Monday, August 2, 2010

PRIORITAS ILMU ATAS AMAL


DI ANTARA pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah
prioritas ilmu atas amal. Ilmu itu harus didahulukan atas
amal, karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal
yang akan dilakukan. Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu,
itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya."

Oleh sebab itu, Imam Bukhari meletakkan satu bab tentang ilmu
dalam Jami' Shahih-nya, dengan judul "Ilmu itu Mendahului
Perkataan dan Perbuatan." Para pemberi syarah atas buku ini
menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam judul itu harus
menjadi syarat bagi ke-shahih-an perkataan dan perbuatan
seseorang. Kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan
ilmu; sehingga ilmu itu didahulukan atas keduanya. Ilmulah
yang membenarkan niat dan membetulkan perbuatan yang akan
dilakukan. Mereka mengatakan: "Bukhari ingin mengingatkan
orang kepada persoalan ini, sehingga mereka tidak salah
mengerti dengan pernyataan 'ilmu itu tidak bermanfaat kecuali
disertai dengan amal yang pada gilirannya mereka meremehkan
ilmu pengetahuan dan enggan mencarinya."

Bukhari mengemukakan alasan bagi pernyataannya itu dengan
mengemukakan sebagian ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw:

"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan
selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas
dosa orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan..."
(Muhammad: 19)

Oleh karena itu, Rasulullah saw pertama-tama memerintahkan
umatnya untuk menguasai ilmu tauhid, baru kemudian memohonkan
ampunan yang berupa amal perbuatan. Walaupun perintah di dalam
ayat itu ditujukan kepada Nabi saw, tetapi ayat ini juga
mencakup umatnya.

Dalil yang lainnya ialah ayat berikut ini:

"... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama..." (Fathir: 28)

Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah,
dan mendorong manusia kepada amal perbuatan.

Sementara dalil yang berasal dari hadits ialah sabda
Rasulullah saw:

"Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia
akan diberi-Nya pemahaman tentang agamanya."2

Karena bila dia memahami ajaran agamanya, dia akan beramal,
dan melakukan amalan itu dengan baik.

Dalil lain yang menunjukkan kebenaran tindakan kita
mendahulukan ilmu atas amal ialah bahwa ayat yang pertama kali
diturunkan ialah "Bacalah." Dan membaca ialah kunci ilmu
pengetahuan; dan setelah itu baru diturunkan ayat yang
berkaitan dengan kerja; sebagai berikut:

"Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah
peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu
bersihkanlah." (al-Muddatstsir: 1-4)

Sesungguhnya ilmu pengetahuan mesti didahulukan atas amal
perbuatan, karena ilmu pengetahuanlah yang mampu membedakan
antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat manusia;
antara yang benar dan yang salah di dalam perkataan mereka;
antara perbuatan-perbuatan yang disunatkan dan yang bid'ah
dalam ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam
melakukan muamalah; antara tindakan yang halal dan tindakan
yang haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak
manusia; antara ukuran yang diterima dan ukuran yang ditolak;
antara perbuatan dan perkataan yang bisa diterima dan yang
tidak dapat diterima.

Oleh sebab itu, kita seringkali menemukan ulama pendahulu kita
yang memulai karangan mereka dengan bab tentang ilmu
pengetahuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali
ketika menulis buku Ihya' 'Ulum al-Din; dan Minhaj al-'Abidin.
Begitu pula yang dilakukan oleh al-Hafizh al-Mundziri dengan
bukunya at-Targhib wat-Tarhib. Setelah dia menyebutkan
hadits-hadits tentang niat, keikhlasan, mengikuti petunjuk
al-Qur'an dan sunnah Nabi saw; baru dia menulis bab tentang
ilmu pengetahuan.

Fiqh prioritas yang sedang kita perbincangkan ini dasar dan
porosnya ialah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita
dapat mengetahui apa yang mesti didahulukan dan apa yang harus
diakhirkan. Tanpa ilmu pengetahuan kita akan kehilangan arah,
dan melakukan tindakan yang tidak karuan.

Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin Abd
al-Aziz, "Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu
pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak lebih banyak
daripada apa yang dia perbaiki."3

Keadaan seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok
kaum Muslimin, yang tidak kurang kadar ketaqwaan, keikhlasan,
dan semangatnya; tetapi mereka tidak mempunyai ilmu
pengetahuan, pemahaman terhadap tujuan ajaran agama, dan
hakikat agama itu sendiri.

