilmu mereka langsung mereka dapatkan dari sumber dimana jibril mendapatkannya (langsung dari Allah tanpa melalui malaikat Jibril). Maka ilmu mereka tidak melalui perantara tetapi langsung dari Allah. Sehingga mereka mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku hatiku dari tuhanku.” Kadangkala mereka menyebut ilmu mereka (ilmu hakikat) dengan istilah ilmu ladunny.
Menurut mereka ilmu hakikat atau ilmu batin dan ilmu ladunni lebih utama dari ilmu Alquran dan sunnah. Orang yang telah memiliki ilmu tersebut tidak butuh lagi kepada Alquran dan sunnah, mereka lebih PeDe (percaya diri) dengan ilmu ladunny.
Dengan cara-cara demikian mereka dapat mengelabui orang-orang awam dan orang yang tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup dalam akidah.
Bila kita teliti kandungan Alquran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam beserta perkataan para sahabat juga ulama-ulama terkemuka dikalangan umat ini tidak ada yang menyatakan bila kita beselisih dalam hal agama ini kembali kepada ilmu ladunni. Tetapi semua umat Islam bersepakat jalan keluar dari segala perselisihan adalah kembali kepada Alquran dan sunnah sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya.
Firman Allah,
{ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا} [النساء/59]
“Maka jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
((فإنه من يعيش منكم فسيرى اختلافا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ)) رواه الترمذي وصححه.
“Maka sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kalian akan melihat perpecah belahan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah para khulafa rasyidin. Genggamlah erat-erat! Dan gigitlah dengan geraham.”
Kesesatan keyakinan orang-orang sufi tentang ilmu hakikat tidak hanya ditentang oleh para ulama’ Ahlussunnah tapi mendapat celaan dan cercaan dari tokoh-tokoh sufi sendiri sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnul Jauzi pada berikut ini,
Berkata Ibnul Jauzi, “Sesungguhnya kebanyakan orang-orang sufi membedakan antara syariat dan hakikat, ini sebuah kebodohan dari orang yang mengatakannya. Karena sesungguhnya syariat seluruhnya adalah hakikat. Jika yang mereka maksud dengan demikian itu adalah rukhshah (kemudahan) dan ‘Aziimah (ketegasan), maka masing-masing keduanya adalah syariah. Sesungguhnya sekelompok dari golongan terkemuka dari mereka telah mengingkari dalam hal berpalingnya mereka dari ilmu zahir dalam syariat.”
Celaan tokoh-tokoh sufi terhadap ilmu hakikat
Diriwayatkan dari Abu Hasan bin Salim ia berkata, Seseorang datang kepada Sahal bin Abdullah ia membawa pena dan buku, ia berkata kepada Sahal, ”Aku datang untuk mencatat sesuatau yang Allah bisa memberi manfaat kepadaku dengannya.” Jawab Sahal, ”Tulislah! Jika engkau mampu menemui Allah dalam keadaan membawa pena dan buku maka lakukanlah!” Lalu orang tersebut berkata, ”Berilah aku suatu faedah (tentang ilmu).” Jawab Sahal, ”Dunia seluruhnya adalah kebodohan kecuali yang berupa ilmu. Dan ilmu seluruhnya adalah hujjah (yang harus dipertangungjawabkan) kecuali yang berbentuk amal. Dan amal seluruhnya akan ditunda penerimaannya kecuali yang sesuai menurut Alquran dan sunnah. Dan sunnah ditegakkan diatas ketaqwaan.”
Diriwayatkan pula dari Sahal bin Abdullah, “Jagalah hitam di atas putih, tidak seorangpun meningaalkan yang Zahir (jelas) kecuali ia menjadi Zindiq.”
Diriwayatkan juga dari Sahal bin Abdullah, ia berkata, “Tiada jalan yang lebih utama untuk menuju Allah dari pada jalan ilmu. Jika engkau berpaling dari jalan ilmu satu langkah niscaya engkau akan tersesat dalam kegelapan selama empat puluh pagi.”
