Monday, August 2, 2010

PRIORITAS DALAM PENDAPAT-PENDAPAT FIQH


PADA pembahasan terdahulu, kami telah menyebutkan prioritas
pemahaman atas hafalan, prioritas tujuan atas bentuk lahirian,
prioritas ijtihad atas taqlid, dan kini kita menginjak kepada
hukum-hukum syari'ah yang bersifat ijtihadi, dan pendapat-
pendapat fiqh yang bermacam-macam dan berbeda-beda.
Bagaimanakah kita menerima satu pendapat dan menyisihkan yang
lain, mendahulukan sebagian pendapat itu dan mengakhirkan
sebagian yang lain.

Sesungguhnya pemilihan terhadap pendapat yang kita terima itu
tidak dapat dilakukan secara acak (random), dengan tindakan
yang ngawur; di samping itu kita tidak boleh mengikuti hawa
nafsu; tetapi semua tindakan yang akan kita lakukan harus ada
ukuran yang dapat ditujuk dan dijadikan pedoman.

Dalam berbagai buku usul fiqh, persoalan ini dibahas panjang
lebar dan berkisar pertimbangan dan penentuan yang lebih kuat
(atau lebih tepatnya pen-tarjih-an); dua persoalan yang
seringkali diistilahkan dengan kontradiksi (at-ta'arudh) dan
penerimaan yang lebih kuat (at-tarjih).

Sebagaimana kontradiksi yang dihadapi oleh para imam hadits
dalam 'ulum al-hadits yang berkaitan dengan sebagian sunnah
dengan sebagian yang lain.

Akan tetapi, saya di sini hendak mengingatkan beberapa hal
yang saya anggap sangat penting, khususnya yang berkaitan
dengan kehidupan nyata kita pada masa kini, berupa pemikiran
yang amat dinamis, dan pandangan yang saling bertentangan,
baik yang terjadi antara kaum Muslimin dan musuh-musuh mereka
yang telah "ter-Barat-kan" atau para pendukung sekularisme;
serta pertentangan yang terjadi antara berbagai mazhab
pemikiran dan gerakan Islam. Apalagi bila pertentangan itu
terjadi pada orang-orang yang bergerak dalam bidang da'wah,
perbaikan, dan kebajikan Islam, yang memiliki bermacam-macam
tujuan, metodologi yang saling bertentangan, dan kelompok yang
sangat berbeda-beda.

Pandangan-pandangan manakah yang tidak boleh dipertentangkan
sama sekali, dan tidak menerima pendapat yang lain, sehingga
secara mutlak tidak ada toleransi yang diberikan olehnya?

Lalu pandangan-pandangan mana yang memberi --dengan kadar yang
tidak banyak-- celah untuk toleransi itu? Dan pandangan mana
pula yang banyak memberikan peluang untuk berbeda pendapat dan
bertoleransi?

MEMBEDAKAN ANTARA DALIL QATH'I DAN DALIL ZHANNI

Para ulama sepakat bahwa sesuatu keputusan yang ditetapkan
melalui ijtihad tidak sama dengan ketetapan yang berasal dari
nash; dan apa yang telah ditetapkan oleh nash kemudian
didukung oleh ijma' yang meyakinkan tidak sama dengan apa yang
ditetapkan oleh nash tetapi masih mengandung perselisihan
pendapat. Perbedaan pendapat yang terjadi menunjukkan bahwa ia
adalah masalah ijtihad. Sedangkan dalam masalah ijtihadiyah,
tidak boleh terjadi saling mengingkari antara ulama yang satu
dengan yang lainnya. Akan tetapi sebagian ulama memiliki
peluang untuk mendiskusikannya dengan sebagian yang lain dalam
suasana saling menghormati. Selain itu, apa yang telah
ditetapkan oleh nash juga banyak berbeda dari segi apakah nash
itu sifatnya qath'i (definitif) atau hanya zhanni.

Masalah-masalah yang qath'i dan zhanni berkaitan dengan tetap
(tsubut)nya nash dan penunjukan(dilalah)-nya.

Di antara nash-nash itu ada yang ketetapannya zhanni, dan
penunjukkannya juga zhanni.

* Ada yang ketetapannya zhanni, dan penunjukkannya qath'i;

* Ada yang ketetapannya qath'i, dan penunjukkannya zhanni;
dan

* Ada yang ketetapannya qath'i, dan penunjukannya juga
qath'i.

Ketetapan yang bersifat zhanni ini khusus berkaitan dengan
sunnah yang tidak mutawatir. Dan sunnah mutawatir ialah sunnah
yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang
yang lain, dari awal mata rantai periwayatan hingga akhirnya,
sehingga tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk melakukan
kebohongan. Sedangkan sunnah Ahad tidak seperti itu.