Seperti itulah sifat kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abu
Thalib r.a. yang banyak memiliki keutamaan dan sumbangan
kepada Islam, serta memiliki kedudukan yang sangat dekat
dengan Rasulullah saw dari segi nasab, sekaligus menantu
beliau yang sangat dicintai oleh beliau. Kaum Khawarij
menghalalkan darahnya dan darah kaum Muslimin yang mendekatkan
diri mereka kepada Allah SWT.

Mereka, kaum Khawarij ini, merupakan kelanjutan dari
orang-orang yang pernah menentang pembagian harta yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah saw, yang berkata kepada beliau
dengan kasar dan penuh kebodohan: "Berbuat adillah engkau
ini!" Maka beliau bersabda, "Celaka engkau! Siapa lagi yang
adil, apabila aku tidak bertindak adil. Kalau aku tidak adil,
maka engkau akan sia-sia dan merugi. "

Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Sesungguhnya perkataan kasar
yang disampaikan kepada Rasulullah saw ialah 'Wahai
Rasulullah, bertaqwalah engkau kepada Allah." Maka Rasulullah
saw menyergah ucapan itu sambil berkat, "Bukankah aku penghuni
bumi yang paling bertaqwa kepada Allah?"

Orang yang mengucapkan perkataan itu sama sekali tidak
memahami siasat Rasulullah saw untuk menundukkan hati
orang-orang yang baru masuk Islam, dan pengambilan berbagai
kemaslahatan besar bagi umatnya, sebagaimana yang telah
disyari'ahkan oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya. Rasulullah
saw diberi hak untuk melakukan tindakan terhadap shadaqah yang
diberikan oleh kaum Muslimin. Lalu bagaimana halnya dengan
harta pampasan perang?

Ketika sebagian sahabat memohon izin kepada Rasulullah saw
untuk membunuh para pembangkang itu, beliau yang mulia
melarangnya; kemudian memperingatkan mereka tentang munculnya
kelompok orang seperti itu dengan bersabda:

"Kalian akan meremehkan (kuantitas) shalat kalian
dibandinglan dengan shalat yang mereka lakukan,
meremehkan (kuantitas ) puasa kalian dibandingkan
dengan puasa yang mereka lakukan; dan kalian akan
meremehkan (kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan
amal mereka. Mereka membaca al-Qur'an tetapi tidak
lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari
agama (ad-Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya."

Makna ungkapan "fidak lebih dari kerongkongan mereka" ialah
bahwa hati mereka tidak memahami apa yang mereka baca, dan
akal mereka tidak diterangi dengan bacaan ayat-ayat itu.
Mereka sama sekali tidak memanfaatkan apa yang mereka baca
itu, walaupun mereka banyak mendirikan shalat dan melakukan
puasa.

Di antara sifat yang ditunjukkan oleh Nabi tentang kelompok
itu ialah bahwa,

"Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah
berhala."4

Kesalahan fatal yang dilakukan oleh mereka bukanlah terletak
pada perasaan dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal
pikiran dan pemahaman mereka. Oleh karena itu, mereka
dikatakan dalam hadits yang lain sebagai:

"Orang-orang muda yang memilih impian yang bodoh." 5

Mereka baru diberi sedikit ilmu pengetahuan, dengan pemahaman
yang tidak sempurna, tetapi mereka tidak mau memanfaatkan
kitab Allah padahal mereka membacanya dengan sangat baik,
tetapi bacaan yang tidak disertai dengan pemahaman. Mungkin
mereka memahaminya dengan cara yang tidak benar, sehingga
bertentangan dengan maksud ayat yang diturunkan oleh Allah
SWT.