Dalam ungkapan di atas Sahal menegaskan bahwa ilmu dan amal yang akan diterima Allah hanyalah yang sesuai dengan apa yang terdapat dalam Alquran dan sunnah.
Berkata Abu Bakar Addaqaaq, ”Aku mendengar Abu Sa’id Al Kharaaz berkata, ’Setiap ilmu batin yang bertentangan dengan ilmu zahir maka itu adalah batil (kebatilan).’”
Berkata Abu Bakar Addaqaaq, “Saat aku melewati padang Tiih Bani Israil, terbetik dalam pikiranku bahwa ilmu hakikat bertetangan dengan ilmu syari’at. Lalu aku mendengar suara dari arah bawah pohon, ’Setiap ilmu hakikat yang tidak sesuai dengan ilmu syariat maka itu adalah kekafiran.’”
Berkata Ibnul Jauzi, “Imam Al Ghazaly telah memperingatkan dalam kitab Al-Ihyaa’, ia berkata, “Sesungguhnya ilmu hakikat yang menentang ilmu syariat atau ilmu batin yang menentang ilmu zahir maka ia kepada keakfiran lebih dekat daripada kepada keimanan.”
Berkata Ibnu ‘Uqail, “Orang-orang sufi menjadi syariat sebatas nama semata. Mereka mengatakan yang dimaksud darinya adalah hakikat, ini adalah pendapat yang keji. Karena syariat adalah datang dari Allah untuk kebaikan dan jalan penghabaan para makhluk. Maka tidak ada dibalik hakikat kecuali sesuatu yang dibisikan setan kedalam jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat ilmu hakikat di luar ketentuan ilmu syariat maka itu adalah tipuan (setan)[2].”
Orang-orang zindiq telah menjadikan ilmu hakikat tersebut sebagai tameng untuk menolak hukum-hukum syariat dan sebagai topeng untuk menutup kekufuran mereka.
Berkata Ibnul Jauzi, “Orang-orang Zidiq tidak berani melangkah untuk menolak hukum-hukum syariat sampai datang orang-orang sufi, mereka datang dengan bantuan para pelaku maksiat. Pertama kali mereka membuat istilah hakikat dan syariat, ini adalah tindakan yang keji. Karena syariat adalah datang dari Allah untuk kebaikan para makhluk. Maka tidak ada dibalik hakikat kecuali sesuatu yang dibisikan setan kedalam jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat ilmu hakikat di luar ketentuan ilmu syariat maka itu adalah tipuan (setan). Jika mereka mendengar seseorang meriwayatkan hadits, mereka katakan, “Kasihan sangat bodoh, kenapa mereka mau mengambil ilmu melalui yang mati dari yang mati! Sedangkan kita mengambil ilmu langsung dari Zat Yang tidak pernah mati.” Barangsiapa yang berkata, “Telah menceritakan kepadaku bapakku dari kakekku”. Justru aku berkata: :”Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku”. Kata Ibnul Jauzi: “Mereka (orang-orang sufi) telah binasa dan telah membinasakan orang lain dengan khrafat-khurafat ini. Orang-orang bodoh tertipu sehingga mengorbankan harta demi untuk mereka[3].”
Dengan mengaku mendapat ilmu hakikat mereka bisa mengelabui dan berkilah untuk meninggalkan perintah-perintah agama.
