Monday, August 2, 2010

MEMPRIORITASKAN PERSOALAN YANG RINGAN DAN MUDAH ATAS PERSOALAN YANG BERAT DAN SULIT


DI ANTARA prioritas yang sangat dianjurkan di sini, khususnya
dalam bidang pemberian fatwa dan da'wah ialah prioritas
terhadap persoalan yang ringan dan mudah atas persoalan yang
berat dan sulit.

Berbagai nash yang ada di dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi saw
menunjukkan bahwa yang mudah dan ringan itu lebih dicintai
oleh Allah dan rasul-Nya.

Allah SWT berfirman:

"... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu..." (al-Baqarah: 185)

"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah." (an-Nisa': 28)

"... Allah tidak hendak menyulitkan kamu..."
(al-Maidah: 6)

Rasulullah saw yang mulia bersabda,

"Sebaik-baik agamamu ialah yang paling mudah
darinya."1

"Agama yang paling dicintai oleh Allah ialah yang
benar dan toleran."2

'Aisyah berkata,

"Rasulullah saw tidak diberi pilihan terkadap dua
perkara kecuali dia mengambil yang paling mudah di
antara keduanya selama hal itu tidak berdosa. Jika hal
itu termasuk dosa maka ia adalah orang yang paling
awal menjauhinya."3

Nabi saw bersabda,

"Sesungguhnya Allah menyukai bila keringanan yang
diberikan oleh-Nya dilaksanakan, sebagaimana Dia
membenci kemaksiatan kepada-Nya."4

Keringanan (rukhshah) itu mesti dilakukan, dan kemudahan yang
diberikan oleh Allah SWT harus dipilih, apabila ada kondisi
yang memungkinkannya untuk melakukan itu; misalnya karena
tubuh yang sangat lemah, sakit, tua, atau ketika menghadapi
kesulitan, dan lain-lain alasan yang dapat diterima.

Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa dia melihat Rasulullah
saw sedang dalam suatu perjalanan, kemudian beliau menyaksikan
orang ramai mengerumuni seorang lelaki yang dipayungi,
kemudian beliau bersabda, "Apa ini?" Mereka menjawab: "Dia
berpuasa." Beliau kemudian bersabda,

"Tidak baik berpuasa dalam perjalanan."5

Yakni di dalam perjalanan yang amat menyulitkan ini.

Dan jika perjalanan itu tidak menyulitkan, maka dia boleh
melakukan puasa; berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh
'Aisyah bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami pernah berkata kepada
Nabi saw: "Apakah aku boleh puasa dalam perjalanan?" Hamzah
adalah orang yang sering melaksanakan puasa. Karenanya Nabi
saw bersabda, "Jika kamu mau, maka berpuasalah, dan jika kamu
mau berbukalah."6

Khalifah Umar bin Abd al-Aziz pernah berkata mengenai puasa
dan berbuka di dalam perjalanan, juga tentang perbedaan
pendapat yang terjadi di kalangan fuqaha, manakah di antara
kedua hal itu yang paling baik. Dia berkata, "Yang paling baik
ialah yang paling mudah di antara keduanya." Hal ini merupakan
pendapat yang boleh diterima. Di antara manusia ada yang
melaksanakan puasa itu lebih mudah daripada dia harus membayar
hutang puasa itu ketika orang-orang sedang tidak berpuasa
semua. Tetapi ada orang yang berlawanan dengan itu. Oleh
karena itu, yang paling mudah adalah menjadi sesuatu yang
paling baik.

Nabi saw menganjurkan umatnya untuk bersegera melakukan buka
puasa dan mengakhirkan sahur, dengan tujuan untuk memberi
kemudahan kepada orang yang melaksanakan puasa.

Kita juga banyak menemukan fuqaha yang memutuskan hukum yang
paling mudah untuk dilakukan oleh manusia terhadap sebagian
hukum yang memiliki berbagai pandangan; khususnya yang
berkaitan dengan masalah muamalah. Ada ungkapan yang sangat
terkenal dari mereka: "Keputusan hukum ini lebih mengasihi
manusia."