Oleh karena itu, Imam Hasan al-Bashri memperingatkan orang
yang tekun beribadah dan beramal, tetapi tidak membentenginya
dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman. Dia mengucapkan
perkataan yang sangat dalam artinya,

"Orang yang beramal tetapi tidak disertai dengan ilmu
pengetahuan tentang itu, bagaikan orang yang
melangkahkan kaki tetapi tidak meniti jalan yang
benar. Orang yang melakukan sesuatu tetapi tidak
memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu, maka dia
akan membuat kerusakan yang lebih banyak daripada
perbaikan yang dilakukan. Carilah ilmu selama ia tidak
mengganggu ibadah yang engkau lakukan. Dan
beribadahlah selama ibadah itu tidak mengganggu
pencarian ilmu pengetahuan. Karena ada sebagian kaum
Muslimin yang melakukan ibadah, tetapi mereka
meninggalkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka keluar
dengan pedang mereka untuk membunuh umat Muhammad saw.
Kalau mereka mau mencari ilmu pengetahuan, niscaya
mereka tidak akan melakukan seperti apa yang mereka
lakukan itu."6

ILMU MERUPAKAN SYARAT BAGI PROFESI KEPEMIMPINAN
(POLITIK, MILITER, DAN KEHAKIMAN)

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
merupakan syarat bagi semua profesi kepemimpinan, baik dalam
bidang politik maupun administrasi. Sebagaimana yang dilakukan
oleh Yusuf as ketika berkata kepada Raja Mesir:

" ... sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi
seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada
sisi kami." Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku
bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."
(Yusuf: 54-55)

Yusuf as menunjukkan keahliannya dalam pekerjaan besar yang
ditawarkan kepadanya, yang mencakup pengurusan keuangan,
ekonomi, perancangan, pertanian, dan logistik pada waktu itu.
Yang terkandung di dalam keahlian itu ada dua hal; yakni
penjagaan (yang lebih tepat dikatakan "kejujuran") dan ilmu
pengetahuan (yang dimaksudkan di sini ialah pengalaman dan
kemampuan). Kenyataan itu sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh salah seorang anak perempuan Nabi besar dalam surah
al-Qashash:

"... karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya." (al-Qashash: 26)

Ia juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam dunia militer;
sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT ketika memberikan
alasan bagi pemilihan Thalut sebagai raja atas bani Israil:

"... Nabi (mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah
memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu
pengetahuan yang luas dan tubuh yang perkasa..."
(al-Baqarah, 247)

Pedoman itu juga sepatutnya diberlakukan dalam dunia
kehakiman, sehingga orang-orang yang hendak diangkat menjadi
hakim diharuskan memenuhi syarat seperti syarat yang
diberlakukan bagi orang yang hendak menjadi khalifah. Untuk
menjadi hakim itu tidak cukup hanya dengan menyandang sebagai
ulama yang bertaqlid kepada ulama lainnya. Karena pada
dasarnya, ilmu pengetahuan merupakan kebenaran itu sendiri
dengan berbagai dalilnya, dan bukan ilmu pengetahuan yang
diberitahukan oleh Zaid atau Amr. Orang-orang yang bertaqlid
kepada manusia yang lainnya tanpa ada alasan yang membenarkan
tindakannya, atau ada alasannya tetapi sangat lemah, maka
orang itu dianggap tidak mempunyai ilmu pengetahuan.

Keputusan hukum yang diterima dari orang yang melakukan
taqlid, adalah sama dengan kekuasaan yang dilakukan oleh orang
yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan, yang sangat penting.
Akan tetapi ada batasan-batasan tertentu dan minimal bagi ilmu
pengetahuan yang mesti dikuasai oleh hakim itu. Jika tidak,
maka dia akan membuat keputusan hukum berdasarkan kebodohan
dan akan menjadikannya sebagai penghuni neraka.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah dari
Rasulullah saw bersabda,

"Ada tiga golongan hakim. Dua golongan berada di
neraka, dan satu golongan lagi berada di surga. Yaitu
seorang yang mengetahui kebenaran kemudian dia membuat
keputusan hukum dengan kebenaran itu, maka dia berada
di surga. Seorang yang memberikan keputusan hukum yang
didasarkan atas kebodohannya, maka dia berada di
neraka. Kemudian seorang yang mengetahui kebenaran
tetapi dia melakukan kezaliman dalam membuat keputusan
hukum, maka dia berada di neraka."7

PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI MUFTI (PEMBERI FATWA)