Di antara ulama ada yang berkata, "Sesungguhnya yang dianggap
mutawatir itu ialah hadits 'aziz. Tetapi hampir tidak ada
hadits 'aziz yang mencapai derajat mutawatir. Tetapi ada pula
ulama yang memberikan kelonggaran lebih dari itu, sehingga dia
memasukkan hadits-hadits dha'if kepadanya, yang tentu saja
ditolak oleh Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, hendaknya
berhati-hati orang yang mengatakan bahwa suatu hadits dianggap
mutawatir jika dia tidak memiliki bukti bagi
ke-mutawatir-annya.

Ada ulama yang menggolongkan kepada mutawatir, hadits-hadits
yang memiliki sifat hampir sama dengan mutawatir; seperti
hadits yang diterima oleh suatu umat. Seperti hadits-hadits
dalam Shahih Bukhari Muslim yang tidak ditentang oleh para
ulama yang memiliki kompetensi dalam bidang itu.

Dan penunjukan yang bersifat zhanni mencakup sunnah dan
al-Qur'an secara bersamaan. Kebanyakan nash yang ada padanya
mengandung berbagai macam pemahaman dan penafsiran, karena
ungkapan yang dipergunakan pada keduanya sudah barang tentu
ada yang hakiki dan ada yang berbentuk kiasan, ada yang
bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum, ada yang
mutlak dan ada yang terikat, ada yang berindikasi kesamaan,
ada yang berindikasi kandungan yang sama, dan ada pula yang
berindikasi sejajar.

Kebanyakan pemahaman manusia tunduk kepada akal pikiran
manusia, kondisi, dan kecenderungan psikologis dan
intelektualnya. Oleh sebab itu, orang yang keras akan memahami
nash dengan pemahaman yang berbeda dengan orang yang biasa
saja. Oleh karena itu dalam warisan pemikiran Islam, kita
mengenal kekerasan (keketatan) Ibn Umar, dan keringanan
(kemudahan) Ibn 'Abbas. Orang yang mempunyai wawasan yang luas
akan berbeda sama sekali pandangannya dengan orang yang
berwawasan sempit. Di samping itu, maksud yang terkandung di
dalam nash ada yang dipahami tidak seperti yang tampak dari
segi lahiriahnya secara harfiyah, di mana segi lahiriahnya ini
seringkali malah stagnan. Masalah perintah shalat Ashar di
Bani Quraizhah merupakan dalil yang sangat jelas untuk
menerangkan persoalan di atas.

Allah Maha Bijaksana untuk membuat nash yang beragam itu, agar
mencakup kehidupan manusia secara luas, dengan orientasi yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, Allah menurunkan kitab suci-Nya
yang abadi, di dalamnya ada ayat yang muhkamat (yang terang
dan tegas artinya) yang merupakan pokok-pokok isi al-Qur'an,
dan ada pula ayat-ayat yang mutasyabihat (yang mengandung
beberapa pengertian).

Sekiranya Allah ingin mengumpulkan manusia pada satu pemahaman
atau satu pandangan saja, maka Dia akan menurunkan kitab
suci-Nya dengan ayat-ayat yang seluruhnya muhkamat, dengan
seluruh nashnya yang pasti.

Seluruh al-Qur'an tidak diragukan lagi bahwa ketetapannya
bersifat pasti, akan tetapi kebanyakan ayat-ayatnya --dalam
masalah yang kecil (juz'iyyat)-- penunjukannya bersifat
zhanni; dan inilah yang menyebabkan para fuqaha berbeda
pendapat dalam mengambil suatu kesimpulan hukum.

Akan tetapi untuk masalah-masalah yang besar, seperti masalah
ketuhanan, kenabian, pahala, pokok-pokok aturan ibadah,
pokok-pokok aturan moralitas (yang berkaitan dengan perbuatan
baik maupun perbuatan yang buruk), hukum-hukum mendasar
mengenai keluarga dan warisan, hudud dan qisas, dan lainnya
telah dijelaskan dalam ayat yang muhkamat, yang tidak dapat
dipertentangkan lagi, sehingga semua orang memiliki pandangan
yang sama.

Persoalan-persoalan di atas juga ditegaskan kembali oleh
sunnah Nabi saw, yang berupa perkataan, perbuatan, maupun
ketetapan darinya; selain ditetapkan oleh konsensus para
ulama, yang disesuaikan dengan praktek yang harus dilakukan
oleh umat.