Berkata Ibnul Jauzi, “Ketahuilah bahwasanya melaksanakan tugas-tugas agama amat berat, tiada yang lebih mudah bagi para pelaku maksiat dari meninggalkan jamaah. Tidak ada yang lebih berat bagi mereka dari perintah dan larangan-larangan agama. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama dari orang-orang Ahlul kalam dan orang-orang sufi. Mereka merusak keyakinan manusia dengan mempermainkan kelicikan akal. Dan mereka ini merusak amal dan meruntuhkan sendi-sendi agama. Mereka suka nganggur dan mendengarkan nyanyian. Para generasi salaf tidak demikian halanya dalam hal keyakinan mereka hamba yang percaya sepenuhnya dan dalam hal amal mereka orang yang paling sungguh melakukan amal. Berkata Ibnul Jauzi, “Nasehatku kepada para saudaraku jangan sampai hati mereka dicekoki perkataan para ahli kalam dan jangan sampai pendengaran mereka diserahkan kepada khurafat-khurafat sufi. Lebih baik mereka sibuk mencari kebutuhan hidup daripada nonkrong bersama orang-orang sufi. Mencukupkan diri dengan ilmu zahir (Ajaran Al Quran dan sunnah) jauh lebih baik daripada terjerumus kedalam kesesatan. Sungguh telah aku kabarkan tentang jalan kedua kelompok tersebut (ahlul kalam dan sufi). Kesudahan orang-orang ahlul kalam adalah kebingungan dan kesudahan orang-orang sufi adalah kebodohan.”
Berkata Ibnu ‘Uqail, “Kesudahan perkataan orang-orang sufi mengingkari kenabian. Bila mereka berbicara tentang ahli hadits, mereka katakan, “Mereka mengambil ilmu orang mati dari yang mati, maka mereka telah menolak kenabian. Mereka merasa cukup dengan ilmu mereka, bila mereka menghina jalan (ahli hadits) tentu mereka tidak akan simpati mengambil ilmu melalui jalan tersebut. Barangsiapa yang berkata, ”Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku” maka ia telah terus terang tidak butuh kepada Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. Barang siapa yang menyatakan demikian maka sungguhnya ia telah kafir. Kalimat ini telah disusupkan kedalam agama yang tersembunyi dibawahnya sebuah ke-zidiq-kan (kemunafikkan). Jika kita melihat seseorang mencela Alquran dan hadits, sebaiknya kita tau bahwa ia telah mengingkari perintah syariat. Orang yang mengatakan:: ” Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku” semestinya ia sangsi, bahwa itu adalah bisikan setan.
Sesungguhnya Allah telah berfirman,
{وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ} [الأنعام/121]
“Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya.”
Dan ini amat jelas, karena ia meninggalkan dalil yang maksum dan memilih apa yang terbetik dalam hatinya yang tidak bisa dipastikan selamat dari bisikan-bisikan setan[4].”
Diantara orang-orang sufi ada yang berkilah bahwa itu adalah ilham, namun jika ditanya dimana anda bisa memastikan bahwa itu adalah ilham? Dengan apa anda bisa membedakan antara ilham dengan apa yang dibisikan setan? Maka satu-satunya alat termometer yang jitu untuk membedakan antara ilham dengan bisikan setan adalah ilmu syari’at. Berarti ilmu hakikat butuh kepada ilmu syariat sebaliknya ilmu syariat tidak butuh kepada ilmu hakikat. Orang-orang yang mau menerima petunjuk akan berkesimpulan bahwa ilmu syariat lebih mulia dari ilmu hakikat orang-orang sufi.
Berkata Ibnul Jauzi, “Mempercayai ilham tidak harus mengikari ilmu (syari’at). Kita tidak mengingkari bahwa Allah memberikan ilham kepada seseorang. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
((إن في الأمم محدثين وإن يكن في أمتي فعمر)). رواه أحمد، وقال شيعب الأرنؤوط: صحيح.
Sesungguhnya pada umat-umat yang lalu ada orang-orang yang diberi ilham, jika terdapat diantara umatku maka ia adalah Umar radhiallahu ‘anhu.”