Persoalan yang serupa dengan kehakiman ialah pemberian fatwa.
Seseorang tidak boleh memberikan fatwa kepada manusia kecuali
dia seorang yang betul-betul ahli dalam bidangnya, dan
memahami ajaran agamanya. Jika tidak, maka dia akan
mengharamkan yang halal dan menghalalkan hal-hal yang haram;
menggugurkan kewajiban, mewajibkan sesuatu yang tidak wajib,
menetapkan hal-hal yang bid'ah dan membid'ahkan hal-hal yang
disyariahkan; mengkafirkan orang-orang yang beriman dan
membenarkan orang-orang kafir. Semua persoalan itu, atau
sebagiannya, terjadi karena ketiadaan ilmu dan fiqh. Apalagi
bila hal itu disertai dengan keberanian yang sangat berlebihan
dalam memberikan fatwa, serta melanggar larangan bagi siapa
yang mau melakukannya. Hal ini dapat kita lihat pada zaman
kita sekarang ini, di mana urusan agama telah menjadi barang
santapan yang empuk bagi siapa saja yang mau menyantapnya;
asal memiliki kemahiran dalam berpidato, keterampilan menulis;
padahal al-Qur'an, sunnah Nabi saw, dan generasi terdahulu
umat ini sangat berhati-hati dalam menjaga hal ini. Tidak ada
orang yang berani melakukan hal itu kecuali orang-orang yang
benar-benar mempunyai keahlian di dalam bidangnya, serta
memenuhi syarat untuk persoalan tersebut. Betapa sulit
sebenarnya untuk memenuhi syarat-syarat itu.

Sebenarnya Nabi saw sangat tidak suka kepada orang yang
tergesa-gesa memberikan fatwa pada zamannya. Ada sebagian
orang yang memberikan fatwa kepada salah seorang di antara
mereka yang terluka ketika mereka berjinabat untuk mandi,
tanpa mempedulikan luka yang dideritanya. Sehingga hal itu
menyebabkan kematiannya. Maka Rasulullah saw bersabda,

"Karena mereka telah membunuhnya, maka semoga Allah
akan membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya apabila
mereka tidak tahu. Sebenarnya kalau mereka mau
bertanya, maka orang itu bisa sembuh. Sebenarnya bagi
orang seperti itu hanya cukup bertayammum saja..." 8

Lihatlah bagaimana Rasulullah saw menganggap bahwa fatwa yang
diberikan oleh mereka sama dengan pembunuhan terhadap orang
tersebut, sehingga beliau mendoakan mereka, "Semoga Allah juga
membunuh mereka." Oleh karena itu, fatwa yang keluar dari
kebodohan dapat membunuh jiwa dan membawa kerusakan. Dan pada
akhirnya, Ibn al-Qayyim dan ulama yang lainnya sepakat untuk
mengharamkan pemberian fatwa dalam urusan agama tanpa disertai
dengan ilmu pengetahuan; berdasarkan firman Allah SWT:

"... dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui." (al-A'raf: 33)

Banyak sekali hadits, qaul sahabat, dan generasi terdahulu
umat ini yang melarang pemberian fatwa bagi orang-orang yang
tidak berilmu pengetahuan.

Ibn Sirin berkata, "Seorang lelaki yang mati dalam keadaan
bodoh itu lebih baik daripada dia mati dalam keadaan berkata
tentang sesuatu yang dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan
tentang itu."

Abu Hushain al-Asy'ari berkata, "Sesungguhnya salah seorang di
antara mereka ada yang memberi fatwa dalam suatu masalah. Jika
hal ini berlaku pada zaman Umar, maka dia akan mengumpulkan
para pejuang Perang Badar."

Lalu, bagaimana bila Umar melihat keberanian orang pada zaman
kita sekarang ini?

Ibn Mas'ud dan Ibn 'Abbas berkata, "Barangsiapa memberi fatwa
kepada orang ramai tentang apa saja yang mereka tanyakan
kepadanya, maka dia termasuk orang gila."

Abu Bakar berkata, "kangit mana yang melindungi diriku dan
bumi mana yang akan menjadi tempat pijakanku, kalau aku
mengatakan sesuatu yang tidak kuketahui."

Ali berkata, "Hatiku menjadi sangat tenang --dia
mengucapkannya sebanyak tiga kali-- bila ada seorang lelaki
yang ditanya tentang sesuatu yang dia ketahui, tetapi dia
tetap mengatakan, 'Allah yang Maha Tahu.'"

Ibn al-Musayyab, tokoh senior tabi'in, apabila dia hendak
memberikan fatwa dia berkata, "Ya Allah, selamatkan aku, dan
benarkan apa yang keluar dari diriku."