Saya bersyukur kepada Allah karena saya dapat menerapkan jalan
kemudahan dalam memberikan fatwa, dan menyampaikan sesuatu
yang menggembirakan dalam melakukan da'wah, sebagai upaya
meniti jalan yang pernah dilakukan oleh Nabi saw. Beliau
pernah mengutus Abu Musa dan Mu'adz ke Yaman sambil memberikan
wasiat kepada mereka,

"Permudahlah dan jangan mempersulit; berilah sesuatu
yang menggembirakan dan jangan membuat mereka lari;
berbuatlah sesuatu yang baik."7

Diriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

"Permudahlah dan jangan mempersulit; berilah sesuatu
yang menggembirakan dan jangan membuat mereka lari."8

Pada suatu kesempatan saya pernah menjawab berbagai pertanyaan
setelah saya menyampaikan satu kuliah: "Apabila saya mendapati
dua pendapat yang sama-sama baik atau hampir sama dalam satu
masalah agama; yang pertama lebih mengarah kepada
kehati-hatian dan yang kedua lebih mudah, maka saya akan
memberikan fatwa kepada orang awam dengan pendapat yang lebih
mudah, yang lebih saya utamakan daripada pendapat yang
pertama."

Sebagian kawan yang hadir dalam kuliah itu berkata, "Apa dalil
anda untuk lebih mengemukakan pendapat yang paling mudah atas
pendapat yang lebih hati-hati?"

Saya jawab, "Dalil saya ialah petunjuk Nabi saw, yaitu
manakala beliau dihadapkan kepada dua pilihan, maka beliau
tidak akan memilih kecuali pendapat yang paling mudah; dan
perintahnya kepada para imam shalat jamaah untuk meringankan
ma'mumnya, karena di antara mereka ada orang yang lemah, orang
tua, dan orang yang hendak melaksanakan kepentingan mereka
setelah itu."

Kadangkala seorang ulama memberikan fatwa dengan sesuatu yang
lebih hati-hati kepada sebagian orang yang mempunyai kemauan
keras, dan orang-orang wara' yang dapat menjauhkan diri mereka
dari kemaksiatan. Adapun untuk orang-orang awam, maka yang
lebih utama adalah pendapat yang paling mudah.

Zaman kita sekarang ini lebih banyak memerlukan kepada
penyebaran hal yang lebih mudah daripada hal yang sukar, lebih
senang menerima berita gembira daripada ditakut-takuti hingga
lari. Apalagi bagi orang yang baru masuk Islam, atau untuk
orang yang baru bertobat.

Persoalan ini sangat jelas dalam petunjuk yang diberikan oleh
Nabi saw ketika mengajarkan Islam kepada orang-orang yang baru
memasukinya. Beliau tidak memperbanyak kewajiban atas dirinya,
dan tidak memberikan beban perintah dan larangan. Jika ada
orang yang bertanya kepadanya mengenai Islam, maka dia merasa
cukup untuk memberikan definisi yang berkaitan dengan
fardhu-fardhu yang utama, dan tidak mengemukakan yang
sunat-sunat. Dan apabila ada orang yang berkata kepadanya:
"Aku tidak menambah dan mengurangi kewajiban itu." Maka Nabi
saw bersabda, "Dia akan mendapatkan keberuntungan kalau apa
yang dia katakan itu benar." Atau, "Dia akan masuk surga bila
apa yang dia katakan benar."

Bahkan kita melihat Rasulullah saw sangat mengecam orang yang
memberatkan kepada manusia, tidak memperhatikan kondisi mereka
yang berbeda-beda; sebagaimana dilakukan oleh sebagian sahabat
yang menjadi imam shalat jamaah orang ramai. Mereka
memanjangkan bacaan di dalam shalat, sehingga sebagian ma'mum
mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw.

Nabi saw berpesan kepada Mu'adz bahwa beliau sangat tidak suka
bila Mu'adz memanjangkan bacaan itu sambil berkata kepadanya:
"Apakah engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu'adz? Apakah
engkau ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu'adz? Apakah engkau
ingin menjadi tumpuan fitnah hai Mu'adz?" 9

Diriwayatkan dari Abu Mas'ud al-Anshari, ia berkata, "Ada
seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: 'Demi Allah
wahai Rasulullah, sesungguhnya aku selalu memperlambat untuk
melakukan shalat Subuh dengan berjamaah karena Fulan, yang
selalu memanjangkan bacaannya untuk kami.' Aku tidak pernah
melihat Rasulullah saw memberikan nasihat dengan sangat marah
kecuali pada hari itu. Kemudian Rasulullah saw bersabda,
'Sesungguhnya ada di antara kamu yang membuat orang-orang
lain. Siapapun di antara kamu yang menjadi imam orang ramai,
maka hendaklah dia meringankan bacaannya, karena di antara
mereka ada orang yang lemah, tua, dan mempunyai kepentingan
yang hendak dikerjakan." 10

Saya juga pernah menyebutkan bahwa orang yang memanjangkan
bacaan shalat jamaah dengan orang banyak ini adalah Ubai bin
Ka'ab, yang memiliki ilmu dan keutamaan, serta menjadi salah
seorang yang mengumpulkan al-Qur'an . Akan tetapi,
bagaimanapun kedudukannya tidak berarti bahwa Rasulullah saw
tidak memungkirinya, sebagaimana dia memberikan wasiat
mengenai hal inl kepada Mu'adz, walaupun dia merupakan orang
yang sangat dicintai dan dipuji oleh Nabi saw.

