ADA baiknya saya mengingatkan di sini --ketika kita berbicara
tentang prioritas pengetahuan atas amal perbuatan-- kepada
sesuatu yang penting, yang juga termasuk di dalam perbincangan
kita mengenai fiqh prioritas. Yaitu prioritas pemahaman atas
penguasaan yang sekadar hafalan. Ilmu yang hakiki ialah ilmu
yang betul-betul kita fahami dan kita cerna dalam otak kita.
Itulah yang sebenarnya diinginkan oleh Islam dari kita; yaitu
pemahaman terhadap ajaran agama, dan bukan sekadar belajar
agama; sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah SWT:
"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya." (at-Taubah: 122)
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan,
"Barangsiapa dihendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka
Dia akan memberinya pemahaman tentang agamanya."15
Fiqh merupakan sesuatu yang lebih dalam dan lebih spesifik
dibandingkan dengan ilmu pengetahuan. Sesungguhnya fiqh itu
mencakup pemahaman, dan juga pemahaman yang mendalam. Oleh
karena itu, Allah SWT menafikannya dari orang-orang kafir dan
orang-orang munafik, ketika Dia memberikan sifat kepada
mereka:
"... disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak
mengerti." (al-Anfal 65)
Dalam hadits Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan oleh Muslim
dikatakan,
"Manusia itu bagaikan barang tambang, seperti layaknya
tambang emas dan perak. Orang yang baik pada zaman
jahiliyah adalah orang yang baik pada zaman Islam
apabila mereka memiliki pemahaman yang baik."
Dalam hadis Abu Musa yang dimuat di dalam Shahihain dikatakan,
"Perumpamaan Allah mengutusku dengan petunjuk dan ilmu
pengetahuan adalah seperti hujan lebat yang menyirami
tanah. Di antara tanah itu ada yang gembur yang bisa
menerima air, kemudian menumbahkan rerumputan yang
lebat. Kemudian ada pula tanah cadas yang dapat
menghimpun air sehingga airnya dapat dimanfantkan oleh
manusia. Mereka minum, memberi minum kepada binatang
ternak, dan bercocok tanam dengannya. Tetapi ada juga
tanah yang sangat cadas dan tidak dapat menerima air,
tidak dapat menumbuhkan tanaman. Begitulah perumpamaan
orang yang memahami ajaran agama Allah dan memanfaatkan
ajaran yang aku diutus untuk menyampaikannya. Dia
memahami kemudian mengajarkannya. Dan begitulah orang
yang tidak mau mengangkat kepalanya dan tidak mau
menerima petunjuk Allah yang aku diutus untuk
menyampaikannya.'16
Hadits ini mengumpamakan apa yang dibawa oleh Nabi, berupa
petunjuk dan ilmu pengetahuan, laksana air hujan yang
menghidupkan tanah yang mati, bagaikan ilmu agama yang
menghidupkan hati yang telah mati. Orang yang menerima ajaran
agama itupun bermacam-macam, seperti beraneka ragamnya tanah
yang menerima air hujan. Tingkatan orang yang paling tinggi
ialah orang yang memahami ilmu pengetahuan, memanfaatkannya,
kemudian mengajarkannya. Ia bagaikan tanah yang subur dan
bersih, yang airnya dapat diminum, serta menumbuhkan berbagai
macam tanaman di atasnya. Tingkatan yang berada di bawahnya
ialah orang yang mempunyai hati yang dapat menyimpan, tetapi
dia tidak mempunyai pemahaman yang baik dan mendalam pada akal
pikiran mereka, sehingga dia dapat membuat kesimpulan hukum
yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain... Mereka adalah
orang-orang yang hafal, dan bila ada orang yang datang
memerlukan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka dia dapat
memberikan manfaat hafalan itu kepadanya. Orang-orang seperti
inilah yang dapat dimanfaatkan ilmu pengetahuan mereka.
Kelompok orang seperti ini diumpamakan seperti tanah cadas
yang mampu menampung air, sehingga datang orang yang meminum
airnya, atau memberi minum kepada binatang ternaknya, atau
menyirami tanaman mereka. Itulah yang diisyaratkan dalam
sebuah hadits yang sangat terkenal:
"Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang
mendengarkan perkataanku kemudian dia menghafalnya,
lalu menyampaikannya sebagaimana yang dia dengarkan.