Semua ini menunjukkan bahwa kita perlu sangat berhati-hati
dalam memberikan fatwa. Selain itu, fatwa harus diberikan oleh
orang-orang yang betul-betul memiliki ilmu pengetahuan,
wawasan yang luas, wara', yang menjaga diri dari setiap
kemaksiatan, tidak menuruti hawa nafsunya sendiri atau hawa
nafsu orang lain.

Atas dasar uraian tersebut, sangatlah mengherankan bila para
pelajar ilmu syariah --kebanyakan pelajar yang baru masuk pada
fakultas ini-- tergesa gesa memberikan fatwa dalam berbagai
persoalan yang sangat pelik, problema yang sangat penting,
mendahului para ulama besar, dan bahkan berani menentang para
imam mazhab besar, para sahabat yang mulia, dengan
menyombongkan diri seraya mengatakan, "Mereka orang lelaki,
dan kamipun orang lelaki."

Pertama-tama yang diperlukan oleh seseorang yang hendak
memberikan fatwa ialah mengukur kemampuan dirinya sendiri,
kemudian memahami berbagai tujuan syari'ah, memahami hakikat
dan kenyataan hidup. Akan tetapi,sangat disayangkan bahwa
mereka tertutup oleh penghalang yang sangat besar, yaitu
ketertipuan dengan diri mereka sendiri. Sesungguhnya tiada
daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT.

PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN BAGI DA'I DAN GURU (MUROBI)

Jika ilmu pengetahuan harus dimiliki oleh orang yang bergelut
dalam dunia kehakiman dan fatwa, maka dia juga diperlukan oleh
dunia da'wah dan pendidikan. Allah SWT berfirman:

"Katakanlah: "Inilah jalan (agama)-ku, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata..." (Yusuf: 108)

Setiap juru da'wah --dari pengikut Nabi saw-- harus melandasi
da'wahnya dengan hujjah yang nyata. Artinya, da'wah yang
dilakukan olehnya mesti jelas, berdasarkan kepada
hujjah-hujjah yang jelas pula. Dia harus mengetahui akan
dibawa ke mana orang yang dida'wahi olehnya? Siapa yang dia
ajak? Dan bagaimana cara dia berda'wah?

Oleh karena itu, mereka berkata tentang orang rabbani: yaitu
orang yang berilmu, beramal, dan mengajarkan ilmunya;
sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT:

"... akan tetapi (dia) berkata, 'Hendaklah kamu
menjadi orang-orang rabbani (yang sempurna ilmu dan
taqwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan
al-Kitab dan disebabkan kamu telah mempelajarinya."
(Ali 'Imran: 79)

Ibn Abbas memberikan penafsiran atas kata "rabbani" sebagai
para ahli hikmah sekaligus fuqaha.9

Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan rabbani ialah
orang yang mengajar manusia dengan ilmu kecilnya sebelum ilmu
itu menjadi besar.

Yang dimaksud dengan ilmu kecil ialah ilmu yang sederhana dan
persoalannya jelas. Sedangkan ilmu besar ialah ilmu yang
pelik-pelik. Ada pula yang mengatakan bahwa rabbani ialah
orang yang mengajarkan ilmu-ilmu yang parsial sebelum
ilmu-ilmu yang universal, atau ilmu-ilmu cabang sebelum
ilmu-ilmu yang pokok, ilmu-ilmu pengantar sebelum ilmu-ilmu
yang inti.10

Yang dimaksudkan dengan pernyataan itu ialah bahwa pengajaran
itu dilakukan secara bertahap, dengan memperhatikan kondisi
dan kemampuan orang yang diajarnya, sehingga dapat
ditingkatkan sedikit demi sedikit.

Persoalan yang perlu diperhatikan oleh orang yang bergerak
dalam bidang da'wah dan pendidikan ialah bahwa juru da'wah dan
pendidik itu mesti mengambil jalan yang paling mudah dan bukan
jalan yang susah; memberikan kabar gembira dan tidak
menakut-nakuti mereka; sebagaimana disebutkan dalam sebuah
hadits yang disepakati ke-shahih-annya oleh Bukhari dan
Muslim,

"Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar
gembira dan jangan membuat mereka lari."11