Sahabat sekaligus pembantu beliau, Anas r.a., berkata, "Aku
tidak pernah shalat di belakang imam satu kalipun yang lebih
ringan, dan lebih sempurna shalatnya dibandingkan dengan Nabi
saw. Jika beliau mendengarkan suara tangisan anak kecil,
beliau meringankan shalat itu, karena khawatir ibu anak itu
akan terkena fitnah." 11

Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda,

"Sesungguhnya ketika aku sudah memulai shalat, aku
ingin memanjangkan bacannnya, kemudian aku
mendengarkan suara tangisan anak kecil, maka aku
percepat shalatku, karena aku mengetahui susahnya sang
ibu bila anaknya menangis." 12

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw bersabda,

"Apabila salah seorang di antara kamu menjadi imam
shalat maka hendaklah ia memperingan bacaan shalatnya,
karena di antara mereka ada orang yang sakit, lemah,
dan tua. Namun bila dia shalat sendirian, maka
hendaklah dia memperpanjang shalatnya sesuai dengan
kemauannya." 13

Nabi saw sangat mengecam terhadap hal-hal yang memberatkan
apabila hal itu dianggap mengganggu kepentingan orang banyak,
dan bukan sekadar untuk kepentingan pribadi satu orang saja.
Begitulah yang kita perhatikan dalam tindakan beliau ketika ia
mengetahui tiga orang sahabatnya yang mengambil langkah
beribadah yang tidak selayaknya dilakukan, walaupun sebenarnya
mereka tidak menginginkan kecuali kebaikan dan pendekatan diri
kepada Allah SWT.

Diriwayatkan dari Anas r.a. berkata, "Ada tiga orang yang
mendatangi rumah tiga orang istri Nabi saw menanyakan ibadah
yang dilakukan oleh Nabi saw. Ketika mereka diberitahukan
mengenai hal itu, seakan-akan mereka menganggap sedikit apa
yang telah mereka lakukan, sambil berkata, 'Di mana posisi
kita dari Nabi saw, padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya
yang terdahulu dan yang akan datang?' Salah seorang di antara
mereka juga berkata, 'Oleh karena itu saya akan melakukan
shalat malam selamanya.' Orang yang kedua pun berkata, 'Aku
akan berpuasa selamanya dan tidak akan meninggalkannya.' Orang
yang ketiga berkata, 'Sedanglan aku akan mengucilkan diri dari
wanita dan tidak akan kawin selama-lamanya.' Kemudian
Rasulullah saw datang kepada mereka sambil berkata, 'Kamu
semua telah mengatakan begini dan begitu. Demi Allah, aku
adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling
bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku
shalat dan aku juga tidur, aku mengawini perempuan. Maka
barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahhu, maka dia tidak
termasuk golonganku." 14

Diriwayatkan dari Ibn Mas'ud r.a. bahwasanya Nabi saw
bersabda, "Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu
(al-mutanaththi'un)." Beliau mengucapkannya sebanyak tiga
kali.

Yang dimaksudkan dengan orang-orang yang berlebih-lebihan
(al-mutanaththi'un) ialah "orang-orang yang mengambil tindakan
keras dan berat, tetapi tidak pada tempatnya."

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw bersabda,

"Sesungguhnya agama ini mudah, dan orang yang
mengambil yang berat- berat dari agama ini pasti akan
dikalahkan olehnya. Ambillah tindakan yang benar,
dekatkan diri kepada Allah, berilah kabar gembira, dan
mohonlah pertolongan kepada-Nya pada pagi dan petang
hari, dan juga pada akhir malam." 15

Maksud perkataan Rasulullah saw "kecuali dia akan dikalahkan
olehnya" ialah bahwa orang itu akan dikalahkan oleh agama dan
orang yang mengambil hal-hal yang berat itu tidak akan mampu
melaksanakan semua yang ada pada agama ini karena terlalu
banyak jalan yang harus dilaluinya.

Apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw ini sebenarnya
merupakan kiasan yang artinya: "Mohonlah pertolongan kepada
Allah untuk taat kepada-Nya, melakukan amal kebaikan di
tengah-tengah kegiatanmu dan ketika hatimu lapang, sehingga
kamu merasa senang melakukan ibadah dan tidak bosan
melakukannya; dan dengan demikian kamu dapat mencapai maksud
dan tujuan kamu." Sebagaimana yang dilakukan oleh musafir yang
pintar, dia berjalan pada waktu-waktu tertentu, kemudian dia
dan kendaraannya beristirahat pada saat yang lain, sehingga
dia sampai kepada tujuannya dan tidak mengalami kepenatan dan
kejenuhan. Wallah a'lam.

Saya sangat terkejut kala saya membaca berita dalam surat
kabar:

"Sesungguhnya pihak berwenang yang mengurus jamaah
haji di kerajaan Arab Saudi mengumumkan kematian dua
ratus tujuh puluh orang jamaah haji ketika melempar
jumrah. Mereka meninggal karena terinjak kaki orang
ramai yang berdesak-desakan untuk melakukan lemparan
selepas tergelincirnya matahari."

Walaupun telah ada korban yang begitu banyak, tetapi para
ulama masih saja memberikan fatwa ketidakbolehan melempar
jumrah sebelum tergelincirnya matahari, padahal Nabi saw
memudahkan urusan dalam melaksanakan ibadah haji; dan ketika
beliau ditanya tentang amalan yang boleh dimajukan dan
diakhirkan, beliau menjawabnya, "Lakukan saja, dan tidak
mengapa." Para fuqaha sendiri mempermudah cara pelaksanaan
pelemparan jumrah sehingga mereka memperbolehkan kepada jamaah
haji untuk melakukan lemparan pada hari terakhir, dan juga
boleh mewakilkan kepada orang lain ketika seseorang mempunyai
uzur; yang boleh dilakukan setelah melakukan tahallul terakhir
dari ihram.

Pelemparan jumrah itu, menurut tiga orang imam besar, boleh
dilakukan sebelum tergelincirnya matahari; yaitu oleh seorang
ahli fiqh manasik ('Atha,), ahli fiqh Yaman (Thawus)
--keduanya merupakan sahabat Ibn Abbas-- dan Abu Ja'far
al-Baqir, Muhammad bin Ali bin al-Husain, salah seorang ahli
fiqh Ahl al-Bait.

Jika para ahli fiqh tidak membenarkan lemparan seperti itu,
maka kita dapat memberlakukan fiqh darurat yang mewajibkan
kepada kita untuk mempermudah ibadah kepada Allah, yang
membolehkan kepada kita untuk melakukan lemparan selama dua
puluh empat jam, sehingga kita tidak menjerumuskan kaum
Muslimin kepada kehancuran.

Semoga Allah memberikan pahala kepada Syaikh Abdullah bin Zaid
al-Mahmud, yang telah memberikan fatwa lebih dari tiga abad
yang lalu, yang membolehkan lemparan sebelum tergelincirnya
matahari, yang termuat di dalam bukunya, Yusr al-Islam (Islam
yang Mudah).

Catatan Kaki:

1 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adab
al-Mufrad; dan Thabrani dari Mahjan bin al-Adra'; dan juga
diriwayatkan oleh Thabrani dari Imran bin Hushain dalam
al-Awsath; dan Ibn Adiy dan al-Dhiya' dari Anash (Lihat
al-Jami' as-Shaghir, 3309)

2 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adab
al-Mufrad; dan Thabrani dari Ibn Abbas. (Ibid., h. 160)

3 Muttafaq 'Alaih, sebagaimana yang dimuat dalam al-Lu'lu' wa
al-Marjan (1502).

4 Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Hibban, dan Baihaqi di dalam
as-Syu'ab dari Ibn Umar (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 1886)

5 Muttafaq 'Alaih, al-Lu'lu' wa al-Marjan (681).

6 Muttafaq Alaih, ibid . 684

7 Muttafaq Alaih dari Abu Burdah, ibid 1130

8 Muttafaq Alaih ibid., 1131

9 Diriwayatkan oleh Bukhari.

10 Muttafaq 'Alaih lihat al-Lu'lu' wal-Marjan, 267.

11 Muttafaq 'Alaih, lihat al-Lu'lu' wal-Marjan, 270.

12 Muttafaq 'Alaih, lihat al-Lu'lu' wal-Marjan, 168.

15 Diriwayatkan oleh Bukhari dan Nashai (Shahih al-Jami'
as-Shaghir, 1611)

------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...