Yang dimaksud dengan kalimat (التحديث) adalah ilham tentang kebaikan. Tetapi seseorang yang mendapat ilham bila diberi ilham yang bertentangan dengan ilmu (syariat), maka ia tidak boleh melakukannya. Adapun Khaidhir maka ia adalah nabi, tidak diragukan lagi para nabi dapat mengetahui akibat-akibat sesuatu melalui wahyu. Ilham tidak termasuk ilmu sedikitpun. Hanya saja ia adalah buah dari ilmu dan ketaqwaan, maka orang tersebut diberi taufik untuk hal yang baik dan ilham petunjuk. Adapun sikap meninggalkan ilmu dan bergantung kapa ilham dan bisikan hati semata, maka hal ini tidak bernilai apa-apa. Jika bukan karena ilmu syariat kita tidak akan bisa mengetahui apa yang terdapat dalam hati, apakah ia ilham atau bisikan-bisikan setan. Ketahuilah sesungguhnya ilham yang terdapat dalam hati tidak cukup tanpa ilmu syariat. Sebagaimana ilmu akal tidak cukup tanpa ilmu syariat.
Adapun ungkapan, “Mereka mengambil ilmu dari orang mati meriwayatkan dari orang yang mati”. Penilaian terbaik untuk orang yang mengatakannya adalah ia tidak tau tentang apa yang tersimpan dalam kata-kata ini. Sebenarnya ini adalah cacian terhadap syariat (agama). Kemudian ia sebutkan ungkapan Al-Ghazali tentang sebab-sebab orang sufi suka bersemedi dan meninggalkan ilmu serta lebih mengutamakan berzikir dari membaca Alquran. Lalu ia komentari dengan ungkapanya berikut, “Amat disayangkan kata-kata seperti ini muncul dari seorang faqih, tidak diragukan lagi tentang kekejian ungkapan ini. Hakikat dari ungkapan ini adalah membuang perintah-perintah agama yang memerintahkan membaca Alquran dan mencari ilmu. Aku mendapati para ulama terkemuka dari berbagai kota tidak pernah menempuh cara ini. Tetapi mereka menyibukan diri pertama kali dengan mencari ilmu[5].”
Ilmu Batin

Sering pula kita dengar Orang-orang sufi menyebut ilmu hakikat dengan istilah ilmu batin. Berikut kita coba menelusuri dasar pegangan mereka dalam hal ini.
Sebagian mereka menyandarkan perkataan mereka kepada hadist maudhu’ (palsu).
((علم الباطن سر من سر الله عز وجل وحكم من حكم الله يقذفه الله عز وجل في قلوب من يشاء من أوليائه))
“Ilmu batin adalah rahasia dari rahasia-rahasia Allah dan hikmah dari hikmah-hikmah Allah. Allah menjatuhkannya kedalam hati siapa yang ia kehendaki dari para wali-Nya.”
قال ابن الجوزي هذا حديث لا يصح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وعامة رواته لا يعرفون (العلل المتناهية: 1/83)
Berkata Ibnul Jauzi, “Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan kebanyakan para rawinya tidak dikenal.”
Hadits kedua,
عن الحسن عن حذيفة سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن علم الباطن ما هو فقال ((سألت جبريل عنه فقال عن الله هو سر بيني وبين أحبائي وأوليائي وأصفيائي أودعه في قلوبهم لا يطلع عليه ملك مقرب ولا نبي مرسل)).
Hasan meriwayatkan dari Huzaifah, ia berkata, ”Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tentang apa itu ilmu batin? Beliau berkata bertanya kepada Jibril tentangnya. Maka ia menjawab dari Allah, “Ia adalah rahasia antara-Ku dan antara para keakasih-Ku, para wali-Ku dan para orang pilihan-Ku. Aku letakkan dalam hati mereka, tidak ketahui oleh malaikat yang dekat (Allah) dan tidak pula nabi yang diutus.”
قال علي القاري قال العسقلاني موضوع والحسن ما لقي حذيفة (المصنوع: 123)
Berkata Ali Qari, berkata Ibnu Hajar Al-Asqalaany, “(Hadist ini adalah) maudhu’ (palsu) dan Hasan tidak pernah berjumpa Huzaifah.”