Al-Hafizh ketika memberikan penjelasan terhadap hadits ini
mengatakan,

"Yang dimaksudkan dengan hal ini ialah menarik simpati
hati orang yang hampir dekat dengan Islam, dan tidak
melakukan da'wah dengan cara yang keras dan kasar pada
awal mula kegiatan da'wah itu. Begitu pula hendaknya
kecaman terhadap orang yang suka melakukan
kemaksiatan. Kecaman itu hendaknya dilakukan secara
bertahap. Karena sesungguhnya sesuatu yang pada tahap
awalnya dapat dilakukan dengan mudah, maka orang akan
bertambah senang untuk memasukinya dengan hati yang
lapang. Pada akhirnya, dia akan bertambah baik sedikit
demi sedikit. Berbeda dengan cara berda'wah yang
dilakukan dengan keras dan kasar." 12

Yang dimaksudkan dengan perkataan ,mempermudah, di situ
bukanlah terbatas pada orang-orang yang hampir dekat hatinya
dengan Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh,
tetapi ia berlaku lebih umum dan permanen. Misalnya
mempermudah jalan bagi orang yang hendak melakukan taubat,
atau kepada setiap orang yang memerlukan keringanan; seperti
orang yang sakit atau sudah tua usianya, atau orang yang
berada di dalam keadaan yang mendesak.

Di antara keharusan yang berlaku di dalam ilmu pengetahuan
ialah upaya untuk mencari ilmu-ilmu agama sejauh kemampuan
yang dimiliki oleh seseorang, sesuai dengan kadar kemampuan
otaknya untuk menerima ilmu pengetahuan tersebut. Dia tidak
boleh mengucapkan sesuatu yang tidak cocok dengan akal
pikirannya, sehingga hal itu malah berbalik menjadi fitnah
bagi dirinya dan juga kepada orang lain. Sehubungan dengan hal
ini Ali r.a. berkata, "Berbicaralah kepada manusia sesuai
dengan kadar pengetahuan mereka. Tinggalkan apa yang tidak
cocok dengan akal pikiran mereka. Apakah engkau menghendaki
mereka mengatakan sesuatu yang bohong terhadap Allah dan
rasul-Nya?" 13

Ibn Mas'ud r.a. berkata, "Engkau tidak layak menyampaikan
sesuatu yang tidak sesuai dengan kadar kemampuan otak mereka.
Jika tidak, maka engkau akan menimbulkan fitnah pada sebagian
orang itu."14.

Catatan Kaki:

1 Diriwayatkan oleh Ibn 'Abd al-Barr dan lainnya dari Mu'adz,
sebagai hadits marfu' dan mauquf, tetapi hadits ini lebih
benar digolongkan kepada hadits mauquf.

2 Baca, Shahih al-Bukhari dan Fath al-Bari, 1:158-162, cet.
Dar al-Fikr yang disalin dari naskah lama.

3 Baca Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadhlih, karangan Ibn 'Abd
al-Barr, 1:27, cet. Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah

4 Lihatlah sifat-sifat mereka dalam buku al-Lu'lu' wa
al-Marjan fima Ittafaqa 'alaih al-Syaikhani, khususnya
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, Abu Sa'id, Ali,
dan Sahal bin Hunaif (638-644).

5 Hadits Ali, Ibid.

6 Ucapan ini dikutip oleh Ibn Hazm dalam bukunya, Miftah Dar
al-Sa'adah, h. 82

7 Diriwayatkan oleh para penulis Sunan Arba'ah dan al-Hakim;
sebagai mana diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Ya'la, dan
Baihaqi dari Ibn Umar; seperti yang dimuat di dalam al-Jami'
as-Shaghir. (4446) dan (4447).

8 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dan diriwayatkan
oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dari Ibn 'Abbas. Lihat
Shahih al-Jami' as-Shaghir (4362) dan (4363).

9 Hal ini disebutkan oleh Bukhari ketika memberikan komentar
pada bab "Ilmu" dalam Shahih-nya. Al-Hafizh berkata dalam
Fath-nya, "Hadits ini sampai Ibn Abi 'Ashim dengan isnad
hasan. Dan juga diriwayatkan oleh al-Khathib dengan isnad
hasan yang berbeda." 1: 161

10 al-Fath, 1: 162

11 Diriwayatkan oleh al-Syaikhani dari Anas, sebagaimana
disebutkan di dalam al-Lu'lu' wa al-Marjan

12 al-Fath, 1: 163

13 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-'Ilm, secara
mauquf atas Ali r.a. (Lihar al-Fath. 1 225)

14 Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukadimah as-Shahih secara
mauquf atas Ibn Mas'ud. Ibid.

------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...