Atas dasar itu, kita tidak boleh mencampurkan --baik dalam
kondisi tidak mengetahui atau dengan sengaja melakukannya--
antara sebagian nash dengan sebagian yang lain.

Seseorang dapat dimaafkan jika dia menolak nash yang
ketetapannya bersifat zhanni, jika dia mempunyai dalil yang
menunjukkan bahwa dalil itu tidak pasti.

Seseorang juga dimaafkan apabila dia menolak suatu pendapat
yang berdasarkan nash yang penunjukannya bersifat zhanni; atau
untuk memberikan suatu penafsiran baru yang belum pernah
dilakukan oleh generasi ulama terdahulu; tentu saja apabila
penafsiran seperti itu mungkin dilakukan.

Kadangkala seseorang tidak dimaafkan karena melakukan ini dan
itu ketika dia menolak nash yang bersifat zhanni, apabila dia
sengaja menghindarinya atau mencari yang paling mudah bagi
dirinya. Namun tindakan ini tidak sampai membuatnya kafir dan
mengeluarkannya dari agama ini karena tindakan tersebut.
Paling jauh, dia dianggap melakukan bid'ah, atau dituduh
melakukan bid'ah, dan keluar dari jalan yang biasa
dipergunakan oleh Ahlussunnah; dan Allah-lah yang akan
memperhitungkan apa yang dilakukan olehnya. Tindakan ini tidak
boleh dilakukan oleh sembarang orang, yang boleh melakukannya
hanyalah mahaqqiq (peneliti) yang benar-benar memiliki ilmu
dalam bidang tersebut.

Orang yang benar-benar dianggap sebagai keluar dari Islam, dan
perkataannya mesti diabaikan ialah orang yang menolak
nash-nash yang bersifat qath'i dari segi ketetapan dan
penunjukannya secara bersamaan. Walaupun jumlah orang serupa
ini tidak banyak, namun masalah ini dianggap sangat serius
dalam urusan agama. Karena sesungguhnya orang-orang seperti
ini akan mengacaukan kesatuan aqidah, pemikiran, emosi, dan
ilmu kaum Muslimin. Padahal hal-hal seperti ini merupakan
pemutus hukum sekaligus menjadi rujukan apabila mereka
berselisih pendapat. Apabila hal-hal tersebut sendiri masih
dipertentangkan dan diperselisihkan, maka apalagi yang dapat
dijadikan sebagai rujukan oleh manusia.

Oleh karena itu, melalui berbagai buku kami, kami mengingatkan
adanya perang pemikiran yang berusaha mengubah hal-hal yang
qath'i kepada zhanni, mengubah hal-hal yang muhkamat kepada
mutasyabihat; sebagaimana orang-orang yang menentang ayat
pengharaman khamar:

"... sesungguhnya meminum khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan." (al-Maidah: 90)

Mereka meragukan penunjukan yang ditunjukan oleh perkataan
"maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu" bahwa perkataan ini
bukan menunjukkan kepada pengharaman.

Orang-orang seperti ini sama dengan orang-orang yang menentang
pengharaman riba, pengharaman daging babi, dan orang yang
menentang pemberian warisan kepada perempuan, atau pemberian
kekuasaan penuh kepada laki-laki di dalam keluarga, atau orang
yang menentang wajibnya penggunaan jilbab (penggunaan kerudung
dan pakaian yang menutup aurat perempuan), dan lain yang
ditunjukkan oleh nash-nash yang ketetapan dan indikasinya
bersifat qath'i, atau ditetapkan melalui konsensus umat, yang
telah menjadi fiqh dan amalan, teori dan praktek umat ini
selama empat belas abad lamanya.

Sesungguhnya perkara-perkara agama yang sudah jelas ini
dikatakan oleh para ulama sebagai "Aksiomatika" (Badahiyat)
yang diketahui secara menyeluruh oleh semua kaum Muslimin baik
yang khusus maupun orang awamnya, tanpa harus dikemukakan
dalil untuk masalah-masalah tersebut, karena sesungguhnya
dalilnya banyak dan sudah lazim diketahui, serta telah merasuk
di dalam perasaan umat.

Untuk hal-hal seperti itulah orang yang menentang dianggap
kafir. Sebelum anggapan itu dikenakan kepadanya, harus
disampaikan dahulu hujjah kepadanya, kemudian bila dia masih
tetap pada keyakinannya seperti itu, maka dia tidak dimaafkan
lagi, dan setelah itu dia harus dikeluarkan dari tubuh umat
ini, lalu dilepaskan sama sekali.