Berkata Imam Al Barbahaari, “Ilmu yang disebut orang-orang ilmu batin tidak pernah ditemui dalam Alquran dan tidak pula dalam sunnah. Maka ia adalah bid’ah dan sesat. Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya[6].”
Berkata Syeikh Islam, “Sesungguhnya hakikat ilmu batin yang mereka banggakan adalah penolakkan terhadap risalah yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Bahkan penolakkan terhadap seluruh para rasul. Mereka tidak mempercayai apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dari Allah, baik berbentu berita maupun perintah[7].”
Berkata lagi Syeikh Islam, “Para tokoh sufi sepakat bahwa orang yang mengaku mengetahui ilmu batin dari hakikat yang bertentangan dengan ilmu zahir dari syariat maka ia adalah Zindiq[8].
Menurut mereka ilmu batin dan ilmu zahir perumpamaannya bagaikan lempengan emas dan lempengan perak. Ilmu batinn adalah lempengan emas sedangkan ilmu zahir adalah lempengan perak. Mereka mengatakan bahwa ilmu yang diterima Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dengan melalui perantara malaikat Jibril adalah lempengan perak. Sedangkan ilmu batin mereka langsung terima dari Allah adalah lempengan emas.
Berkata Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menurut mereka dari lepeng perak. Karena menurut mereka ada dua lepengan; satu dari emas dan satu lagi dari perak. Mereka menganggap lempengan nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam adalah ilmu zahir. Dan lempengannya adalah emas yaitu ilmu batin. Dan lempeng perak adalah ilmu zahir. Mereka mendapatkannya tanpa ada perantara. Berkta Ibnu Arabi dalam kitab Fusus-nya, ”Bahwa tingkat kewalian lebih tinggi dari tingkat kenabian. Karena wali mengambil tanpa ada perantara sedangkan nabi melalui perantara (malaikat Jibril). Maka ia menganggap lebih memiliki keutamaan diatas nabi, bahkan ia tidak suka jika memiliki kedudukan yang sama. Ringkasnya ia tidak mau mengikuti nabi sedikitpun. Karena ia menurut pengakuannya menengambil langsung dari Allah…maka ia mengaku lebih sempurna dari Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam[9].”
“Barangsiapa yang menganggap bahwa diantara para wali yang telah sampai kepada mereka risalah nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam memiliki jalan tersendiri kepada Allah dan ia tidak butuh kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam maka orang ini adalah kafir. Apabila ia berkata: saya butuh kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam hanya dalam hal ilmu zuhir saja tidak dalam ilmu batin, atau dalam hal ilmu syariat saja tidak dalam ilmu hakikat maka ia lebih jelek dari pada Yahudi dan Nasrani. Kerena mereka (Yahudi dan nasrani) mengatakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam hanya diutus kepada orang Arab saja tidak kepada orang-orang Ahli kitab. Maka sesungguhnya mereka beriman dengan sebahagian dan kafir dengan bahagian yang lain maka mereka menjadi kafir karena hal itu. Demikian pula orang yang mengatakan bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam hanya diutus membawa ilmu zahir saja tidak diutus dengan ilmu batin. Ia beriman dengan sebahagian yang dibwanya dan kafir dengan bahagian yang lain, maka ia menjadi kafir (dengan hal itu) [10].”
“Bila ada orang yang menganggap bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam hanya mengetahui urusan-urusan yang zahir saja tanpa mengetahui hakikat keimanan. Dan ia mengaku mengambil ilmu hakikat diluar Alquran dan sunnah. Maka sesungguhnya orang tersebut telah mengaku beriman dengan sebahagian yang dibawa Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak beriman dengan bahagian yang lain. Ini lebih jelek dari orang yang berkata: aku beriman dengan dengan sebahagian dan aku kafir dengan bahgian yang lain. Karena ia menilai bahagian yang ia beriman dengannya adalah bahagian yang rendah kwalitasnya (menurut dia) [11].”