Bisa jadi orang yang membawa fiqh bukanlah seorang
faqih, dan bisa jadi orang yang membawa fiqh ini
membawanya kepada orang yang lebih faqih daripada
dirinya."17
Sedangkan kelompok ketiga ialah orang-orang yang tidak
memiliki pemahaman dan juga tidak ahli menghafal, tidak punya
ilmu dan tidak punya amal. Mereka bagaikan tanah cadas yang
tidak dapat menampung air dan tidak dapat dimanfaatkan oleh
orang lain.18
Hadits tersebut menunjukkan bahwa manusia yang paling tinggi
derajatnya di sisi Allah dan rasul-Nya ialah orang-orang yang
memahami dan mengerti, disusul dengan orang yang menghafal.
Disitulah letak kelebihan orang yang faham atas orang yang
menghafal; dan letak kelebihan fuqaha atas para huffazh. Dalam
qurun yang terbaik bagi manusia --yaitu tiga abad pertama di
dalam Islam-- kedudukan dan kepeloporan berada di tangan para
faqih, sedangkan pada masa-masa kemunduran, kedudukan dan
kepeloporan itu ada para hafizh.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa hafalan sama sekali tidak
mempunyai arti dan nilai, serta ingatan yang dimiliki oleh
manusia itu tidak ada gunanya. Tidak, ini tidak benar. Saya
hanya ingin mengatakan: "Sesungguhnya hafalan hanyalah sebagai
gudang data dan ilmu pengetahuan; untuk kemudian dimanfaatkan.
Menghafal bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi ia adalah sarana
untuk mencapai yang lainnya. Kesalahan yang banyak dilakukan
oleh kaum Muslimin ialah perhatian mereka kepada hafalan lebih
tinggi daripada pemahaman, dan memberikan hak dan kemampuan
yang lebih besar kepadanya.
Oleh karena itu, kita menemukan penghormatan yang sangat
berlebihan diberikan kepada para penghafal al-Qur'an, tanpa
mengurangi rasa hormat saya kepada mereka. Sehingga berbagai
perlombaan untuk itu seringkali dilakukan di berbagai negara,
yang menjanjikan hadiah yang sangat besar nilainya; hingga
mencapai puluhan ribu dolar untuk seorang pemenang. Ini perlu
kita hargai dan kita syukuri.
Akan tetapi, sangat disayangkan hadiah seperti itu, atau
setengahnya, bahkan seperempatnya, tidak diberikan kepada
orang-orang yang mencapai prestasi gemilang di dalam ilmu-ilmu
syariah yang lainnya; seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, fiqh,
usul fiqh, aqidah, dan da'wah; padahal keperluan umat kepada
orang-orang seperti ini lebih banyak, di samping itu manfaat
yang diperoleh dari mereka juga lebih besar.
Di antara persoalan yang sangat memalukan dalam dunia
pendidikan di negara kita ialah bahwa pendidikan itu
kebanyakan didasarkan kepada hafalan dan "kebisuan", serta
tidak didasarkan kepada pemahaman dan pencernaan. Oleh karena
itu, kebanyakan pelajar lupa apa yang telah dipelajarinya
setelah dia menempuh ujian. Kalau apa yang mereka pelajari
didasarkan atas pemahaman dan contoh yang nyata, maka hal itu
akan masuk ke dalam otak mereka, dan tidak mudah hilang dari
ingatan.
Catatan Kaki:
15 Muttafaq Alaih, dari Mu'awiyah. al-Lu'lu' wa al-Marjan
(615)
16 Muttafaq 'Alaih, dari Mu'awiyah, al-Lu'lu' wal-Marjan
(1471)
17 Hadits ini diriwayatkan dalam beberapa redaksi yang berbeda
dari Zaid bin Tsabit, Ibn Mas'ud dan lain-lain. Sebagaimana
disebutkan di dalam Shahih al-Jami'as-Shaghir (6763-6766)
18 Lihatlah penjelasan hadits ini di dalam at-Fath, 1 :177;
Nawawi meriwayatkannya dari Muslim, yang kemudian dikutip oleh
pengarang al-Lu'lu' wa al-Marjan. h. 601
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M
No comments:
Post a Comment