Kita perlu memusatkan pikiran kepada hal-hal qath'i yang telah
disepakati oleh umat, dan bukan hal-hal yang bersifat zhanni
yang masih diperselisihkan. Yang membuat umat tidak punya
peran adalah pengabaiannya akan hal-hal yang qath'i. Dan
'peperangan' yang terjadi antara penganjur-penganjur Islam
hari ini di seluruh dunia Islam dan penganjur-penganjur
sekularisme yang tidak beragama hanya berkisar pada hal-hal
yang bersifat qath'i; seperti hal-hal yang bersifat qath'i di
dalam aqidah, syariah, pemikiran dan perilaku manusia.

Sesungguhnya hal-hal yang qath'i seperti ini wajib menjadi
dasar bagi pemahaman dan pengetahuan; menjadi dasar bagi
da'wah dan informasi; dasar bagi pendidikan dan pengajaran;
dan dasar bagi keberadaan Islam secara menyeluruh.

Sebenarnya hal-hal yang dianggap paling membahayakan didalam
da'wah Islam dan kebajikan Islam ialah bergulirnya manusia
secara terus-menerus kepada persoalan-persoalan khilafiyah
yang tidak akan ada habis-habisnya, serta akan selalu membuat
suasana panas di sekitarnya, dan akan mengkotak-kotakkan
manusia sesuai dengan pandangan yang mereka anut, serta
menentukan layak tidaknya seseorang atas dasar hal tersebut.

Sebetulnya kami telah menjelaskan dalil-dalil qath'i ini di
dalam buku kami, as-Shahwah bayn al-Ikhtilaf al-Masyru'
wat-Tafarruq al-Madzmum, walaupun sebenarnya perbedaan
pendapat seperti itu merupakan sesuatu yang penting, rahmat,
dan kekayaan umat. Kita tidak mungkin menghilangkannya.

Perkataan saya ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh sama
sekali berbicara tentang masalah khilafiyah, dan tidak mungkin
menetapkan satu pendapat pada masalah aqidah, atau fiqh, atau
perilaku manusia. Ini sesuatu yang mustahil. Jika demikian,
lalu apa yang dilakukan oleh para ulama kalau mereka tidak
boleh membenarkan, menyalahkan, menerima dan memilih?

Sesuatu yang tidak saya inginkan ialah kita mencurahkan segala
perhatian kepada persoalan tersebut, sehingga kita disibukkan
kepada hal-hal yang diperselisihkan lebih banyak daripada
hal-hal yang telah disepakati. Kita mencurahkan perhatian
kepada yang zhanni, sedangkan manusia menyimpang dari yang
qath'i.

Adalah salah dan berbahaya jika kita mengemukakan
masalah-masalah yang diperselisihkan dengan sengit sebagai
masalah-masalah yang bisa diterima dan tidak perlu
dipertentangkan seraya mengesampingkan pendapat orang lain
yang memiliki pandangan dan dalilnya, bagaimanapun bentuknya
pendapat yang kita miliki.

Seringkali, pendapat orang selain kita itu adalah pendapat
jumhur di kalangan para ulama umat ini. Walaupun mereka tidak
ma'shum dan ijma' mereka tidak absolut, tetapi ijma' mereka
tidak boleh diremehkan.

Seperti orang-orang yang menganjurkan wajibnya penggunaan
cadar (penutup muka) dan kerudung yang panjang, dengan
anggapan bahwa pendapat mereka adalah paling benar dan tidak
mengandung kesalahan. Mereka sangat tidak suka kepada
orang-orang yang menentang pendapat mereka, padahal sebetulnya
para penganjur itu berselisih pendapat dengan jumhur ulama dan
fuqaha yang lebih besar jumlahnya; di samping mereka juga
bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas dan terang dari
al-Qur'an dan sunnah, serta amalan para sahabat.

Ada seorang juru da'wah yang sangat menyedihkan hati saya
dalam sebuah khotbahnya yang masih ada rekamannya. Dia
mengatakan, "Sesungguhnya perempuan yang membuka wajahnya sama
dengan perempuan yang membuka farjinya." Ini adalah sesuatu
yang sangat berlebihan, yang tidak patut keluar dari orang
yang memiliki pemahaman dan wawasan yang luas.

Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan, "Sesungguhnya
pendapat sebagian ulama ada yang dianggap aneh pada suatu
lingkungan dan masa tertentu, karena pendapat itu mungkin
lebih cepat mendahulu zamannya, tetapi pada zaman yang lain
ada orang yang menguatkan pendapatnya dan menyiarkannya,
sehingga pendapat itu menjadi pendapat yang boleh diandalkan,
sebagaimana yang terjadi dengan berbagai pendapat Imam Ibn
Taimiyah rahimahumullah".

------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...