Kenapa ia lebih kafir dari Yahudi dan Nasrani kerena ia manganggap bahagian yang ia beriman dengannya (ilmu syariat) yang dibawa Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam nilainya minus dibanding ilmu batin yang mereka milki sendiri tanpa harus melalui Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dan malaikat Jibril.
Dengan mengaku mengetahui ilmu batin sebahagian sufi mengaku memilki syariat sendiri, bahkan yang lebih sesat lagi terbebas dari segala perintah dan larangan agama. Apa yang dikatakan atau dilakukan oleh sang kiyai mereka yang mengaku mengetahui ilmu batin tidak boleh dibantah, bahkan ditanya sekalipun. Bila sang kiyai minum khmar maka dengan ilmu batin ia dapat berubah menjadi air putih. Bahkan ada yang lebih patal dari itu semua, yang kita malu untuk mengungkapkannya disini.
Ilmu Ladunni
Kadangkala mereka sebut ilmu mereka (ilmu hakikat) dengan istilah ilmu ladunny.
Berkata Ibnul Qayyim, “Yang dimaksud oleh mereka dengan ilmu ladunni ialah ilmu yang diperoleh seseorang dengan tidak melalui sebab (belajar) tetapi dengan melalui ilham dari Allah. Berupa pemberitahuan dari Allah bagi seseorang sebagaimana nabi Khaidir ‘alaihi wasalam tanpa melalui nabi Musa shallallahu ‘alahi wa sallam. Sebagaimana firman Allah,
{آَتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا} [الكهف/65]
Maka Allah membedakan antara rahmat dan ilmu, Allah menjadikan keduanya dari sisi-Nya. Ketika ia peroleh keduanya tanpa melalui perantara manusia. Akan tetapi khusus dan lebih dekat dari sisi-Nya.
Karena itu Allah berfirman,
{وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا} [الإسراء/80]
“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.’”
Maka kekuasaan yang menolong yang datang dari sisi Allah secara khusus dan lebih dekat. Karena itu Allah katakan: “berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong” yaitu pertolongan yang diperkuat dengannya. Pertolongan yang datang dari sisi Allah dan juga pertolongannya melalui orang-orang beriman.
Sebagaimana firman Allah,
{ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ} [الأنفال/62]
“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin.”
Ilmu ladunni adalah buah dari kesungguhan dalam beribadah dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, jujur bersama Allah dan ikhlas kepada-Nya. Juga bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu yang datang dari Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. Serta kesempurnaan ketundukkan kepada beliau sehingga dibukakkan untuknya memahami Alquran dan sunnah yang diberikan secara khusus kepadanya.
Sebagaimana perkataan Ali bin Abu Thalib tatkala ia ditanya, “Apakah Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam mengkhususkan engkau dengan sesuatu dari manusia lain? Jawabnya,”Tidak! Demi Zat yang membolak-balikkan bijian dan yang menyembuhkan jiwa. Kecuali pemahaman yang yang diberikan Allah kepada seseorang tentang kitab suci-Nya.”
Inilah ilmu ladunni yang hakiki, adapun ilmu orang yang menyimpang dari Alquran dan sunnah serta tidak terkait dengan keduanya maka itu adalah ilmu ladunni yang datang dari bisikan nafsu sesat dan dari setan. Maka ia ilmu ladinni tetapi dari mana? Hanya bisa diketahui ilmu ladunni dari Allah adalah dengan mencocokkannya dengan apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dari Rabb-nya.
Maka ilmu ladunni ada dua macam; ladunni dari Allah dan ladunni dari setan. Yang menjadi pembeda antara keduanya adalah wahyu dan tidak ada lagi wahyu setelah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Adapun menjadikan kisah nabi Musa dan nabi Khaidir sebagai pegangan dalam bolehnya meninggalkan wahyu dan memilih ilmu ladunni. Ini adalah kekafiran yang mengeluarkan sesorang dari Islam serta boleh untuk dibunuh.
Perbedaanya; nabi Musa ‘alaihi wa sallam tidak diutus kepada nabi Khaidhir ‘alaihi wa sallam, dan nabi Khaidhir ‘alaihi wa sallam tidak diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa ‘alaihi wa sallam. Jika ia diperintah untuk mengikutinya tentulah wajib baginya untuk hijrah kepada nabi Musa ‘alahi wa sallam dan ia akan bersamanya. Karena itu ia berkata kepada nabi Musa ‘alaihi wa sallam, “Engkau Musa nabi Bani israil?” Jawab nabi Musa, ”ya.”
Sedangkan nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam diutus kepada seluruh makhluk. Maka kerasulannya adalah umum untuk jin dan manusia dalam setiap masa. Jika seandainya nabi Musa ‘alaihi wa sallam dan nabi Isa ‘alaihi wa sallam hidup maka keduanya akan menjadi pengikutnya. Apabila nabi Isa shallallahu ‘alahi wa sallam turun (nanti di akhir zaman) maka sesungguhnya dia akan menjalankan hukum syariat nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Barangsiapa yang mengaku bahwa perumpamaan dia dengan nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam adalah bagaikan nabi khaidhir dengan nabi Musa, atau ia membolehkan hal itu bagi seseorang dari golongan umat ini. Maka hendaklah ia mengulang keIslamannya dan mengulang bersyahadat dengan syahadat yang benar. Sesungguhnya keyakinan seperti itu membuatnya meninggalkan agama Islam secara total. Apalagi untuk dianggap sebagai wali Allah yang khusus. Sesungguhnya ia adalah diantara wali-wali setan, penolongnya dan penggantinya. Ini adalah garis pembeda antara orang-orang zindiq dan orang yang benar-benar istiqomah dari kalangan mereka[12].”
Dalam ungkapan Ibnul Qayyim di atas di jelaskan bahwa ilmu ladunni yang dari Allah adalah pemahaman yang diberikan Allah kepada seseorang ketika ia belajar ilmu syariat yang dituntut kepeda para ulama yang diiringi dengan keikhlasan dan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam. Bukan ilmu yang didapat melalui mimpi dan semedi, apalagi ilmu tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Alquran dan sunnah. Segala ilmu yang bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam maka itu adalah ilmu ladunni yang datang dari setan.
Pada tempat lain Ibnu Qayyim berkata pula, “Ilmu ladunni yang datang dari Allah buah dari ketundukan dan rasa cinta yang melahirkan keinginan untuk melasnakan amalan-amalan mandub stelah melaksanakan amalan-amalan wajib. Ilmu ladunni yang datang dari setan adalah buah dari berpaling dari wahyu (ilmu syariat) serta bisikan nafsu sesat dan setan[13].”
“Adapun yang diperoleh tanpa melaui seabab mencari dalil maka itu tidak benar. Karena Allah mennggantungkan mengenal ilmu dengan sebab-sebabnya sebagaimana Allah kaitkan kejadian Alam dengan dengan sebab-sebab pula. Seorang manusia tidak akan mungkin memperoleh ilmu kecuali ada dalil menunjukkannya kepada ilmu tesebut. Allah telah menyokong para rasul-Nya dengan berbagai macam dalil dan keterangan. Sebagai dalil yang menunjukkan mereka bahwa ilmu yang datang kepada mereka adalah dari sisi Allah. Dan dalil-dalil tersebut pula yang menunjukkan akan hal itu kepada umat mereka. Mereka memiliki dalil dan keterangan yang amat jelas bahwa yang ilmu yang datang kepada mereka adalah dari Allah.
Maka setiap ilmu yang tidak berdasarkan kepada dalil bagaikan pengakuan yang tidak memiliki bukti dan hukum yang tidak ada fakta. Jika demikian halnya maka ia tidak bisa dianggap ilmu apalagi dianggap sebagai ilmu ladunni.
Ilmu ladunni adalah ilmu yang dibuktikan dengan dalil yang shahih bahwa ia datang dari sisi Allah melalui para rasul-Nya. Apa yang diluar itu maka itu adalah ilmu ladunni yang datang dari diri manusia itu sendiri, darinya datang kepadanya kembali.
Telah banjir ilmu ladunni, amat murah harganya sehingga setiap golongan mengaku mendapat ilmu ladunni. Sehingga setiap orang berbicara tentang hakikat iman, suluk (budi pekerti), serta nama dan sifat-sifat Allah berbicara menurut apa yang terlintas dalam pikiran yang dilontarkan setan kedalam hatinya. Ia mengira ilmunya adalah ilmu ladunni.
Maka orang malaahidah dan zindik pum ikut mengaku bahwa ilmu mereka ilmu ladunni. Yang menjadi persolan ilmu ladunni siapa dan dari mana ilmu ladunninya tersebut.
Allah telah mencela dengan celaan yang tajam barangsiapa menisbakan kepada Allah sesuatu yang bukan dari-Nya. Sebagaimana firman Allah,
{وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ} [آل عمران/78]
“Mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.”
Dan firman Allah,
{فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ} [البقرة/79]
“Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah.”
Juga firman Allah,
{وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ} [الأنعام/93]
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata, ‘Telah diwahyukan kepada saya’, padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya.’”
Barangsiapa yang berkata, “Ilmu ini dari Allah sedangkan ia bohong dalam penisbahan tersebut. Maka baginya bagian yang cukup dari celaan yang yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut. Hal ini banyak terdapat dalam Alquran, Allah mencela orang yang menyadarkan sesuatu kepada-Nya tanpa ilmu. dan orang yang berbicara tetang sesuatu atas nama Allah tanpa ilmu. Karena itu Allah membagi hal yang diharamkan kepada empat tingkat. Dan Allah menjadikan tingkatan tertinggi berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Allah menjadikannya tingkatan tertinggi dari hal-hal yang diharamkan. Hal itu diharamkan dalam segala kondisi, bahkan diharamkan dalam seluruh agama dan diatas lisan segala rasul. Orang yang mengatakan: “Ini adalah ilmu ladunni terhadap sesuatu yang tidak bisa ia pastikan dari Allah serta tidak ada pula keterangan dari Allah bahwa ilmu itu dari-Nya. Orang tersebut adalah pendusta alias pembohong diatas nama Allah, ia adalah orang yang paling zalim dan paling dusta[14].”
Demikianlah bahasan kita kali ini, semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan ilmu-ilmu yang beliau warisan kepada umatnya. Juga menunjuki sesiapa yang tersesat dikalangan umat ini kepada jalan yang benar. Wallahu A’lam.

Sumber: http://ibnuramadan.wordpress.com/2011/06/01/eksistensi-hakikat-dan-syariat-dalam-istilah-sufi/
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت وأستغفرك وأتوب إليك
——————————————————————————–
[1] Lihat Talbis Iblis karangan Ibnul Jauzy: 302.
[2] Ungkapan-ungkapan di atas disebut Ibnul Jauzy dalam kitanya Talbis Iblis, 394-395.
[3] Lihat Talbis Iblis, 450.
[4] Lihat Talbis Iblis, 451.
[5] Lihat Talbis Iblis, 392.
[6] Lihat, Syarhus Sunnah, 50.
[7] Lihat, Majmu’ Fatawa, 35/140.
[8] Lihat, Bayan Talbis Jahmiyah, 1/238.
[9] Lihat Majmu’ Fatawa, 4/172.
[10] Lihat Majmu’ Fatawa, 11/225.
[11] Lihat Majmu’ Fatawa, 11/226.
[12] Lihat Madariju As Salikiin, 2/475-476.
[13] Lihat Madariju As Salikiin, 2/477.
[14] Lihat Madariju As Salikiin, 3/433-434.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...